Indonesia Mengubah Negara ?

Redaksi
Agustus 31, 2025 | Agustus 31, 2025 WIB Last Updated 2025-08-31T14:22:42Z
Jakarta,detiksatu.com _Demonstrasi kini marak di tanah air. Baik dari ojek online –akibat salah satu demonstran wafat- maupun dari kalangan buruh atau mahasiswa. Mereka sebenarnya ingin mengubah negara ini menjadi lebih baik. Di tulisan ini, saya ingin menuliskan kisahku yang berupaya ‘kecil-kecilan’ untuk ikut serta mengubah negara ini menjadi lebih baik (lebih Islami)

Ketika mahasiswa, aku ikut sebuah organisasi Islam. Aku cukup aktif di dalamnya. Aku membantu penerjemahan buku-buku bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Ustadz-ustadz yang senior yang menerjemahkannya dan aku menuliskannya serta menyebarkan ke teman-teman.

Aku sering mendatangi ustadz-ustadz yang mengajariku dengan teman-teman. Aku mendatangi rumahnya dan berdiskusi tentang berbagai hal. Ada lebih dari empat ustadz yang sering aku datangi dan berdiskusi.

Karena ‘perebutan kepemimpinan organisasi’, maka organisasi itu kemudian mengalami tragedi. Beberapa orang senior, aku dan beberapa orang temanku keluar dari organisasi itu.

Sebelum aku keluar, sebenarnya aku membuat surat yang kutujukan kepada pimpinan organisasi itu. Tapi entah mengapa surat itu kemudian tidak jadi kukirimkan. Padahal surat itu penting menyibak permasahan yang terjadi dalam organisasi itu, dan mengingatkan adanya kesalahan pimpinan dalam melihat permasalahan yang ada.

Selesai kuliah dari IPB, aku bergelut dalam dunia kewartawanan. Aku merasa idealismeku akan tertampung di sana. Kebetulan aku mengenal baik seorang wartawan senior. Ia adalah (alm) ASA, wartawan senior di Majalah Media Dakwah, majalah resmi Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).

Wartawan ini bukan main baiknya sama aku. Selain aku dilayani berdiskusi di rumahnya, juga sering diajak untuk bersilaturahmi dengan tokoh-tokoh Dewan Dakwah (Masyumi). Seperti: Anwar Harjono, Hartono Mardjono, Cholil Badawi, Ahmad Soemargono, Hussein Umar, KH Cholil Ridwan dan lain-lain. Berhadapan dengan tokoh-tokoh itu aku banyak mendengar, sesekali bertanya. Semuanya sudah wafat, kecuali KH Cholil Ridwan.

Tapi sebagai wartawan, aku pernah mewawancarai tokoh-tokoh itu untuk dimuat di Majalah Media Dakwah. Bahkan dengan Bang Hussein Umar aku cukup akrab. Ia terakhir menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.

Aku pernah diajak ngobrol berdua di Gedung Nusantara V DPR RI. Bang Hussein waktu itu menceritakan pengalamannya sebagai Anggota DPR dalam memperjuangkan asas Islam di DPR. Ia mengeluhkan banyak anggota DPR dari Partai Islam yang kurang cerdas dan kurang berani dalam menyampaikan aspirasi Islam. Selain itu ia juga bercerita tentang berbagai hal di Dewan Dakwah.

Hussein Umar ini dikenal sebagai ‘singa podium’. Bila ia berceramah menggetarkan. Ia pandai menyusun kalimat dan membuat hadirin terpana dengan pidato-pidatonya. Data-data dari koran atau majalah, sering ia kliping dan ia gunakan dalam ceramahnya. Ketika muda, Hussein Umar adalah tokoh PII (Pemuda Islam Indonesia) di Sumatera Utara.

Sayang ketika di aktif di Majalah Media Dakwah, saya tidak mengenal Buya Mohammad Natsir. Karena saya terlibat dalam majalah itu sekitar tahun 1996, sedangkan Pak Natsir meninggal 1993. Saya melihat wajah Pak Natsir hanya sekali. Yaitu ketika ia ceramah meresmikan Pesantren Ulil Albab (1987) di Masjid al Hijri Bogor. Saat itu saya tahun pertama menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor.

Majalah Media Dakwah adalah majalah yang dilahirkan Pak Natsir dan kawan-kawan untuk menjadi suara umat dan tokoh-tokoh Islam. 



Majalah ini pertama kali dikawal oleh Mohammad Roem sebagai pemimpin redaksinya. Selain Media Dakwah, di Kramat Raya 45 –markas Partai Masyumi yang kemudian menjadi markas Dewan Dakwah- juga terdapat majalah Kiblat, Mimbar Jumat, Sahabat, Buletin Dewan Dakwah dan lain-lain


Dari situlah saya kemudian mengenal banyak tokoh dan pemikiran Masyumi. Bila dulu ketika mahasiswa idealisme Islam itu masih mengawang-ngawang, di markas Masyumi itu saya melihat ide-ide Islam itu diupayakan terwujud dalam bumi Nusantara dan dunia. Untuk mengenang tokoh-tokoh Masyumi itu saya menulis buku: “Tokoh-Tokoh Islam yang Melukis Indonesia.”

Pengalaman yang tak kalah menariknya adalah ketika saya menjadi wartawan berpolitik.com. Saat itu baru ramai-ramainya internet marak di Indonesia (tahun 2000). Banyak website-website baru bermunculan. Ada satunet.com, hukum-online.com dan lain-lain. Detik.com sudah muncul sebelumnya.

Seorang pengusaha ternama di tanah air (SJ), kemudian membentuk website bernama: www.berpolitik.com. Markasnya di dekat Pancoran, Jakarta Selatan. 


Saya ditarik menjadi wartawan di situ, sebagai reporter sekaligus redaksi. Saya harus meliput di lapangan, tapi saya boleh juga langsung mengupload tulisan langsung ke website.

Tiap hari dari pagi sampai sore saya nongkrong di Gedung DPR MPR. Saya membuat tiga atau empat liputan tulisan. Saya merasakan waktu itu ‘ini dunia saya’. Bila banyak reporter datang ke gedung DPR tanpa bahan pertanyaan, saya datang ke DPR sudah dengan beberapa pertanyaan di kepala.

Karena gaji saya lumayan, saya bisa berlangganan dua atau tiga koran. Tiap pagi saya baca beberapa koran, kemudian muncul ide saya harus bertanya ini ini. Sehingga waktu itu, saya termasuk wartawan yang aktif bertanya kepada narasumber. Banyak wartawan yang datang ke nara sumber cuma menodongkan alat perekam saja. Kadang mereka kurang berani bertanya, kadang kalah cepat bertanya dengan wartawan lain.

Para reporter biasanya diberi bahan-bahan pertanyaan dari redaksinya (atasannya). Karena saya reporter merangkap redaksi, maka pertanyaan itu harus saya kreasi sendiri. Dan saya suka diberi kebebasan oleh pemimpin redaksi seperti itu.



Saingan saya waktu itu reporter dari koran Kompas. Kalau saya bertanya tentang X, misalnya maka reporter Kompas itu akan bertanya tentang Y. Isi artikel reportase Koran Kompas seputar politik di DPR saat itu, sering bertentangan dengan artikel website yang saya tangani, berpolitik.com.

Bila Kompas selalu mendukung Presiden Gus Dur, maka media kita selalu mengkritisinya. Dan semestinya begitulah yang dilalukan media. Ia mesti menjadi ‘watchdog’ pemerintah atau lembaga-lembaga milik pemerintah. Ia kritis kepada pemerintah agar pemerintah berjalan di atas kebenaran. Bukan menjadi humas pemerintah dan menjdi anak manis negara. Maka sering dikatakan, media massa adalah pilar keempat demokrasi.

Sayangnya website itu tidak berlangsung lama. Sekitar satu tahun enam bulan. Seiring dengan pergantian Gus Dur ke Megawati, website saya dibubarkan oleh pengusaha itu. Semua wartawan saat itu mendapat pesangon yang lumayan.

Begitulah sedikit pengalaman hidup saya, yang mencoba ikut serta dalam mengubah negara ini menjadi lebih baik. Lebih Islami, sesuai dengan aspirasi mayoritas penduduk di negeri ini.

إِنْ أُرِيدُ إِلَّا ٱلْإِصْلَـٰحَ مَا ٱسْتَطَعْتُ ۚ وَمَا تَوْفِيقِيٓ إِلَّا بِٱللَّهِ ۚ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

“Aku hanya bermaksud (mengadakan) perbaikan selama aku mampu. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada-Nya aku bertawakal dan hanya kepada-Nya aku kembali.” (QS. Hud : 88). Wallahu alimun hakim. (bersambung). []
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Indonesia Mengubah Negara ?

Trending Now