Bid’ahkah Perayaan Hari Ibu Tiap 22 Desember?

Redaksi
Juli 26, 2025 | Juli 26, 2025 WIB Last Updated 2025-07-26T16:33:48Z


 Jakarta _Pada setiap 22 Desember, sering sekali kita diperingati sebagai Hari Ibu. Hal ini memang bermula pada dari sebuah pertemuan pertama organisasi perempuan yang dikenal dengan nama Kongres Perempuan Indonesia I. Kongres tersebut dilaksanakan pada 22 Desember 1928 di Gedung Dalem Joyodipuran, Yogyakarta.

Berkaitan dengan adanya Hari Ibu, muncul pertanyaan hukum perayaan hari tersebut jika ditinjau dari sisi agama Islam. Apakah hal ini bertentangan dengan Islam atau tidak. Alasannya pada saat Nabi tidak ada peringatan Hari Ibu seperti saat ini.Landasan Kewajiban Menghormati Ibu

Sebetulnya memang dalam Islam sendiri tidak ada perayaan tertentu untuk memulaiakan seorang Ibu. Karena sebetulnya kita diperintahkan untuk senantiasa memulaikan, mematuhi, dan menghormati Ibu tanpa mengenal kondisi, ruang dan waktu. Dengan kata lain, bagi kita setiap hari adalah Hari Ibu.

Kewajiban menghormati orang tua pada setiap saat ini dapat dilihat dari beberapa riwayat Nabi Muhammad Saw, yang memerintahkan kita untuk selalu memuliakannya.

Misalnya ada hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah tentang “Pentingnya Berbakti kepada Ibu”.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ، قَالَ أَبُوْكَ

“Dari Abu Hurairah ra, “Seseorang datang kepada Rasulullah Saw dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi Saw menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi Saw menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi Saw menjawab, ‘Kemudian ayahmu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Jika kita perhatikan pada hadis ini, dikatakan bahwa kedudukan ibu tiga kali lebih utama daripada ayah karena seorang ibu telah melakukan tiga hal kepada anaknya yang tidak dapat dilakukan oleh seorang Ayah. Kata “Tiga hal” disini memang memiliki banyak penjelasan. Ada yang mengatakan bahwa “Tiga Hal” ini meliputi 3M: Mengandung, Melahirkan dan Menyusui (Nawawi, 1998).

Selain itu, ada hadis yang sudah tidak asing ditelinga kita yakni hadis tentang “Surga itu dibawah telapak kaki ibu”, hal ini memang terdapat dalam riwayat An-Nasai melalui jalur sahabat Muawiyah Ibn Jahimah sebagai berikut.

أَنَّ جَاهِمَةَ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ وَقَدْ جِئْتُ أَسْتَشِيرُكَ. فَقَالَ : ” هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ “. قَالَ : نَعَمْ. قَالَ : ” فَالْزَمْهَا، فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا

“Tatkala, Jahimah datang kepada Nabi Saw, maka ia berkata: Wahai Rasulullah, saya ingin ikut berperang dan saya sekarang memohon nasihat kepadamu?’ Rasulullah Saw lalu bersabda, ‘Kamu masih punya ibu?’ Mu’awiyah menjawab, ‘Ya, masih.’ Rasulullah Saw bersabda, ‘Berbaktilah kepada ibumu (lebih dahulu) karena sungguh ada surga di bawah kedua kakinya’.” (HR. An-Nasa’i, No. 3104).

Hadis ini memang oleh sebagian ulama disinyalir berkualitas dhaif, bahkan ada yang mengatakan maudhu (palsu). Namun hadis ini bukan menunjukkan hal yang bersifat akidah, dan juga hadis ini mengandung “fadhailul a’mal” (keutamaan beramal/motivasi). Dengan demikian hadis ini layak digunakan sebagai hujjah. Selain itu juga hadis ini berkualitas hasan sahih.


Dalam kitab “Hasiyah As-Sindī Ala Al-Nasa’i” karya Jalaluddin Asy-Suyuthi dijelaskan lafal “fa inna al-jannah”, maksudnya bahwa surga itu tidak akan didapatkan oleh kita, kecuali melalui ridha ibu. Dengan kata lain, surga hanya bisa dicapai melalui keridhaan seorang Ibu.

Hal ini, senada dengan hadis yang terdapat dalam kitab “Bulughul Maram” bab Al-Birr Wa Sillati (bab berbuat baik kepada orang tua dan Silaturahmi) karya Ibn Hajar al-Asqalani dengan redaksi:

وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-, عَنْ اَلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: – رِضَا اَللَّهِ فِي رِضَا اَلْوَالِدَيْنِ, وَسَخَطُ اَللَّهِ فِي سَخَطِ اَلْوَالِدَيْنِ – أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِم

“Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ashr radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Keridhaan Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua.” (Diriwayatkan oleh Tirmidzi, hadits ini sahih menurut Ibnu Hibban dan Al-Hakim) [HR. Tirmidzi, no. 1899].

Berdasarkan beberapa riwayat yang telah disebutkan di atas, maka dapat diambil beberapa hikmah atau isi kandungannya:

Pertama, hadis tersebut menunjukkan keutamaan berbakti kepada orang tua, terkhusus ibu, dengan cara membahagiakan dan membuat senang.

Kedua, Hadis ini menjadi dalil keharaman durhaka kepada seorang Ibu. Ketiga, Diantara bentuk bakti kepada seorang ibu dengan menuruti semua perintahnya, selama tidak keburukan (kesesatan).

Dari ketiga hal tersebut menjadi bukti bahwa seyogianya seorang anak harus selalu berbuat baik terhadap ibu tanpa mengenal waktu.

Hukum Merayakan “Hari Ibu”

Sebagaimana pertanyaan di atas, bagaimana terkait hukum perayaan Hari Ibu? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka kita perlu menelisik asal dari segala perkara.

Dalam kaitannya ini, terdapat satu kaidah di dalam kitab ushul fiqh yang berbunyi:

الأصل في كل الأشياء الإباحة حتى يقوم دليل يدل على النقل عن هذا الأصل

“Asal dari segala perkara adalah mubah (Boleh), sampai tegaknya dalil yang menunjukkan berubahnya hukum asal ini.” (Khallaf, 2014).

Dari sini dapat dipahami, bahwa sebetulnya Islam ikut andil dalam urusan ini. Dari sumber ini juga dapat disebutkan bahwa “Perayaan yang tidak berkaitan dengan agama asalnya mubah (diperbolehkan). Artinya semua tradisi atau kegiatan apapun pada asalnya hukumnya boleh, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.”

Berkaitan dengan perayaan Hari Ibu, maka tidak ada juga dalil yang mengatakan keharamannya terkait kegiatan tersebut. Jika dikatakan peringatan ini sebagai bid’ah (sesuatu yang tidak dikerjakan pada masa Nabi), maka perlu dilihat juga pembagian bid’ah menurut Imam Syaf’i sebagai berikut.

اَلْبِدْعَةُ ِبدْعَتَانِ : مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ

“Bid’ah itu ada dua: bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela)”.

Berdasarkan dua sumber ini, dapat disimpulkan bahwa hukum asal dari merayakan Hari Ibu adalah boleh.

Meski demikian, kegiatan ini juga perlu dilihat substansinya, jika pada hari itu berkaitan dengan hal terpuji, apalagi jika sampai memberikan hadiah yang beliau inginkan misalnya, maka ini sudah jelas diperbolehkan, dan termasuk kepada bid’ah hasanah.

Namun, jika isinya hal-hal tercela, seperti mencela seorang ibu, maka ini peryaan ini haram hukumnya, dan termasuk kepada bid’ah dhalalah. []

Khaerul UmamMahasiswa Magister Ilmu Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Bid’ahkah Perayaan Hari Ibu Tiap 22 Desember?

Trending Now