Ketika orang mendengar nama Salahuddin al-Ayyubi, mereka terbayang sosok pemimpin yang gagah, adil, dan penuh semangat jihad. Dialah penakluk Yerusalem, penyatu negeri-negeri Islam yang tercerai-berai. Tapi sedikit yang tahu, betapa perih dan sulitnya perjuangan Salahuddin untuk merebut kembali Baitul Maqdis dari tangan Salibis dalam Perang Salib Kedua dan ketiga. Bahkan, sebelum pedang dihunus ke dada musuh, Salahuddin lebih dulu harus melawan dinginnya hati kaum Muslimin sendiri.
Pecahnya Umat, Pilu Seorang Mujahid
Saat itu dunia Islam terpecah menjadi banyak kerajaan kecil. Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad kehilangan wibawa sebagai pemimpin dunia Islam. Para sultan, amir, dan gubernur hanya memikirkan kekuasaan masing-masing, saling bersaing, bahkan saling menumpahkan darah.
Ketika kaum Salib merebut Yerusalem pada tahun 1099 M, 70.000 Muslim dibantai di dalam Masjidil Aqsha. Lautan darah membanjiri rumah Allah. Tapi alih-alih bersatu, negeri-negeri Islam diam membisu.
Salahuddin yang kala itu masih muda, mendengar cerita itu dari para ulama dan para korban yang selamat. Tangisnya jatuh. Tapi lebih pedih lagi ketika ia menyaksikan betapa para pemimpin Islam tak bergeming.
Seruan yang Tak Disambut
Setelah dewasa dan menjadi Sultan Mesir serta Syam, Salahuddin mengirim surat demi surat ke Baghdad. Ia memohon agar Khalifah Abbasiyah mengirimkan pasukan dan menggalang kekuatan bersama membebaskan Al-Quds. Tapi yang datang hanya kertas berstempel tanpa pasukan.
Ia juga mengutus utusan ke berbagai negeri Islam: Andalusia, Maghrib, Yaman, hingga Persia. Tapi balasannya selalu sama: sibuk dengan urusan sendiri. Bahkan sebagian pemimpin takut ikut campur karena takut dipermalukan atau kalah oleh bangsa Franka.
“Wahai para pemimpin yang mengaku khawatir akan nasib umat! Di mana kalian saat rumah Allah diinjak-injak oleh kaum kafir?!” Teriak Salahuddin dalam satu khutbahnya.
Perang Batin Seorang Pejuang
Selama hampir dua dekade, Salahuddin berjuang tidak hanya melawan pasukan Salib, tapi juga berjuang menyatukan negeri-negeri Islam yang berserakan. Ia menaklukkan satu per satu wilayah Muslim yang diperintah oleh penguasa yang zalim atau lemah. Kadang dengan pedang, kadang dengan diplomasi.
Bahkan, beberapa penguasa Muslim justru bekerja sama dengan Tentara Salib. Ada yang diam-diam memberi pasokan, ada yang memberi izin wilayahnya dilintasi tentara Franka. Salahuddin menyimpan amarah dan kecewa, tapi ia menahan diri demi tujuan besar: Al-Quds.
Tangis Kemenangan yang Terlambat
Barulah pada 1187 M, setelah bertahun-tahun menyatukan kekuatan, Salahuddin berhasil mengalahkan pasukan Salib di Hittin, lalu merebut kembali Yerusalem. Tapi bahkan dalam kemenangan itu, Salahuddin menangis. Bukan karena gembira, tapi karena umat Islam terlambat bangkit.
“Berapa banyak darah yang tumpah, betapa banyak kehormatan yang diinjak, hanya karena kita tak mau bersatu.” Ucapnya.
Pelajaran dari Baitul Maqdis
Salahuddin mengajarkan kita, bahwa membebaskan tanah suci bukan hanya dengan pasukan dan senjata, tapi juga dengan hati yang bersatu, dan umat yang sadar.
Hari ini, Baitul Maqdis kembali berada dalam cengkeraman penjajah. Dunia Islam kembali terpecah. Akankah kita mengulang kesalahan yang sama? Ataukah kita belajar dari kisah tangis Salahuddin?
> “Aku lebih takut pengkhianatan umat sendiri daripada tombak musuh di medan perang.”
– Salahuddin Al-Ayyubi