Universitas Baliem Papua.
Wamena,Papua Pegunungan adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang tidak memiliki laut. Kondisi geografis yang sepenuhnya pegunungan membuat akses transportasi amat terbatas. Transportasi udara menjadi pilihan utama, sementara jalur darat masih minim dan sulit ditempuh. Situasi ini menyebabkan biaya logistik sangat tinggi dan harga kebutuhan pokok jauh di atas rata-rata nasional.
Tidak mengherankan bila tingkat kemahalan hidup di Papua Pegunungan termasuk yang tertinggi di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Papua Pegunungan masih menjadi provinsi termiskin di Indonesia. Pada Maret 2024, angka kemiskinan mencapai 32,97%, lalu turun menjadi 29,66% atau sekitar 331.120 orang pada September 2024. Garis kemiskinan di wilayah ini pun tinggi, yaitu Rp 1.079.160 per kapita per bulan. Angka-angka ini menegaskan bahwa tantangan ekonomi masyarakat begitu berat, dan pembangunan di wilayah ini membutuhkan fokus serta keseriusan luar biasa dari para pemimpin daerah.
Masyarakat Papua Pegunungan menaruh harapan besar kepada gubernur dan delapan bupati agar mampu membuka isolasi, menghadirkan pelayanan dasar yang layak, dan membawa perubahan nyata. Namun, ada satu kendala besar yang sering tidak terlihat di permukaan, yakni sistem pemilihan langsung yang menimbulkan biaya politik amat tinggi.
*Beban Politik yang Tersembunyi*
Beban kepala daerah di Papua Pegunungan sebenarnya sudah terasa jauh sebelum masa kampanye resmi dimulai.
*1. Promosi diri ke masyarakat*
Seorang calon gubernur atau bupati biasanya harus “membawa muka” ke tengah masyarakat: menghadiri acara adat, membantu kegiatan gereja, hingga memberikan dukungan finansial pada perayaan-perayaan lokal. Semua itu bukan semata-mata karena nilai ibadah atau budaya, tetapi juga demi membangun citra politik. Akibatnya, calon pemimpin sudah mengeluarkan banyak tenaga, waktu, dan biaya bahkan sebelum masuk tahapan resmi pilkada.
*2. Transaksi dengan partai politik*
Untuk bisa maju, calon kepala daerah harus berhadapan dengan partai politik. Proses ini tidak sederhana: ada syarat pencalonan, komunikasi politik yang melelahkan, hingga kemungkinan adanya transaksi yang memberatkan. Hal ini menimbulkan “utang budi” kepada partai, yang kemudian berpengaruh pada arah kebijakan ketika menjabat.
*3. Ketergantungan pada tim sukses, relawan, dan donatur*
Setelah resmi dicalonkan, beban berikutnya datang dari tim sukses, relawan, dan penyumbang dana kampanye. Mereka semua tentu berharap imbalan—jabatan, proyek, atau akses anggaran—setelah kandidat menang. Kepala daerah pun sering merasa terikat oleh “utang politik” ini, sehingga ruang kebijakan menjadi terbatas.
*4. Tekanan dari ASN partisan*
Tidak jarang ASN ikut terlibat mendukung calon tertentu. Setelah pemimpin terpilih, mereka berharap mendapat promosi atau jabatan strategis. Hal ini membuat birokrasi rawan tidak netral, dan pelayanan publik pun terganggu.
*5. Pergeseran prioritas pembangunan*
Demi menjaga dukungan politik, banyak kepala daerah akhirnya memilih proyek yang cepat terlihat hasilnya, meski bukan prioritas jangka panjang. Program penting seperti kesehatan, pendidikan, dan air bersih sering tertunda karena tidak mendatangkan keuntungan politik jangka pendek.
*6. Konflik sosial akibat mobilisasi massa*
Pilkada langsung juga sering menimbulkan gesekan antarpendukung, apalagi jika mobilisasi berbasis kampung, agama, atau klan. Situasi ini menyita energi gubernur maupun bupati untuk menjaga stabilitas politik, padahal masyarakat menunggu pembangunan nyata.
*7. Tekanan psikologis dan etis*
Pemimpin yang sejatinya ingin fokus membangun rakyat sering merasa terikat oleh janji-janji politik masa kampanye. Pergulatan antara idealisme dan realitas politik menjadi beban emosional terus-menerus.
⸻
*Saatnya Meninjau Ulang*
Masalah utama bukan pada pribadi gubernur atau bupati, melainkan pada sistem politik yang membebani mereka. Sistem pilkada langsung menuntut biaya politik sangat besar, sementara kondisi Papua Pegunungan justru menuntut kepala daerah bekerja lebih fokus pada pelayanan dasar.
Karena itu, perlu diskusi serius: apakah sistem pemilihan langsung benar-benar sesuai dengan konteks Papua Pegunungan? Ataukah sudah saatnya mempertimbangkan mekanisme lain yang lebih sederhana, murah, dan minim konflik—misalnya pemilihan kepala daerah oleh DPRD?
Toh DPRD juga merupakan representasi perwakilan rakyat sehingga Dengan mekanisme yang lebih ringan, gubernur maupun bupati akan lebih bebas dari tekanan tim sukses, ASN partisan, relawan, maupun penyokong dana. Energi mereka bisa sepenuhnya diarahkan untuk mengurus rakyat, bukan mengurus kewajiban politik.
⸻
*Penutup*
Tulisan ini bukanlah kritik personal kepada siapa pun. Justru sebaliknya, ini adalah ajakan reflektif kepada gubernur dan bupati di Papua Pegunungan untuk bersama-sama menyadari bahwa beban politik yang melelahkan ini bukan semata karena individu, melainkan karena sistem yang berlaku.
Rakyat Papua Pegunungan membutuhkan pemimpin yang sepenuhnya hadir untuk mereka—pemimpin yang waktunya tidak terbelah antara melayani rakyat dan membayar kewajiban politik. Dengan menata ulang sistem, kita memberi ruang bagi pemimpin untuk lebih merdeka dalam bekerja, dan pada akhirnya rakyatlah yang akan merasakan manfaatnya.