Seorang gadis lulusan salah satu universitas di Jawa Timur menjadi korban pembunuhan dengan cara dimutilasi oleh kekasihnya sendiri. Jasadnya yang sudah terpotong menjadi 310 bagian itu ditemukan tersebar di kawasan hutan Pacet, Mojokerto, Jawa Timur.
Mungkin ini menjadi kasus pembunuhan mutilasi tersadis sepanjang tahun. Bagaimana tidak, gara-gara sakit hati dan dendam yang menumpuk, sang kekasih, Alvi Maulana tega membunuhnya dengan mengulitinya menjadi banyak potongan. Nyawa dan tubuh manusia diperlakukan layaknya saat si pelaku menjadi tukang jagal hewan. Andaikan setan bisa bersuara, mungkin ia akan bersujud pada pelaku karena perilaku manusia yang begitu kejam dan sadis.
Berdasarkan pengakuan pelaku kepada polisi, ia tidak kuat mengikuti gaya hidup sang pacar yang terlalu tinggi dan temperamental. Dalam setahun terakhir, keduanya menjalani living together alias hidup bersama dalam satu atap layaknya hubungan suami istri. Betapa miris kehidupan umat di akhir zaman ini.
Terlepas apapun motifnya, satu hal yang harus kita ingat: pembunuhan terjadi dimulai dari aktivitas yang dilarang dalam Islam. Ya, pergaulan bebas yang tak mengenal batas hingga mengikuti tren kumpul kebo yang kini diistilahkan lebih modern dan ‘santun’. Living together telah menjelma menjadi barometer generasi yang keblinger.
Menyasar dan Merusak Generasi
Living together merupakan fenomena sosial di mana sepasang kekasih, yang tidak terikat dalam pernikahan yang sah, tinggal bersama dalam satu atap seperti pasangan suami istri. Mereka berbagi tanggung jawab finansial, emosional, dan sosial. Istilah ini sering disebut juga sebagai kohabitasi. Dahulu dikenal dengan sebutan kumpul kebo.
Makin ke sini, pergeseran istilah untuk perbuatan maksiat kian diperhalus. Akibatnya, masyarakat tidak lagi menganggap kemaksiatan sebagai sesuatu yang tabu dan memalukan. Sensitivitas terhadap perbuatan haram pun menjadi hilang. Bahkan, hal itu dinormalisasi sebagai modernisasi, kemajuan dan perkembangan zaman. Sebagai contoh, dahulu penjaja seksual disebut pelacur, kini disebut pekerja seks komersial (PSK).
Bagaimana mungkin perbuatan zina dianggap sebagai suatu pekerjaan hingga pelakunya disebut pekerja? Kini, kumpul kebo juga diperhalus dengan kalimat berbahasa inggris dengan sebutan living together atau kohabitasi.
Tren living together atau kohabitasi atau kumpul kebo yang menyasar generasi muda adalah keinginan untuk mewujudkan gaya hidup bebas tanpa dibayangi beban dan tanggung jawab pernikahan. Faktor finansial kebanyakan menjadi pertimbangan utama para pelaku kohabitasi. Dengan alasan hemat biaya, hidup bersama tanpa ikatan pernikahan pun menjadi pilihan hidup mereka.
Tren ini diprediksi akan terus berkembang mengikuti gaya hidup bebas yang dipertahankan dalam sistem sekuler kapitalisme. Dalam kehidupan sekuler, agama tidak lagi menjadi pertimbangan dalam menilai baik buruknya perbuatan. Peran agama makin terdegradasi seiring dengan liberalisasi yang menjadi derivat akidah sekularisme ini. Tidak ayal, banyak di antara generasi kita kehilangan pondasi dan arah hidup. Generasi muda juga rentan dengan berbagai gangguan kesehatan mental. Mereka justru lebih dekat dengan maksiat dan kerusakan, meski tidak semuanya demikian.
Mengutip laman Detik.com (11-4-2024), Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr Hasto Wardoyo menyoroti rata-rata umur melakukan hubungan seks pada remaja. Ia menyebutkan bahwa hubungan seks remaja di usia 15-19 tahun mengalami peningkatan. Ia menyebut bahwa persentase perempuan usia 15-19 tahun yang melakukan hubungan seksual ada di 59%, sedangkan pada laki-laki berada di angka 74%.
Pelajaran dari Pacet
Kasus mutilasi Pacet harusnya menjadi tamparan keras bagi generasi muda. Ada banyak dampak yang ditimbulkan tersebab berhubungan dengan nonmahram yang dilarang dalam ajaran Islam. Baik pacaran, zina, atau kumpul kebo tidak akan memberikan dampak positif bagi pelaku dan orang-orang di sekitarnya. Dari zina sampai pembunuhan. Dari zina sampai mutilasi. Dari zina sampai perceraian. Dari zina sampai bunuh diri. Dari zina sampai kehamilan yang tidak diinginkan. Dari zina sampai gangguan mental.
Zina memang perbuatan keji dan seburuk-buruknya jalan. Allah SWT sudah menegaskannya dalam surat Al Israa ayat 2, “Dan janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk.”
Untuk mencegah kerusakan generasi muda yang lebih parah, terdapat tiga pilar penting dalam menjaga dan melindungi generasi, di antaranya:
Pertama, peran keluarga. Pendidikan keluarga adalah pondasi pertama dan utama dalam mendidik anak-anak dengan cara menanamkan tauhid yang kuat. Islam mengajarkan agar ketauhidan dan keimanan benar-benar tertanam kuat dalam diri seorang anak sehingga ia tidak mudah tergelincir dalam perbuatan dosa dan maksiat.
Ini membutuhkan peran ayah dan ibu dengan pemahaman Islam yang benar. Ajarkan anak-anak kita hidup berorientasi pada akhirat, bukan sekadar materi semata. Visi hidup seorang muslim adalah beribadah dan taat kepada Allah SWT Pendidikan berasas akidah Islam serta bervisi akhirat harusnya menjadi harga mati dan rumus baku setiap muslim dalam mendidik anak dan anggota keluarganya.
Kedua, peran masyarakat. Dalam kehidupan sekuler hari ini, masyarakat kian apatis dan individualis. Kemaksiatan dinormalisasi, kemakrufan justru menjadi sesuatu yang aneh dan asing. Fungsi masyarakat sebagai kontrol sosial pun turut sirna bersama sekularisme yang kian mencengkeram.
Oleh karena itu, untuk mengembalikan kehidupan Islami yang sarat dengan seruan menegakkan amar makruf nahi mungkar dalam konteks bersosialisasi dan bermasyarakat, dibutuhkan peran lembaga atau ormas Islam untuk berdakwah ke tengah-tengah umat dengan memberikan pemahaman sahih tentang kehidupan yang harus dijalani seorang muslim.
Para juru dakwah ini harus menjelaskan dan memahamkan bahwa Islam bukan sekadar agama ritual, tetapi mengatur segala aspek kehidupan. Islam melarang zina, pacaran, berduaan dengan nonmahram (khalwat), ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan), menutup aurat dan berhijab syar’i bagi muslimah, dan sebagainya.
Ketiga, peran negara sebagai pelindung generasi harus menyeluruh. Negara harus mengontrol tayangan atau media sosial yang berbau pornografi, konten negatif, kekerasan, dan pergaulan bebas. Semua tayangan dan konten berbau maksiat mestinya dihilangkan.
Jika memang benar-benar ingin menyelamatkan generasi, tidak ada jalan lain selain dengan mendekatkan dan mengembalikan fungsi Islam sebagai pedoman hidup. Islam bukan sekadar janji di atas Al-Qur’an dalam kegiatan pelantikan pejabat. Islam juga tidak hanya mengatur ibadah mahdhoh, tetapi juga kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Bukankah Allah SWT meminta kita untuk menjadi muslim seutuhnya?
Allah Taala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 208).
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini sebagai perintah Allah yang ditujukan kepada semua hamba-Nya beriman dan membenarkan Rasul-Nya. Perintah tersebut agar orang beriman berpegang pada semua tali Islam dan syariat Allah, mengerjakan perintah-Nya, hingga menjauhi semua larangan-Nya dengan sepenuh tenaga.
Kalau bukan Islam yang menjadi kompas hidup agar selamat dunia dan akhirat, lalu kita berpedoman pada apa? Wallahu a’lam.[]
Chusnatul Jannah (Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)

