Jakarta,Pelibatan TNI dan Polri dalam Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di Jawa Barat untuk tahun ajaran 2025/2026, yang diusung melalui program Gapura Panca Waluya, menurut saya tidak relevan dengan kebutuhan peserta didik terutama dalam sistem pendidikan yang masih berantakan seperti saat ini.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengklaim bahwa kehadiran aparat keamanan ini bertujuan membentuk karakter siswa yang disiplin, berwawasan kebangsaan, dan bebas dari perilaku menyimpang, seperti tawuran atau pelanggaran lalu lintas. Program ini dirancang untuk menciptakan generasi muda yang “cageur, bageur, bener, pinter, singer” (sehat jasmani-rohani, baik hati, saleh, cerdas, dan berinisiatif). Namun, kebijakan ini tidak selaras dengan esensi MPLS, yang seharusnya fokus pada pengenalan lingkungan sekolah, malah justru berpotensi menciptakan pendekatan militeristik yang tidak relevan dengan kebutuhan pendidikan anak.
Kebijakan yang melibatkan TNI dan Polri ini menurut saya, terlihat lebih sebagai solusi seremonial yang mengabaikan kebutuhan substansial seperti kurikulum berkualitas, biaya pendidikan terjangkau, guru yang memenuhi kompetensi, serta infrastruktur memadai.
Saya sendiri mempunyai pengalaman pribadi yang mungkin juga banyak dialami oleh individu yang lain, yang merasa bahwa pembekalan TNI-Polri tidak hanya gagal membentuk karakter, tetapi juga memicu skeptisisme terhadap institusi tersebut dan narasi kebangsaan yang digaungkan.
Ketika sama sekolah dulu hingga tes fisik dalam ujian kelulusan pekerjaan, saya mengalami sedikit pendidikan militeristik. Dan tahukah kalian? Pendidikan/pendekatan militeristik itu tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kecerdasan/intelejensia saya, kecuali dalam hal ketahanan fisik saja. Pengetahuan tentang bahayanya pergaulan bebas, tawuran, narkotika, hingga tindakan kriminal yang lainnya, justru saya terima dan pahami seiring berjalannya usia, yang saya dapatkan dari media informasi, nasehat keluarga dan orang lain yang peduli, hingga hasil olah intelejensia saya sendiri dalam memandang suatu fenomena atau kejadian.
Nah jika pendekatan militeristik sendiri dalam MPLS tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kecerdasan anak usia muda, bahkan tidak ada jurnal ilmiah yang mendukung kebijakan tadi, kenapa masih terus saja dipaksakan?
Kontradiksi dalam Pembentukan Karakter dan Risiko Militerisme
Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengklaim bahwa pelibatan TNI-Polri dalam MPLS bertujuan membentuk kedisiplinan dan karakter siswa melalui kegiatan seperti baris-berbaris, pembinaan wawasan kebangsaan, dan tata tertib berlalu lintas. Namun, pendekatan ini berpotensi menciptakan persepsi militeristik yang tidak sesuai dengan konteks pendidikan sipil.
Menurut Freire, pendidikan yang otoriter, seperti yang mengandalkan figur otoritas militer, cenderung menghambat perkembangan pemikiran kritis dan kreativitas siswa. Pendekatan militeristik itu lebih berfokus pada kepatuhan daripada pengembangan karakter yang mandiri dan reflektif, yang seharusnya menjadi tujuan pendidikan karakter.
Menurut pengalaman saya pribadi, pendekatan militeristik menunjukkan bahwa pembekalan TNI-Polri sering kali tidak meninggalkan dampak yang signifikan, malah justru memicu sikap kritis terhadap institusi tersebut karena kontradiksi antara narasi yang diajarkan dan realitas perilaku oknum aparat.
Dalam Teori Pembelajaran Sosial yang dijelaskan oleh Bandura, karakter siswa/peserta didik lebih dipengaruhi oleh teladan yang mereka amati ketimbang instruksi formal. Nah masalahnya, kasus-kasus kekerasan atau penyalahgunaan wewenang oleh anggota TNI-Polri, seperti laporan dari Komnas HAM tentang penganiayaan di Papua atau kasus anggota polisi yang terlibat sindikat narkoba, menciptakan kontradiksi yang signifikan jika pelibatan TNI-Polri dinilai dapat memberikan “value” bagi anak sekolah. Jika siswa menyaksikan atau mendengar tentang perilaku negatif tadi melalui media sosial atau berita, mereka bisa saja malah mempertanyakan legitimasi TNI-Polri sebagai teladan. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lickona tentang pendidikan karakter, menunjukkan bahwa pembentukan karakter efektif melalui pendekatan berbasis komunitas, seperti diskusi kelompok dan pembelajaran moral yang melibatkan guru dan orang tua, bukan melalui figur otoritas eksternal yang kaku.
Selain itu, siswa pada usia MPLS (12-15 tahun) berada pada tahap perkembangan kognitif dan emosional yang lebih responsif terhadap pendekatan kontekstual.
Nah dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Kohlberg tentang perkembangan moral, menunjukkan bahwa anak-anak pada usia ini membentuk nilai moral melalui refleksi dan dialog, bukan melalui pendekatan otoriter seperti pelatihan militer.
Baris-berbaris atau pembekalan wawasan kebangsaan yang bersifat satu arah berisiko akan mengalienasi siswa, terutama mereka yang sudah memiliki kecenderungan kritis.
Sebagai contoh, pengalaman pribadi saya yang merasa tidak terdoktrin oleh pembekalan TNI-Polri, melainkan justru menjadi kritis terhadap institusi tersebut, menunjukkan bahwa pendekatan ini dapat memicu resistensi daripada kepatuhan. Maka dengan demikian, kebijakan ini menurut saya justru mencerminkan kurangnya pemahaman tentang psikologi perkembangan anak dan dinamika pendidikan modern.
Pelibatan TNI-Polri dalam perspektif saya, justru akan mengabaikan realitas bahwa pendidikan karakter tidak dapat dicapai melalui intervensi sporadis seperti MPLS. Penelitian yang dilakukan oleh Berkowitz dan Bier, menunjukkan bahwa pendidikan karakter memerlukan pendekatan holistik yang terintegrasi dalam kurikulum dan budaya sekolah, bukan sekadar kegiatan seremonial.
Pelibatan TNI-Polri, yang lebih menyerupai pelatihan militer daripada pendidikan karakter, tampak sebagai solusi instan yang tidak mempertimbangkan kebutuhan jangka panjang siswa, dan hal itu mencerminkan kegagalan pemimpin pendidikan dalam merancang kebijakan yang berbasis bukti serta relevan dengan konteks pendidikan sipil.
Kegagalan Narasi Kebangsaan dan Bela Negara
MPLS di wilayah administratif Jawa Barat juga bertujuan menanamkan nilai kebangsaan dan bela negara, yang dianggap penting untuk membentuk generasi muda yang cinta tanah air. Namun, konsep ini sering kali terasa abstrak bagi siswa usia sekolah, yang lebih fokus pada kebutuhan langsung seperti belajar, bersosialisasi, dan mengejar prestasi akademik. Penelitian tentang Imagined Communities yang dilakukan oleh Anderson, menunjukkan bahwa nasionalisme adalah konstruksi sosial yang sulit dipahami anak-anak tanpa konteks yang relevan dengan kehidupan mereka. Pendekatan militeristik, seperti pembekalan oleh TNI-Polri, cenderung gagal menanamkan nilai kebangsaan karena bersifat satu arah dan tidak terkait dengan realitas sehari-hari siswa. Bagi anak-anak, konsep bela negara sering kali hanya terasa sebagai slogan tanpa makna konkret.
Kegagalan dalam menanamkan nilai-nilai kebangsaan tadi diperparah oleh kontradiksi dalam realitas sosial dan politik Indonesia di mana, eksploitasi sumber daya alam oleh korporasi asing, konflik agraria, serta deforestasi—seperti yang dilaporkan WALHI bahwa 12,5 juta hektare hutan hilang antara 1990-2020—mencerminkan pengkhianatan terhadap cita-cita kebangsaan. Li, pada tahun 2007 pernah melakukan penelitian tentang konflik agraria di Indonesia, yang menunjukkan bahwa banyak kebijakan negara yang justru merugikan masyarakat kecil, seperti petani dan masyarakat adat, yang kehilangan tanah mereka akibat proyek infrastruktur atau pertambangan. Nah jika faktanya demikian, narasi kebangsaan dan bela negara terasa kosong, terutama bagi individu yang telah mengembangkan literasi kritis dan menyadari ketimpangan sosial yang terus berlangsung.
Pendidikan seharusnya mendorong siswa untuk mempertanyakan realitas sosial, bukannya malah menerima narasi secara pasif. Giroux, dalam tulisannya menegaskan bahwa pendidikan yang bertujuan membentuk warga negara kritis harus melibatkan dialog tentang isu-isu sosial seperti ketimpangan, korupsi, dan ketidakadilan. Sebaliknya, pembekalan oleh TNI-Polri cenderung berfokus pada narasi kebangsaan yang normatif, seperti semangat patriotisme, tanpa membahas kontradiksi dalam kebijakan negara. Nah hal itu dapat memicu skeptisisme, sebagaimana dalam pengalaman saya yang merasa bahwa nasionalisme hanya menjadi “kedok”, bagi politisi untuk menutupi kegagalan mereka.
Data dari BPS pada per Maret 2024 menunjukkan bahwa indeks Gini di Indonesia masih sekitar 0,379, yang dengan sangat jelas mencerminkan ketimpangan ekonomi signifikan di Indonesia. Ketimpangan sosial yang ada di Indonesia ini, ditambah dengan isu-isu seperti korupsi dan perampasan tanah, membuat narasi kebangsaan sulit diterima sebagai sesuatu yang autentik. Bagi siswa yang kini memiliki akses ke informasi melalui media sosial, seperti laporan tentang skandal korupsi atau konflik agraria, narasi bela negara dapat terasa sebagai propaganda kosong. Dengan demikian, pelibatan TNI-Polri dalam MPLS tidak hanya gagal menanamkan nilai kebangsaan, tetapi juga mencerminkan ketidakpekaan pemimpin terhadap realitas sosial yang dihadapi masyarakat.
Ilusi “Magic Moment” dalam MPLS
Pemprov Jabar menggunakan istilah “magic moment” untuk menggambarkan dampak yang diharapkan dari pelibatan TNI-Polri dalam MPLS, dengan tujuan menciptakan pengalaman yang menginspirasi dan memotivasi siswa. Namun, istilah ini terasa sebagai jargon kosong yang tidak didukung oleh kebutuhan nyata siswa. Faktanya, bahwa masih banyak sekolah di Indonesia, termasuk di Jawa Barat, masih kekurangan fasilitas dasar seperti laboratorium, perpustakaan digital, atau akses internet yang memadai. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Darling-Hammond, disebutkan bahwa kualitas pendidikan bergantung pada kurikulum yang konsisten, guru yang kompeten, dan sarana yang mendukung pembelajaran abad 21, bukan pada intervensi simbolis seperti kehadiran TNI-Polri.
Siswa pada usia MPLS membutuhkan lingkungan belajar yang mendukung perkembangan kognitif dan emosional mereka, bukan momen seremonial yang bersifat sementara. Seperti dalam penelitian yang dilakukan oleh Ryan dan Deci tentang Teori Motivasi Diri, menunjukkan bahwa motivasi intrinsik siswa meningkat melalui otonomi, dukungan lingkungan, dan rasa kompetensi, bukan melalui pendekatan otoriter yang menekankan kepatuhan. Kehadiran TNI-Polri, yang sering diasosiasikan dengan otoritas dan perintah, berpotensi menciptakan tekanan psikologis daripada inspirasi dan menegaskan bahwa “magic moment” ini lebih merupakan ilusi daripada realitas yang bermakna.
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Fullan tentang reformasi pendidikan, menunjukkan bahwa perubahan pendidikan yang efektif memerlukan strategi jangka panjang yang terintegrasi dalam sistem sekolah, bukan intervensi sporadis seperti pelibatan TNI-Polri. MPLS seharusnya menjadi momen untuk memperkenalkan budaya sekolah yang inklusif, mendukung, dan berorientasi pada pembelajaran, bukan untuk menampilkan figur otoritas eksternal yang tidak memiliki keterkaitan langsung dengan ekosistem sekolah. Fokus pada “magic moment” juga mengabaikan realitas bahwa banyak siswa menghadapi tantangan nyata, seperti biaya pendidikan yang tinggi atau kurangnya akses ke teknologi, yang jauh lebih mendesak untuk diatasi.
Pendekatan militeristik dalam MPLS menurut saya, mencerminkan kegagalan pemimpin dalam memahami prioritas siswa. Nah yang menjadi pertanyaan, daripada menginvestasikan sumber daya untuk membangun infrastruktur pendidikan atau meningkatkan kualitas guru, kenapa Pemprov Jawa Barat malah memilih pendekatan yang terlihat megah tetapi minim dampak jangka panjang? Hattie dalam perspektifnya tentang faktor-faktor yang memengaruhi prestasi siswa, menunjukkan bahwa kualitas pengajaran dan lingkungan belajar memiliki efek yang jauh lebih besar daripada kegiatan seremonial. Maka dari itu, “magic moment” yang dijanjikan menurut saya, hanyalah ilusi yang mencerminkan ketidakmampuan pemimpin untuk merancang kebijakan yang benar-benar relevan dengan kebutuhan peserta didik.
Saran dan Penutup
Hemat saya, ntuk mengatasi kelemahan dalam kebijakan ini, pemerintah perlu mengadopsi pendekatan pendidikan karakter yang berbasis bukti dan relevan dengan kebutuhan siswa. Pertama, fokus harus dialihkan dari pendekatan militeristik ke pendekatan berbasis komunitas, seperti pembelajaran berbasis proyek atau konseling yang melibatkan guru, orang tua, dan komunitas lokal. Lickona dalam jurnalnya menunjukkan bahwa, pendidikan karakter efektif melalui kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan komunitas, yang memungkinkan siswa mengembangkan nilai-nilai moral melalui pengalaman nyata. Kedua, investasi pada infrastruktur pendidikan, seperti laboratorium, perpustakaan digital, dan akses internet, harus diprioritaskan untuk mendukung pembelajaran abad 21.
Ketiga, penanaman nilai kebangsaan harus dilakukan melalui pendekatan kritis yang mendorong siswa memahami isu-isu sosial, seperti ketimpangan, korupsi, dan konflik agraria. Pendidikan kritis harus melibatkan dialog terbuka tentang realitas sosial, tentunya untuk membentuk warga negara yang kritis dan bertanggung jawab. Keempat, pencegahan perilaku menyimpang harus melibatkan program sosial-emosional yang terintegrasi dalam kurikulum. Program ini dapat mencakup pelatihan keterampilan sosial, konseling kelompok, dan kegiatan ekstrakurikuler yang memperkuat ikatan sosial siswa.
Kelima, pemerintah harus memastikan bahwa setiap kebijakan pendidikan selaras dengan pedoman nasional, seperti MPLS Ramah dari Kemendik/bud/ristek, dan melibatkan koordinasi dengan DPRD serta pemangku kepentingan lain untuk menghindari kontroversi. Terakhir, pemerintah perlu melakukan evaluasi dampak yang ketat terhadap setiap kebijakan pendidikan, termasuk pelibatan TNI-Polri, untuk memastikan bahwa tujuannya tercapai tanpa menimbulkan efek samping yang merugikan.
Kebijakan yang melibatkan TNI-Polri dalam MPLS di Jawa Barat, mencerminkan kegagalan seorang pemimpin dalam memahami kebutuhan nyata siswa dan dinamika pendidikan modern. Kontradiksi dalam pembentukan karakter, kegagalan narasi kebangsaan, ilusi “magic moment”, serta paradoks dalam pencegahan perilaku menyimpang, menunjukkan bahwa kebijakan ini lebih merupakan solusi simbolis daripada solusi substansial. Ketika pemimpin gagal memahami kompleksitas pendidikan dan lebih memilih pendekatan yang kaku dan militeristik, hasilnya adalah kebijakan yang tidak hanya inefektif, tetapi juga memicu skeptisisme di kalangan siswa dan masyarakat.
Maka dari itu, dengan mengadopsi pendekatan berbasis bukti, seperti pendidikan karakter yang inklusif dan investasi pada infrastruktur pendidikan, pemerintah dapat menciptakan MPLS yang benar-benar mendukung perkembangan siswa sebagai individu yang kritis, kreatif, dan peduli terhadap realitas sosial. Karena, hanya dengan kepemimpinan yang berpijak pada pemahaman mendalam dan visi jangka panjang, pendidikan Indonesia dapat melangkah menuju masa depan yang lebih baik.
Ditulis oleh Hara Nirankara