Jakarta,detiksatu.com || Koperasi Desa Merah Putih, yang digagas melalui Instruksi Presiden No. 9/2025, bertujuan untuk menjadi motor penggerak ekonomi desa dengan memperkuat kemandirian masyarakat melalui koperasi di setiap desa/kelurahan di Indonesia. Program ini didukung oleh modal besar dari Bank Himbara (BNI, BRI, Mandiri, BTN) sebesar Rp 3–5 miliar per koperasi, dengan Dana Desa sebesar Rp70 triliun yang digunakan sebagai jaminan, menargetkan 80.000 koperasi dengan total anggaran Rp 240–400 triliun.
Namun, di balik ambisi besar ini, muncul berbagai kekhawatiran terkait potensi kegagalan dan anomali, seperti pendekatan top-down, risiko campur tangan politik, nepotisme, dan mis-manajemen aset. Kekhawatiran ini diperparah oleh kabar bahwa pengurus koperasi, nantinya bisa berasal dari kader partai politik. Tentang kepengurusan inilah yang menjadi salah satu potensi dari kegagalan dari koperasi, karena terdapat ancaman budaya korupsi yang bisa merusak akuntabilitas.
Rawls, dalam kerangka berpikirnya dalam Teori Keadilan Distributif, menekankan bahwa distribusi sumber daya harus adil dan berdasarkan kebutuhan atau kontribusi, bukan preferensi kelompok tertentu. Ketidaksesuaian dengan prinsip ini dapat menyebabkan bias distribusi, di mana manfaat koperasi hanya dinikmati oleh segelintir pihak.
Selain itu, dalam Teori Principal-Agent yang dipaparkan oleh Jensen & Meckling, mengingatkan tentang konflik kepentingan antara masyarakat desa (principal) dan pengurus koperasi (agent), yang dapat memicu penyalahgunaan dana.
Tulisan saya kali ini akan menganalisis adanya anomali di dalam program Koperasi Merah Putih secara konstruktif, mengidentifikasi risiko-risiko utama yang bisa dijadikan pertimbangan oleh pemerintah, serta mengusulkan solusi berbasis transparansi dan kompetensi untuk memastikan keberlanjutan program.
Menurut saya analisis ini penting karena Koperasi Merah Putih memiliki potensi besar untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran, tetapi tanpa pengelolaan yang baik, program ini berisiko menjadi “lahan bancakan” yang merugikan masyarakat desa.
Dana Desa sebagai Jaminan
Penggunaan Dana Desa sebesar Rp70 triliun sebagai jaminan pinjaman untuk Koperasi Merah Putih merupakan salah satu anomali utama program ini di mana, Dana Desa yang dialokasikan melalui APBN, seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pemberdayaan masyarakat, dan kebutuhan dasar desa seperti jalan, jembatan, atau sekolah. Namun, dengan menjadikan Dana Desa sebagai jaminan pinjaman di Bank Himbara, program ini berisiko membebani keuangan desa jika koperasi gagal bayar. Mekanisme “intercept” (pemotongan Dana Desa untuk membayar utang) dapat mengganggu pembangunan desa, karena dana yang seharusnya untuk kebutuhan publik tersedot untuk menutup kredit macet.
Thompson dalam Teori Korupsi Institusional, menjelaskan bahwa institusi dapat dirancang sedemikian rupa sehingga memungkinkan adanya penyimpangan, meskipun tidak melanggar hukum.
Nah untuk kasus di Koperasi Merah Putih, penggunaan Dana Desa sebagai jaminan tanpa pengawasan ketat membuka peluang penyalahgunaan dana, seperti proyek fiktif atau laporan keuangan palsu (fraud statement).
Faktanya, terdapat 591 kasus korupsi Dana Desa antara 2014–2024, yang menunjukkan kerentanan sistem ini terhadap penyelewengan.
Risiko tadi diperparah oleh skala pinjaman yang besar (Rp 3–5 miliar per koperasi), dan ketidakpastian kemampuan koperasi menghasilkan laba, seperti target Rp 1 miliar per tahun yang dijanjikan. Jika manajerial koperasi buruk, pinjaman dapat macet, menyebabkan kerugian bagi Bank Himbara dan Dana Desa. Maka dari itu, untuk mengatasi risiko ini, diperlukan audit keuangan reguler oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan pelaporan digital yang transparan untuk memastikan dana digunakan sesuai tujuan.
Pendekatan Top-Down yang Tidak Efektif dan Risiko Campur Tangan Politik
Pendekatan top-down yang biasa diperagakan oleh Prabowo Subianto dalam pembentukan Koperasi Merah Putih, menjadi anomali yang lainnya karena bertentangan dengan prinsip koperasi itu sendiri yang menekankan inisiatif masyarakat (bottom-up). Pendekatan top-down ini mengabaikan keragaman kebutuhan lokal, seperti perbedaan antara desa agraris di Jawa dan desa nelayan di Maluku. Akibatnya, koperasi berisiko tidak relevan dengan potensi ekonomi daerah, sehingga sulit berkembang secara berkelanjutan. Selain itu, pendekatan top-down dapat melemahkan otonomi masyarakat desa, mengurangi rasa memiliki terhadap koperasi.
Pareto dalam teorinya menjelaskan bahwa kekuasaan dan sumber daya cenderung dikuasai oleh elit kecil, yang dalam konteks ini dapat berupa elit politik atau “orang titipan” yang mempengaruhi pengelolaan koperasi. Risiko campur tangan politik ini sangat nyata, terutama karena keterlibatan kader partai politik atau orang yang di-endorsemelalui jalan nepotisme sebagai pengurus, dapat mengarahkan koperasi menjadi alat kepentingan politik, bukan pemberdayaan ekonomi. Misalnya dalam kasus solar bersubsidi, di mana kapal industri mengambil jatah milik nelayan kecil, menjadi paralel yang relevan, menunjukkan bagaimana sumber daya dapat disalurkan ke pihak yang tidak berhak akibat intervensi elit.
Campur tangan politik juga meningkatkan risiko korupsi, seperti penyalahgunaan dana pinjaman untuk proyek yang menguntungkan kelompok tertentu. Dan untuk mengatasi ini, diperlukan partisipasi masyarakat lokal dalam perencanaan koperasi, sehingga usaha yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan daerah.
Penutup
Koperasi Merah Putih memiliki potensi besar untuk menggerakkan ekonomi desa dan mengurangi kemiskinan, tetapi menghadapi berbagai anomali yang dapat menggagalkan tujuannya. Penggunaan Dana Desa sebagai jaminan pinjaman, pendekatan top-down, risiko campur tangan politik, nepotisme, dan ketidak-kompetenan pengurus dari kader partai politik, menjadi ancaman yang serius. Solusi berbasis rekrutmen yang transparan, terbuka, dan berbasis kompetensi, seperti yang sudah saya usulkan, merupakan langkah konstruktif untuk mengatasi anomali ini. Dengan pengelolaan yang profesional dan inklusif, koperasi dapat menyerap tenaga kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan mendorong pertumbuhan ekonomi dari dua sisi. Namun, keberhasilan solusi ini bergantung pada pengawasan yang ketat, pelatihan SDM, dan partisipasi masyarakat lokal.
Harapan saya, pemerintah dapat memastikan bahwa Koperasi Merah Putih tidak hanya menjadi proyek ambisius, tetapi juga institusi yang benar-benar memberdayakan masyarakat desa. Dengan reformasi yang tepat, program ini dapat menjadi model pemberdayaan ekonomi yang berkelanjutan, menghindari jebakan korupsi dan kegagalan manajerial yang telah menghantui program serupa di masa lalu.
Sumber :Hara Nirankara