Jakarta, detiksatu.com || Musim panas ini di Eropa Barat, media ramai membicarakan “gelombang panas yang belum pernah terjadi sebelumnya”. Pihak berwenang bekerja keras membantu orang mengatasi dampak suhu ekstrem.
Sebagai seseorang di Gaza, sulit untuk tidak merasa getir mendengar kepanikan itu.
Karena di sini, tanah airku – setidaknya yang tersisa – telah berubah menjadi tungku raksasa terbuka
Sekarang, di tengah musim panas Mediterania yang panas dan lembap, kami bahkan tidak punya perlindungan dasar dari teriknya matahari. Saya membaca laporan yang menyarankan orang Eropa untuk tinggal di dalam rumah, tetap terhidrasi, memakai tabir surya, dan menghindari aktivitas luar ruang. Sementara kami di Gaza tidak punya rumah, tidak ada air, tidak ada teduh, dan tidak ada jalan keluar.
Kami tak bisa “mengurangi aktivitas luar” karena semua yang kami butuhkan untuk bertahan hidup ada di luar: truk air yang mungkin datang dua kali seminggu jika beruntung, distribusi makanan, kayu bakar untuk dikumpulkan. Kami tak bisa “tetap terhidrasi” karena air langka, dijatah, dan sering tercemar. Dan tabir surya? Lebih mudah menemukan obat di Mars.
Dari Pantai Menyenangkan ke Neraka Terbuka
Musim panas di Gaza dulu berarti hari-hari ceria di pantai, halaman dengan kebun kecil, angin sepoi di bawah pohon. Tapi serangan brutal Israel mengubahnya jadi musim siksaan. Pantai diblokade. Halaman jadi puing. Pohon jadi abu. Israel meratakan sebagian besar Gaza, mengubah tanah jadi debu, taman jadi gurun, kota jadi kuburan. Gaza kini adalah kota tanpa teduh.
Panas itu sendiri menjadi pembunuh diam-diam. Tapi musim panas mematikan Gaza ini bukan fenomena alam. Ini bukan sekadar akibat perubahan iklim. Ini buatan Israel. Pengeboman tanpa henti menciptakan emisi gas rumah kaca dan lapisan debu serta polusi tebal. Api dibiarkan menyala. Sampah membusuk di bawah matahari. Lahan pertanian digilas. Yang tadinya krisis iklim kini jadi kekejaman iklim—direkayasa dengan kekuatan militer.
Tenda-Tenda yang Jadi Oven
Ironinya pahit: Eropa menyalahkan “heat dome”, kubah panas atmosfer. Tapi Israel menjebak kami di kubah lain: tenda-tenda nilon yang sesak, seperti oven di bawah matahari. Kamp ini bukan tempat berlindung – ini ruang memasak perlahan. Mereka menjebak panas, bau, rasa takut, dan duka. Dan kami, para pengungsi, tak punya tempat lain.
Musim panas bukan lagi musim yang saya nantikan. Ini adalah ujian yang harus saya jalani. Matahari menggantung di atas seperti hukuman. Tanah membakar sampai sandal pun terasa menyiksa. Saya tak bisa tinggal di dalam tenda siang hari – terlalu panas untuk bernapas. Tapi saya juga tak bisa lama di luar. Saya harus pergi. Harus antre panjang demi air, lalu antre lagi demi makanan – di bawah matahari yang begitu kejam sampai saya takut sengatan panas sama seperti kelaparan.
Kami diminta antre dengan tertib, tapi bagaimana antre jika tubuh lemas dan anak lapar? Saya merangsek maju, bukan karena rakus, tapi karena putus asa. Saya mencari kayu, plastik, apa saja untuk dibakar. Lalu kembali ke tenda hanya untuk roboh ke dalam panas.
Malam Tanpa Ampunan
Malam tak memberi belas kasihan. Dengan sebagian besar penduduk Gaza kini berjejal di dekat pantai, tenda-tenda memantulkan panas satu sama lain. Tidak seperti tanah, mereka tak mendingin setelah matahari terbenam. Mereka menyimpan derita. Saya merasakan napas tetangga, keringat mereka, kesedihan mereka, seolah panas itu menular. Serangga menyerbu, tertarik oleh kehangatan. Ibu dan saudara perempuan saya menepisnya seakan itu bom yang masih kami dengar di kejauhan.
Tinggal di tenda untuk musim panas kedua seharusnya membuatnya lebih mudah. Nyatanya lebih parah.
Tahun lalu, setelah diusir dari rumah kami di timur Khan Yunis, kami setidaknya punya sedikit variasi makanan. Masih ada bantuan datang. Kami masih bisa memasak. Tapi sejak 2 Maret, ketika Israel kembali memblokir bantuan kemanusiaan, kami jatuh ke jurang kelaparan yang direkayasa.
AS dan Israel kini menggelar sandiwara menjijikkan bernama “Yayasan Kemanusiaan Gaza” untuk mendistribusikan tepung. Mereka menaruh karung-karung tepung dalam kandang besi seolah kami ternak. Orang dipaksa antre berjam-jam di bawah langit terbuka, tanpa teduh, tanpa martabat. Tentara berteriak menyuruh melepas topi, tiarap di aspal membara, merangkak untuk makanan. Setelah semua itu, Anda mungkin pulang dengan tangan kosong—jika tidak ditembak lebih dulu.
Mereka merendahkan standar hidup kami. Kami tak lagi meminta keselamatan atau tempat tinggal. Kami hanya bertanya: Apakah ada cukup makanan untuk bertahan hari ini?
Israel menggabungkan semua alat penyiksaan: panas tanpa teduh, haus tanpa air, lapar tanpa harapan. Tidak ada listrik untuk mengoperasikan desalinasi atau pompa air. Tidak ada bahan bakar untuk mendinginkan sedikit air yang ada. Tidak ada tepung, tidak ada ikan, tidak ada pasar. Bagi banyak dari kami, musim panas ini bisa jadi musim terakhir.
Ini bukan krisis iklim. Ini cuaca yang dijadikan senjata—perang yang dilancarkan bukan hanya dengan bom dan peluru, tapi juga dengan panas, haus, dan kematian perlahan. Gaza bukan sekadar terbakar—ia dicekik di bawah matahari buatan manusia. Dan dunia menonton, menyebutnya “konflik”, sambil memeriksa prakiraan cuaca. []
Qasem Waleed, Fisikawan dan penulis Palestina yang berbasis di Gaza
Sumber: Al Jazeera

