Ijazah di Tangan, Pekerjaan Tak Kunjung Datang

Redaksi
Desember 09, 2025 | Desember 09, 2025 WIB Last Updated 2025-12-09T14:04:29Z
Kota Bekasi,detiksatu.com - Harapan untuk langsung mendapatkan pekerjaan mapan dengan gaji tinggi sering kali menjadi mimpi indah bagi para mahasiswa menjelang kelulusan. Namun realitas di lapangan jauh berbeda. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama para lulusan baru, mimpi itu justru berubah menjadi kenyataan pahit.

Membludaknya jumlah sarjana dari berbagai perguruan tinggi tidak diimbangi dengan ketersediaan lapangan kerja, sehingga menciptakan persaingan ketat yang semakin mencekik para pencari kerja baru.
Kondisi ini tampak jelas dalam data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS). 

Per Februari 2025, terdapat lebih dari 1,01 juta lulusan pendidikan tinggi mulai dari diploma empat hingga strata tiga yang tercatat sebagai pengangguran. Jumlah tersebut menyumbang sekitar 13,89 persen dari total 7,28 juta pengangguran nasional, menempatkan lulusan perguruan tinggi sebagai salah satu kelompok yang cukup dominan dalam struktur pengangguran Indonesia. 

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) untuk lulusan perguruan tinggi juga berada di kisaran 6,23 persen, mencerminkan bahwa gelar kesarjanaan belum cukup menjamin kecepatan terserap di dunia kerja.

Hal serupa dirasakan oleh Rizki (23), nama samaran, lulusan dari Universitas swasta ternama yang memiliki banyak cabang di Indonesia. Rizki mengaku sudah ratusan lamaran yang ia kirimkan, namun hingga saat ini belum juga mendapatkan panggilan kerja.

"Sudah satu tahun saya lulus, ratusan lamaran mungkin ya, sudah tidak terhitung soalnya," ujar Riski, saat diwawancarai DetikSatu.com, Selasa (9/12/25).

Kisah Rizki bukan satu-satunya, hal serupa juga dialami ribuan lulusan baru lainnya di berbagai daerah. Banyak di antara mereka yang akhirnya harus bekerja jauh di bawah bidang keilmuan, menerima gaji tidak sesuai standar, atau bahkan mengambil pekerjaan serabutan demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Situasi ini semakin memperlihatkan ketimpangan antara ekspektasi pendidikan tinggi dengan realitas dunia kerja yang semakin selektif.

Para pengamat menilai bahwa persoalan ini tidak hanya soal jumlah lapangan kerja yang terbatas, tetapi juga menyangkut ketimpangan akses informasi, kualitas kompetensi, hingga minimnya pelatihan transisi dari kampus ke industri. Pemerintah didorong untuk memperbaiki sistem link and match antara pendidikan dan dunia kerja, sementara perguruan tinggi diharapkan tidak hanya menumpukan kualitas lulusan pada nilai akademik, melainkan pembentukan keterampilan praktis.

Menurut Tajdjuddin Noer Effeendi, Pengamat Ketenagakerjaan, meningkatnya pengangguran terdidik ini ada pengaruh faktor, antara lain, jarak lapangan pekerja dengan pencari kerja yang berjauhan.

“Informasi lapangan kerja dengan pencari kerja saling tidak match, mungkin lapangan kerjanya ada di Jakarta sedangakan pencari kerjanya di luar Jakarta, atau sebaliknya gitu”, kata Tajdjuddin, dikutip dari CNN.

Dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) itu menambahkan, fenomena banyaknya sarjana yang menganggur ini juga terjadi karena perubahan pasar kerja akibat perubahan zaman yang cepat.

“Perubahan yang cepat, teknologi merubah pasar kerja, mereka (perusahaan) tidak ingin lagi melihat hanya dari ijazah melainkan keterampilan. Itu yang menyebabkan mungkin sarjana sulit untuk masuk mendapatkan pasar kerja, makanya mereka menganggur,” tambah Tajdjuddin.

Di tengah pusaran data statistik BPS, tantangan skill mismatch, dan analisis pengamat seperti Tajdjuddin, harapan Riski dan satu juta sarjana pengangguran lainnya tetap menjadi fokus utama bisa mendapatkan kesempatan untuk membuktikan kualitas diri dan memanfaatkan ilmu yang telah mereka raih dengan susah payah.

Setelah berbulan-bulan tanpa kepastian, Rizki mengakui perjuangan ini seringkali menguras mental. Ia berharap, ada titik temu antara apa yang dia miliki dengan apa yang dibutuhkan pasar kerja.

“Saya berharap, setelah proses panjang ini, ada satu perusahaan yang mau kasih saya kesempatan. Bukan cuma soal gaji, tapi pengakuan kalau pendidikan yang saya jalani ini ada gunanya. Capek rasanya terus berjuang sendiri di tengah persaingan yang begini ketat,” harap Rizki.

Harapan ini menjadi penutup yang menyentuh sekaligus panggilan bagi semua pihak pemerintah, industri, dan institusi pendidikan untuk segera menyelaraskan realitas dengan mimpi anak muda bangsa Indonesia.

(Evan detiksatu.com)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Ijazah di Tangan, Pekerjaan Tak Kunjung Datang

Trending Now