Sebab Peristiwa Mu’tah
Nabi Muhammad Saw mengutus Al-Harits bin Umair Al-Azadi untuk menyampaikan surat kepada pemimpin Bashra. Di tengah perjalanan, Al-Harits dihadang oleh Syurahbil bin Amr Al-Ghassani, seorang gubernur wilayah Balqa di Syam dan di bawah pemerintah Qaishar Romawi. Syurahbil mengikat Al-Harits dan membawanya ke hadapan Qaishar, lalu dipenggal lehernya.
Membunuh utusan merupakan kejahatan yang amat keji, sama dengan mengumumkan perang, bahkan lebih dari itu. Ketika mendengar kejadian ini, Nabi Muhammad Saw sangat terpukul. Maka, Nabi Muhammad Saw mempersiapkan suatu pasukan yang berkekuatan 3000 prajurit. Pasukan ini merupakan pasukan Islam paling besar, karena sebelumnya tidak pernah terhimpun sebanyak itu kecuali dalam peristiwa Ahzab.
Tiga Panglima Islam
Dalam peristiwa Mu’tah, Nabi Muhammad Saw menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai panglima pasukan. Beliau berpesan, jika Zaid terbunuh penggantinya Ja’far. Apabila Ja’far terbunuh, penggantinya Abdullah bin Rawahah. Bendera perang berwarna putih diserahkan kepada Zaid bin Haritsah.
Nabi Muhammad Saw juga memerintahkan untuk mendatangi tempat terbunuhnya Al-Harits bin Umair untuk menyerukan Islam kepada orang-orang yang ada di sana. Jika mereka menolak, maka pasukan muslimin memohon pertolongan kepada Allah untuk menghadapi mereka, lalu memerangi mereka.
Nabi Muhammad Saw berkata: “Dengan asma Allah, perangilah fi sabilillah orang-orang yang kufur kepada Allah, janganlah kalian berkhianat, jangan merubah, jangan membunuh anak-anak, wanita, orang tua renta, dan orang yang mengisolir di tempat pertapaan rahib, jangan menebang pohon korma dan pohon apa pun, serta jangan merobohkan bangunan.
Ketika kedua pasukan sudah saling berhadapan. Pertempuran sengit pun dimulai, 3000 prajurit kaum Muslimin harus menghadapi 200 ribu prajurit Romawi. Suatu peperangan yang menakjubkan dengan penuh keheranan. Itu semua karena angin keimanan telah berhembus sehingga menimbulkan berbagai hal yang tidak terduga dan menakjubkan.
Pertama kali Zaid bin Haritsah yang memegang bendera, bertempur dengan keberanian yang luar biasa. Ia terus bertempur hingga terkena tombak musuh dan akhirnya tersungkur di tanah, mati syahid.
Saat itu juga bendera diambil oleh Ja’far bin Abi Thalib. Ia juga bertempur dengan hebat. Ketika pertempuran semakin seru, kuda Ja’far terkena senjata musuh, namun Ja’far terus bertempur hingga tangan kanannya putus terkena senjata lawan.
Ja’far mengambil bendera dengan tangan kirinya. Bendera terus berkibar hingga tangan kirinya putus tertebas senjata musuh. Kemudian, ia mengapit bendera dengan kedua tangannya yang masih tersisa, bendera pun terus berkibat hingga ia terbunuh.
Dikatakan bahwa seorang Romawi menebaskan pedang kepada Ja’far hingga terbelah menjadi dua. Karena itulah Allah memberikan pahala kepadanya berupa dua sayap di surga, yang dapat digunakan terbang ke mana saja yang ia kehendaki. Sehingga, Ja’far dijuluki ath-thayyar (penerbang) dan dzul janahain (orang yang memiliki dua sayap).
Setelah Ja’far gugur, bendera diambil alih oleh Abdullah bin Rawahah. Abdullah maju membawa bendera dengan kudanya untuk bertempur. Ia agak meragukan dirinya, namun ia dapat menyingkirkan keraguannya itu, lalu melantunkan syair.
“Wahai jiwa segeralah turun ke sini. Turunlah atau biar engkau dibenci. Biarkan mereka berteriak dan menghiba. Mengapa kulihat engkau tidak suka surga.”
Akhirnya Abdullah bin Rawahah turun dari punggung kudanya. Setelah itu ia didatangi seorang sepupunya sambil menyerahkan sepotong daging untuk dimakannya untuk menambah kekuatan. Abdullah mengambilnya dan menggigitnya sedikit. Namun, lalu ia memuntahkannya lagi, seraya mengambil pedangnnya dan maju bertempur hingga syahid.
Pada saat itu seseorang dari Bani Ajlan bernama Tsabit bin Arqam maju mengambil bendera. Setelah mendapatkan persetujuan dari kaum Muslimin, bendera diserahkan kepada Khalid bin Walid. Setelah menerima bendera, Khalid melakukan pertempuran dengan sengit.
Bukhari meriwayatkan dari Khalid bin Walid, ia berkata, “Ada sembilan pedang yang patah di tanganku pada perang Mu’tah. Yang tersisa di tanganku hanyalah sebilah pedang lebar buatan Yaman.”
Sebelum orang-orang di Madinah mendengar berita dari medan peperangan, Nabi Muhammad Saw mengabarkan berdasarkan wahyu yang diterimanya, “Bendera dipegang oleh Zaid, lalu gugur. Kemudian diambil alih oleh Ja’far, lalu ia pun gugur.” Kemudian Ibnu Rawahah yang mengambilnya dan ia pun gugur.”
Kedua mata beliau meneteskan air mata, lalu bersabda lagi, “Hingga salah satu dari pedang-pedang Allah mengambil bendera itu dan akhirnya Allah memberikan kemenangan kepada mereka.”
Peran Pemuda dalam Peristiwa Mu’tah
Adalah Khalid bin Walid yang usia keislamannya belum lewat tiga bulan, ia bergabung dalam barisan Islam, setelah 20 tahun lamanya memimpin berbagai pertempuran melawan Nabi Muhammad Saw.
Khalid bin Walid baru masuk Islam pada Shafar 8 H. Pasukan umat Islam bergerak ke Mu’tah pada Jumadil Ula 8 H. Berarti, ia menjalani pelajaran dan tarbiyah dalam madrasah kenabian baru berlangsung bulan Rabi’ul Awwal, Rabi’uts-Tsani dan sebagian bulan Shafar dan Jumadil ‘Ula.
Khalid menunjukkan kesungguhannya sebagai ksatria, ia hendak menutup lembaran-lembaran hitam dalam hidupnya. Selanjutnya ia ingin menggoreskan tinta emas pada lembaran baru. Ia juga ingin menghapus gambaran kelam masa silamnya saat menghalangi manusia dari jalan Allah.
Begitu tampak olehnya tanda-tanda keberangkatan ke Mu’tah, ia segera bergabung ke dalam balatentara tersebut, sedangkan hatinya sangat merindukan kapan datangnya saat ia menghunuskan pedangnya di jalan Allah.
Pada mulanya Khalid tidak mengetahui bahwa dirinya akan menghadapi ujian seperti itu, bahkan tidak tahu ia akan memegang tampuk pimpinan tertinggi dalam ketentaraan Islam. Herannya, orang yang memilihnya untuk memegang jabatan itu justru seorang Anshar dan prajurit pada peristiwa Badar. Kaum Muslimin rela atas pilihan itu. Semua itu terjadi secara tiba-tiba dan sangat mengejutkan Khalid bin Walid.
Dengan segala kesederhanaan dan kemudahan yang terjadi, diangkatlah Khalid sebagai panglima balatentara Nabi Muhammad Saw dan kepadanya diserahkan kepemimpinan dan bendera oleh prajurit Badar dan sahabat Anshar, Tsabit bin Aqram.
Khalid adalah pahlawan penyelamat, yang muncul saat di hadapan balatentara Romawi. Sesungguhnya bendera itu diserahkan kepada Khalid pada saat balatentara Islam berada di bibir jurang kehancuran, di ujung pedang balatentara Romawi. Saat itulah, muncul tokoh simpanan dari pertambangannya, menampakkan kepahlawanan dan kebesarannya. Allahu Akbar.
Pelajaran Penting
Dalam peristiwa Mu’tah terdapat pelajaran yang sangat berharga bagi kaum muslimin sebagai bekal dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan tantangan dan rintangan.
Pertama, untuk pembinaan mental pejuang. Pentingnya kekuatan maknawiyah (mental) dalam perjuangan. Pasukan Islam mampu menghadapi gelombang lautan manusia dengan ruh maknawi yang tinggi. Banyaknya pasukan dan lengkapnya persenjataan bukan jaminan memenangi sebuah peperangan. Peristiwa Mu’tah ini menjadi bukti nyata. Bahwa membela agama Allah dan keyakinan akan pertolongan-Nya menjadi modal yang mesti dimiliki oleh setiap muslim, ditambah dengan keberanian dan soliditas pasukan.
Kedua, untuk pembinaan kepribadian keislaman. Khalid bin Walid yang baru masuk Islam didapuk memimpin pasukan kaum Muslimin dalam peristiwa Mu’tah, hal ini sebagai bentuk pembinaan kepribadian keislaman. Dengan jiwa ksatria dan kecerdasannya, Khalid dapat menggoreskan tinta emas dengan meraih kemenangan.
Semoga Allah SWT membimbing kita kaum muslimin agar mampu mengambil pelajaran dalam peristiwa Mu’tah sebagai bekal untuk menjalani kehidupan. Amin. []