Pada suatu hari, paman berkata kepadaku, “Apakah kamu mengingat Allah yang menciptakanmu?” Aku menukas, “Bagaimana caranya aku mengingat-Nya?”
Pamanku menjawab, “Anakku, jika kamu berganti pakaian dan ketika hendak tidur, katakan tiga kali dalam hatimu tanpa menggerakkan lisan, ‘Allahu ma’i (Allah bersamaku), Allahu naadzari (Allah melihatku), Allahu syaahidi (Allah menyaksikan aku)!’
Aku menghafalkan kalimat itu, lalu mengucapkannya bermalam-malam. Kemudian, aku menceritakan hal itu kepada paman. Pamanku berkata, “Mulai sekarang, ucapkan dzikir itu sepuluh kali setiap malam.”
Aku pun melakukannya, aku resapi maknanya, dan aku merasakan ada kenikmatan dalam hatiku. Pikiran terasa terang. Dan, aku merasa senantiasa bersama Allah SWT.
Satu tahun setelah itu, pamanku berkata, “Jagalah apa yang aku ajarkan kepadamu, dan langgengkanlah sampai kau masuk kubur. Zikir itu akan bermanfaat bagimu di dunia dan di akhirat.
Kemudian, pamanku berkata, “Hai Sahl, orang yang merasa selalu disertai Allah, dilihat Allah, dan disaksikan Allah, akankah dia melakukan maksiat?” “Tentu tidak ya paman.” jawabku dengan mantap.
Kisah di atas memberikan pelajaran (ibrah) kepada kita bahwa orang yang merasakan adanya kesertaan Allah (ma’iyyatullah) dalam hidupnya, akan merasakan hidup yang lebih baik dan lebih tenteram. Selain itu, hidupnya akan selalu terjaga dari kemaksiatan dan dosa, karena merasakan adanya pengawasan dari Allah SWT (muraqabatullah).
Ma’iyyatullah dan muraqabatullah ini menumbuhkan ketakwaan yang tinggi kepada-Nya. Takwa merupakan sumber semua kebaikan dan mencegah segala keburukan. Dengan takwa, seorang akan selalu mendapatkan kebersamaan Allah SWT.
Dalam hal ini Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS an-Nahl [16]: 128). Takwa menjadi bekal utama dalam menjalani kehidupan. “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS al-Baqarah [2]: 197).
Jika seorang karyawan dalam hatinya tertanam ma’iyyatullah dan muraqabatullah, ia akan bekerja dengan sepenuh hati dan sebaik mungkin. Seorang pemimpin akan membuat kebijakan yang terbaik untuk kemaslahatan orang yang dipimpinnya.
Seorang guru akan mengerahkan seluruh potensinya untuk mendidik siswa agar tumbuh berkembang menjadi insan saleh dan cerdas. Seorang pelajar bersungguh-sungguh dalam belajar dan pantang melanggar peraturan sekolah.
Orang tua akan berusaha untuk mempersiapkan anak-anaknya menjadi orang yang sukses dunia dan akhirat. Seorang anak berusaha berbuat hal-hal yang dapat membahagiakan kedua orang tua.
Seorang pejabat publik, politisi, penegak hukum, ekonom, budayawan, hartawan, dan sebagai apa pun jika sudah tertanam dalam hatinya ma’iyyatullah dan muraqabatullah akan memberikan hal terbaik dalam hidup sebagai bentuk penghambaan secara totalitas kepada Allah SWT sebagaimana janji yang selalu diikrarkan setiap hari.
“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS al-An’am [6]: 162).
Semoga Allah SWT menanamkan dalam diri kita kaum Muslimin ma’iyyatullah dan muraqabatullah sehingga merasakan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Amin.[]