Jokowi, Bloomberg dan Penghianatan Ekonomi Pancasila*

Redaksi
November 24, 2025 | November 24, 2025 WIB Last Updated 2025-11-24T09:25:49Z
Jakarta,Pujian Pemimpin Redaksi Bloomberg News, John Micklethwait, yang menyebut Joko Widodo sebagai “street politician” setara Bill Clinton dan Jacques Chirac mungkin terdengar manis. Namun di panggung megah Bloomberg New Economy Forum 2025 yang berlangsung di Singapura pada 19–21 November 2025, ada isu yang jauh lebih penting dibanding sanjungan internasional bahkan isu ijazah palsu Jokowi, lalu apa sebenarnya arah ekonomi yang sedang dicanangkan Jokowi?

Dan yang lebih penting lagi, apakah arah itu masih berakar pada ideologi ekonomi bangsa yakni Ekonomi Pancasila?

Dalam pidato berbahasa Inggris yang disampaikan selama forum, Jokowi berbicara tentang masa depan ekonomi global, AI, machine learning, digitalisasi, hingga pembaruan lembaga-lembaga seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan World Trade Organization (WTO). Intinya, ndonesia harus ikut arus besar ekonomi global berbasis teknologi agar tidak tertinggal.

Secara formal, gagasan ini terdengar visioner. Namun tanpa disadari, pidato itu juga mendorong publik ke satu model ekonomi tertentu, yitu model pasar global yang dipimpin korporasi besar internasional. Sebuah model yang dalam banyak kajian, justru menjadi sumber ketimpangan.

Dan di sinilah persoalan mulai mengemuka, pidato yang memberi kesan bahwa masa depan ekonomi Indonesia harus mengikuti arus global. Padahal, bangsa kita memiliki pondasi sendiri Ekonomi Pancasila, yang menekankan asas kekeluargaan, kedaulatan nasional, dan gotong royong. Bukan sekadar ikut tren yang dibentuk pasar internasional.

Pidato Jokowi bertentangan dengan konsep ekonomi kerakyatan Bung Hatta yang nyata sejalan dengan ekonomi Pancasila yang berketuhanan, berdikari, gotong royong, dengan kepemimpinan dalam visi ersatuan Indonesia. 

Dalam konteks kekinian pidato Jokowi di forum Bloomberg gagasan Prof. Eggi Sudjana dalam bukunya OST Jubedil (Objektif, Sistematis, Toleran, Jujur, Benar dan Adil, maka perbedaannya sangat jelas.

Eggi menegaskan bahwa ekonomi nasional harus berdiri di atas kaki sendiri, menjaga kedaulatan sumber daya, menolak dominasi kapital global, dan berbasis pada keadilan sosial yang melekat dalam konstitusi.

Sementara dalam pidatonya, Jokowi mendorong publik untuk merangkul ekonomi digital global seakan-akan itu satu-satunya jalan ke depan bangsa Indonesia?

Hal itu pun bukan sekedar preferensi ekonomi yang berbeda, tetapi karena posisi dan kapasitasnya yang mana Jokowi bukan lagi presiden, bukan lagi pemegang mandat negara. Namun ia berbicara di forum internasional seakan masih mewakili bangsa secara langsung.

Karena itu, saya sependapat dengan Prof. Eggi Sudjana dalam bukunya mengatakan, jika seseorang berkata dan bertindak bukan pada kapasitasnya, maka ia tergolong pemimpin “tidak tahu batas” dalam menempatkan diri. Ada etika jabatan yang semestinya dijaga, dan ruang peran yang sudah berbeda.

Bagi banyak pemikir Islam muda yang saya nilai benar, seperti Ichsanudin Noorsy, Munarman, model ekonomi global yang penuh eksploitasi dan ketimpangan jelas bermasalah. Karena itu kritik terhadap pidato Jokowi terang jelas telah ditulis pada ayat-ayat Al-Qur’an yang mengingatkan bahwa Allah melarang ketidakadilan ekonomi.

QS. Al-Baqarah 2:279,
“Jika kamu tidak meninggalkan riba, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya memerangimu.” Sistem ekonomi global modern yang ditandai utang, bunga, dan spekulasi jelas bertentangan dengan ayat ini.

QS. An-Nisa 4:29“, Janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil.”

QS. Al-Ma’idah 5:8, “Berlakulah adil, karena itu lebih dekat kepada takwa.”

Maka pertanyaan serius terhadap pidato Jokowo itu, apakah ekonomi global yang sedang dipromosikan Jokowi benar-benar membawa keadilan? Atau justru menjauh dari perintah Allah tentang keadilan dan kebaikan bersama?

Dalam negara demokrasi, sah-sah saja mantan presiden atau tokoh nasional berbicara di forum global. Namun yang tak boleh terjadi adalah publik diarahkan menerima satu model ekonomi secara mentah, hanya karena pidatonya menggunakan bahasa Inggris yang dipentaskan di panggung internasional.

Bangsa ini memiliki sejarah, ideologi, dan konsep ekonomi sendiri yang telah dibangun bersama. Yang lebih penting, bangsa ini punya hak untuk bertanya dan menolak, ke mana sebenarnya kita sedang diarahkan?

*Penutup*

Jika pemerintah hari ini, atau tokoh-tokoh kemarin, terlalu mendorong kita masuk terlalu dalam ke pusaran ekonomi global liberal, maka tugas publik adalah menjaga agar arah ekonomi Pancasila yang berbasis Ketuhanan dan Kerakyatan Nasional tidak bergeser.

Indonesia tidak anti teknologi. Tidak anti inovasi. Tidak anti modernitas. Namun tegas kita tolak adalah penyerahan kedaulatan ekonomi yang dibungkus jargon “kemajuan teknologi”.

Kita boleh belajar dari dunia tetapi arah ekonomi bangsa ini tidak boleh melupakan rumahnya sendiri, Ekonomi Pancasila.

_Oleh: Agusto Sulistio - Pegiat Sosmed, Aktif di Indonesia Demokrasi Monitor (InDemo)._

Makam Leluhur di Kutoarjo, Jateng, Minggu 23 November 2025, 16: 45 Wib.
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Jokowi, Bloomberg dan Penghianatan Ekonomi Pancasila*

Trending Now

Iklan

iklan