Generasi Qur’ani yang Unik Hasil Didikan Rasulullah Saw

Redaksi
September 08, 2025 | September 08, 2025 WIB Last Updated 2025-09-07T17:17:40Z
Jakarta,detiksatu.com _sebelumnya berjudul “Rasulullah Saw Sang Insan Kamil: Keteladanannya Mendidik Umat”.

Oleh karena itu, pada bagian awal penulis akan menyajikan ringkasan singkat dengan harapan dapat memudahkan para pembaca dalam mengikuti alur pembahasan.

Kedua, dalam tulisan ini penulis banyak mengutip, atau lebih tepatnya merangkum, tulisan Sayyid Quthb dalam “Ma‘ālim Fī al-Ṭarīq”. Kebaruan tulisan ini terletak pada penyisipan kisah-kisah inspiratif dari para ulama terdahulu yang memiliki relevansi dengan tema yang diangkat, sehingga diharapkan dapat memperkaya perspektif pembaca.

Dalam tulisan sebelumnya telah dijelaskan bahwa Rasulullah Sawmerupakan manusia sempurna yang seluruh kehidupannya layak dijadikan teladan, khususnya dalam aspek pendidikan.


 Beliau membina generasi Islam pertama dengan berlandaskan Al-Qur’an, sehingga sejak masa kanak-kanak mereka tumbuh dengan iman yang kokoh, akhlak yang luhur, dan kepribadian yang tangguh. Pola pendidikan ini kemudian dilanjutkan oleh para sahabat, sehingga lahirlah generasi Qur’ani yang melahirkan pribadi-pribadi unggul dan menjadi fondasi utama bagi tegaknya masyarakat Islam.


Sahabat-sahabat Nabi Saw: Generasi Qur’ani

Pendidikan yang diberikan Nabi Muhammad Saw, pernah melahirkan sebuah generasi istimewa dalam sejarah Islam sekaligus sejarah umat manusia, yakni generasi sahabat ra. Generasi ini memiliki karakteristik unik yang tidak pernah terulang kembali sebagai kelompok besar dalam satu kurun waktu dan tempat.

Sumber utama yang digunakan Nabi Saw dalam mendidik para sahabat hanyalah Al-Qur’an, sedangkan ucapan dan perilaku beliau berfungsi sebagai penjelas dari sumber tersebut, yang tentu tidak mungkin menyimpang darinya. Sayyidah Aisyah Ra. ditanya mengenai akhlak Rasulullah Saw. Beliau menjawab:

كان خُلُقُ رسولِ اللهِ ﷺ القرآنَ

Akhlak Rasulullah Saw adalah Al-Qur’an.

Keadaan di mana Nabi Muhammad Saw mendidik para sahabat sejatinya tidaklah sepi dari pengaruh peradaban, budaya, maupun ilmu pengetahuan. Pada masa itu, Jazirah Arab dikelilingi oleh peradaban besar seperti Persia, Romawi, Yunani, dan India. Bahkan, komunitas Yahudi dan Nasrani juga hidup di tengah masyarakat Arab.

Namun, semua itu tidak memengaruhi metode pendidikan Nabi Saw. Beliau tetap menjadikan Al-Qur’an sebagai satu-satunya rujukan dalam membina para sahabat pada masa pembentukan awal generasi Islam.

Pembatasan sumber pendidikan hanya pada Al-Qur’an bertujuan agar jiwa para sahabat benar-benar murni hanya untuk Allah. Dengan itu, mereka tumbuh lurus di atas manhaj (jalan) Ilahi semata. Rasulullah Saw ingin melahirkan generasi yang hatinya murni, akalnya jernih, pemahamannya lurus, perasaannya bersih, dan seluruh pembentukannya bebas dari pengaruh selain Al-Qur’an sebagai manhaj Ilahi.

Selain Al-Qur’an sebagai sumber utama pendidikan, faktor lain yang menjadikan para sahabat berhasil menjadi generasi Qur’ani yang unik terletak pada cara mereka menerima Al-Qur’an. Mereka tidak membacanya sekadar untuk menambah pengetahuan, memperluas wawasan, atau merasakan keindahan bahasanya. Al-Qur’an bagi mereka bukanlah sekadar koleksi informasi atau hukum yang memperkaya akal semata, melainkan perintah Allah yang harus segera diamalkan dalam kehidupan pribadi, masyarakat, dan peradaban.

Karena itu, para sahabat tidak memperbanyak bacaan dalam satu majelis. Mereka merasa bahwa setiap ayat adalah amanah dan tugas yang menuntut pelaksanaan. Sering kali mereka cukup dengan sepuluh ayat hingga benar-benar menghafal, memahami, dan mengamalkannya. Sikap inilah yang membuka bagi mereka cakrawala pengetahuan dan kenikmatan ruhani dari Al-Qur’an, sesuatu yang tidak mungkin diperoleh jika mereka mendekatinya hanya sebagai bahan penelitian atau kajian teoritis.


Dengan semangat “menerima untuk melaksanakan”, Al-Qur’an melebur ke dalam diri mereka: meringankan beban tugas, memandu amal, membentuk budaya hidup, dan mengubah arah sejarah. Al-Qur’an bagi mereka bukanlah teks yang tinggal di lembaran atau pikiran, tetapi metodologi praktis yang membentuk jiwa dan kehidupan.

Sesungguhnya, harta karun Al-Qur’an hanya terbuka bagi orang yang mendatanginya dengan semangat ini—semangat pengetahuan yang melahirkan tindakan. Sebab, Al-Qur’an diturunkan bukan untuk menjadi buku seni sastra atau catatan sejarah, tetapi sebagai metodologi hidup Ilahi yang murni.

Demikianlah, inilah rahasia mengapa para sahabat Nabi Saw disebut sebagai generasi Qur’ani; sebuah generasi istimewa yang pernah lahir dalam pentas sejarah Islam dan umat manusia, namun tidak pernah terulang kembali sebagai kelompok besar dalam satu masa dan tempat setelah mereka wafat.

Keunikan inilah yang menjadikan mereka dikenal dengan sebutan al-Salaf al-Ṣāliḥ, yakni generasi terdahulu yang saleh, yang selalu dijadikan panutan dan teladan oleh generasi-generasi berikutnya.

Imam Nawawi dan Al-Qur’an

Walaupun sebagai satu kelompok besar yang hidup dalam satu masa dan tempat generasi Qur’ani tidak pernah lagi terulang, namun sepanjang sejarah Islam selalu muncul individu-individu yang memiliki karakteristik serupa. Mereka menjadi cahaya penerus yang menyebar di berbagai penjuru dunia—timur, barat, utara, dan selatan—sebagai bukti keberlangsungan pengaruh Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Salah satu di antara sosok itu adalah Imam Nawawi.

Nama lengkap beliau adalah Yahya bin Syaraf bin Marī bin Hasan bin Husain bin Hizām bin Muhammad bin Jum‘ah al-Nawawī. Beliau lahir di kota Nawa pada bulan Muharram tahun 631 H.

Ada kisah inspiratif dari Imam Nawawi yang menunjukkan betapa erat hubungannya dengan Al-Qur’an hingga membentuknya menjadi ulama besar yang menguasai berbagai cabang ilmu Islam: fikih, hadis, ilmu rijal, bahasa, tasawuf, dan lain-lain. Syekhnya dalam thariqah, Syekh Yāsīn bin Yusuf al-Zarkasyī, pernah menuturkan:

“Aku melihat Syekh Muhyiddin ketika ia berusia sepuluh tahun di Nawa. Anak-anak lain memaksanya untuk bermain bersama mereka, tetapi ia justru lari dari mereka sambil menangis karena dipaksa, dan ia tetap membaca Al-Qur’an dalam keadaan itu. Maka masuklah rasa cinta kepadanya dalam hatiku.


 Ayahnya pernah menempatkannya di toko, tetapi ia tidak mau menyibukkan diri dengan jual-beli dari Al-Qur’an. Aku pun mendatangi gurunya yang mengajarinya Al-Qur’an, lalu berpesan tentang anak ini dan berkata: ‘Anak ini diharapkan akan menjadi orang yang paling alim dan zuhud pada zamannya, dan manusia akan mengambil manfaat darinya.’ Gurunya bertanya kepadaku: ‘Apakah engkau seorang peramal?’ Aku menjawab: ‘Tidak, melainkan Allah yang membuatku berkata demikian.’ Lalu ia menyampaikan hal itu kepada ayahnya, maka ayahnya pun bersungguh-sungguh mendidiknya hingga ia menamatkan Al-Qur’an ketika hampir baligh.”

Kisah Imam Nawawi ini menjadi bukti bahwa walaupun generasi Qur’ani sebagai kelompok besar hanya lahir pada masa sahabat Nabi Saw, spirit dan ciri-cirinya tetap bisa hadir pada individu-individu sepanjang zaman.

Imam Nawawi adalah salah satu contoh nyata; sejak kecil hatinya terpaut dengan Al-Qur’an, hingga jalan hidupnya sepenuhnya diarahkan oleh Al-Qur’an. Apa yang dialami Imam Nawawi sejalan dengan rahasia generasi sahabat: mereka tidak hanya membaca Al-Qur’an untuk pengetahuan, tetapi untuk diamalkan, dihayati, dan dijadikan pedoman hidup.

Dari sinilah lahir pribadi yang alim, zuhud, serta memberikan manfaat besar bagi umat Islam. Dengan demikian, Imam Nawawi dapat disebut sebagai bagian dari mata rantai generasi Qur’ani, meski lahir berabad-abad setelah para sahabat.

Penutup

Pendidikan Rasulullah Saw melahirkan generasi Qur’ani yang unik, yakni para sahabat ra yang dibina dengan Al-Qur’an sebagai sumber utama. Mereka tidak hanya membacanya untuk pengetahuan, tetapi langsung mengamalkan setiap ayat sebagai pedoman hidup, sehingga lahir pribadi-pribadi yang kokoh, lurus, dan saleh.

Meskipun generasi Qur’ani dalam bentuk kelompok besar tidak terulang kembali, sepanjang sejarah selalu ada individu-individu yang memancarkan semangat yang sama.

Imam Nawawi adalah salah satu contohnya; sejak kecil ia telah terpaut hatinya dengan Al-Qur’an hingga menjadi ulama besar yang berzuhud dan memberi manfaat luas bagi umat. Hal ini menunjukkan bahwa ruh generasi Qur’ani tetap hidup dan bisa diwarisi oleh siapa pun yang menempuh jalan Al-Qur’an dengan kesungguhan dan pengamalan nyata. Demikian, wallāhu a’lam.[]
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Generasi Qur’ani yang Unik Hasil Didikan Rasulullah Saw

Trending Now

Iklan

iklan