Pimpinan redaksi M.Muiz mengatakan ada semangat pemisahan yang tegas soal pribumi dan non-pribumi dalam pidato gubernur Jayapura yang secara tidak langsung akan menimbulkan kebencian terhadap ras dan etnis lain di masyarakat Papua pegunungan.
JAKARTA,DETIKSATU.COM || Pimpinan redaksi neodetik.com, menyatakan prihatin dan menyesalkan pernyataan Walikota Jayapura Abisay Rollo yang berisi konten bernuansa rasis dan cenderung melanggar prinsip hukum dan hak asasi manusia dalam unggahan video yang telah beredar luas di media sosial.
walikota Jayapura menuai kecaman, karena dianggap membangkitkan politik identitas terkait suku, , ras dan antar golongan (SARA) dengan penyebutan istilah pribumi.
Pimpinan redaksi mengkritik isi video yang membedakan antara golongan pribumi dan nonpribumi. Publik melihat, pembicaraan walikota menunjukkan visi politik yang rasis. Dan jorok
"Menyimak video dari walikota Jayapura setelah menjadi walikota Jayapura publik menjadi mafhum bahwa visi politik abysai adalah rasisme. Politisasi identitas, bukan hanya untuk menggapai kursi walikota tetapi hendak dijadikan landasan membangun Jayapura ke depan," ujar pimpinan redaksi.
Muiz melihat ada semangat pemisahan yang tegas soal pribumi dan nonpribumi dalam pidato abysai.
Hal itu menurut Muiz secara tidak langsung akan menimbulkan kebencian terhadap ras dan etnis lain masyarakat yang ada di Jayapura
"Pernyataan abysai ini bukan hanya keluar dari nalar etis seorang pemimpin walikota yang plural, tapi juga membangun segregasi baru atas dasar ras. Kebencian ras ini selalu bermula dari suatu praktek politik genosida seperti di Myanmar. Genosida tidak hanya dalam bentuk fisik tapi juga dalam bentuk penegasan penegasian ras dan etnis lain dalam membangun Jayapura," imbuhnya.
Abysai selaku walikota Jayapura menurut Muiz sudah melanggar produk aturan hukum dan perundangan di Indonesia seputar penggunaan istilah pribumi.
"Bila mengacu pada Instruksi Presiden Nomor 26 tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Nonpribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan, ini abysai bisa dianggap melanggar. Abysai juga bisa dikualifikasi semangat etis UU No.40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis," lanjut Muiz.,
Sosok abysai dalam video pertamanya sebagai walikota Jayapura lanjut muiz , telah mengoyak kemajemukan warga negara dan terlihat lebih mengutamakan supremasi golongan.
"Dalam hemat saya, seharusnya abysai pada hari pertama kerja melakukan emotional healing atas keterbelahan warga Jayapura akibat politisasi identitas, tapi justru mempertegas barikade sosial atas dasar ras dan etnis. Sosok pemimpin seperti ini tentu saja tidak kompatibel dengan demokrasi dan Pancasila karena mengutamakan supremasi golongan dirinya dan mengoyak kemajemukan dari warga negara," jelas muiz
Menanggapi polemik itu, abysai menegaskan bahwa istilah "pribumi" digunakan dalam konteks menjelaskan era penjajahan. Sebab, kata Abysai,
Jayapura merupakan kota yang paling merasakan penindasan di era kolonial Belanda. Bagi abysai, ucapannya soal "pribumi" dalam pidato tersebut diplintir oleh beberapa media online hingga menjadi viral di media sosial. Abysai juga bersikukuh bahwa istilah "pribumi" yang ia pakai tidak melanggar etika publik, serta tidak menyalahi Instruksi Presiden Nomor 26 tahun 1998.
"Kata pribumi digunakan untuk menjelaskan era kolonial Belanda pada saat itu. Ini 'kan plintiran satu dua website, ya!. Sekarang sudah dikoreksi," jelas abysai.
"Di tempat lain mungkin penjajahan terasa jauh, tapi di Jayapura bagi orang Jayapura yang namanya kolonialisme itu di depan mata. Dirasakan sehari-hari. Karena itu bila kita merdeka maka janji-janji itu harus terlunaskan bagi warga Jayapura.
Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai Jayapurs ini seperti yang dituliskan pepatah Madura. Itik telor, ayam singeremi. Itik yang bertelor, ayam yang mengerami," imbuhnya.
Tim Redaksi