Pantauan di lapangan, sejumlah titik rawan macet seperti Jalan Raya Bogor–Citeureup, sekitar Pasar Citeureup, hingga simpang Gunung Batu, sering dipadati angkot yang berhenti sembarangan untuk menunggu penumpang. Kondisi ini membuat jalan utama yang seharusnya lancar berubah menjadi sempit dan macet panjang, terutama pada jam sibuk pagi dan sore hari.
Sejumlah pengendara mengeluhkan situasi tersebut. “Macetnya makin parah, kadang angkot ngetem seenaknya di pinggir jalan. Kami jadi rugi waktu di jalan,” ungkap Dani (34), seorang karyawan yang setiap hari melintasi kawasan Citeureup, Senin (29/9).
Di sisi lain, para sopir angkot berdalih bahwa keberadaan terminal resmi masih kurang memadai. “Penumpang lebih banyak nunggu di pinggir jalan, bukan di terminal. Kalau kami ngetem di terminal resmi, malah sepi,” kata Yanto (45), salah seorang sopir angkot trayek Citeureup–Bogor.
Pemerhati transportasi publik menilai fenomena terminal bayangan ini sudah lama menjadi masalah klasik di kawasan penyangga ibu kota. Tanpa penataan serius, kemacetan akan terus berulang dan menurunkan produktivitas warga.
Hingga kini, aparat terkait dari Dinas Perhubungan maupun Satpol PP Kabupaten Bogor belum melakukan penertiban signifikan. Masyarakat berharap ada solusi permanen, baik dengan penataan trayek, optimalisasi terminal resmi, maupun pengawasan yang lebih ketat di titik-titik rawan.
“Kalau dibiarkan, Citeureup bisa lumpuh oleh macet. Harus ada tindakan nyata, bukan sekadar wacana,” ujar Ahmad, tokoh masyarakat setempat.turupnya
Red-hata lating