Dua unggahan dari Adhie M Massardi beberapa hari terakhir kembali memantik alarm publik. Lewat X (dulu Twitter), mantan Juru Bicara Presiden Gus Dur itu mengangkat kemungkinan skenario baru: berpura-pura sakit untuk menipu publik. Berikut kutipan utuh dua unggahan tersebut:
Pada 28 Juni 2025, dia memposting:
“KANG TIPU always punya momen tuk nipu. Bahkan Si Kancil dalam kurungan bisa pura-pura mati tuk nipu Pak Tani.
Dia dunia nyata pura-pura sakit, tapi gerpol batalkan pembacaan surat. Sukses. Lalu pelesiran sama anak-cucu. ‘Mau pemulihan,’ katanya. Kejarlah daku, kau kutipu…!”
Di postingan lebih awal, 22 Juni 2025, Adhie bahkan menulis:
“SAKIT BOHONGAN: Melihat jejak kebohongannya yang nyata dan panjang, saya tidak yakin orang ini sakit. Kalau selama ini bohong, kenapa dalam soal sakit ini kita percaya?”
Apakah Adhie 100% benar? Belum tentu. Tapi yang pasti, dia menyuarakan kegelisahan kolektif rakyat. Bukankah selama ini kita melihat bagaimana Jokowi sering menghalalkan segala cara demi tujuan politik?
*Rekam Jejak Kebohongan Jokowi*
Tuduhan bahwa Jokowi kerap berbohong bukanlah hal baru. Deretan janji politik yang terbukti tak ditepati bisa menjadi daftar panjang sendiri:
Mobil Esemka sudah dipesan 6.000 unit. Kapasitas produksinya hanya 200-300 unit per bulan.
Tidak akan impor pangan. Faktanya, Indonesia impor beras, garam, gula, jagung, hingga daging. Tidak akan utang ke luar negeri. Kini utang negara tembus Rp8.300 triliun.
Tak akan bagi-bagi jabatan. Kabinet dipenuhi titipan partai. Transaksional. Akan jaga netralitas Pemilu. Justru dengan terang-terangan Jokowi bilang akan cawe-cawe. Hasilnya, Gibran melenggang jadi Cawapres setelah menelikung MK. Cawe-cawenya juga sukses menjadikan mewapreskan Gibran setelah mengerahkan birokrasi dan aparat, juga menggelontorkan ratusan triliun dana Bansos.
Mau lagi? Nanti artikel dijejali daftar kebohongan Jokowi. Rasanya gelar yang disematkan anak-anak BEM UI sebagai The King of Lips Service kepada eks tukang mebel, cukup mewakili.
*Sakit? Beneran?*
Tapi, dr. Tifauzia Tyassuma justru menyampaikan kekhawatiran serius. Dia bilang, Jokowi kemungkinan mengalami gangguan autoimun agresif. Penyakit ini mempengaruhi kulit dan metabolisme.
Menurut dr. Tifa, kondisi kulit Jokowi memburuk akibat stres berat yang menumpuk, serta bisa berdampak luas ke organ-organ lain. Ia mengimbau agar Jokowi mendapat penanganan medis profesional. Bahkan menyarankan agar berobat ke luar negeri jika perlu.
Penting dicatat, dr. Tifa adalah dokter ahli dan kritis terhadap rezim. Dia bukan pembela kekuasaan. Justru suaranya datang dari niat profesional dan empatik. Bukan pembenaran politik.
Adhie dan dr. Tifa mencerminkan dua sisi realitas hari ini. Di satu sisi, publik berhak waspada terhadap potensi manuver politik. Di sisi lain, faktanya manusia bisa sakit. Yang jadi masalah adalah: selama ini, komunikasi publik dari lingkar kekuasaan kerap tidak jujur. Sakit pun bisa dipolitisasi. .
Dalam konteks ini, rakyat perlu terus awas. Apakah “sakit” ini hanya pengalihan isu? Atau benar-benar kondisi serius yang harus ditangani medis?
Kita tidak bisa serta merta menyetujui seluruh tudingan Adhie Massardi. Tapi juga tak bisa menolak bahwa apa yang ia sampaikan bisa jadi sinyal penting. Rakyat harus peka.
Sakit itu manusiawi. Tapi pura-pura sakit sebagai taktik politik, adalah kejahatan terhadap publik. Karenanya, jangan gunakan penyakit sebagai tameng atau alat manipulasi
Maka, suara Adhie bisa jadi alarm. Suara dr. Tifa adalah peringatan medis. Keduanya layak didengar. Rakyat harus tetap jernih. Karena terlalu banyak dusta yang telah ditelan selama ini.
Sumber:Edy Mulyadi,
Wartawan Senior