Jakarta,detiksatu.com || Konsep keperawanan dalam masyarakat Indonesia sering kali menjadi indikator dari moralitas seseorang, terutama bagi perempuan jika dicerminkan pada norma sosial dan agama yang kuat. nah kasus yang terjadi padaErika Karlina, yang mengaku hamil di luar nikah akibat hubungan konsensual dengan DJ Panda, memicu reaksi beragam dari netizen. Ketika reaksi publik menciptakan atensi dan menjadi heboh,
DJ Panda akhirnya meminta maaf. Di sisi lain, Erika mendapat dukungan dari banyak pihak meskipun tindakannya melanggar norma sosial dan agama. Reaksi terhadap Erika dari masyarkat yang memberikan dukungan pun memunculkan pertanyaan: kenapa netizen memberikan semangat kepada pelaku seperti Erika, dan mengapa Erika diposisikan sebagai korban sementara DJ Panda dianggap pelaku? Padahal, keduanya terlibat secara sadar dalam hubungan tanpa unsur pemerkosaan.
Keperawanan dalam budaya di Indonesia tidak hanya dipandang sebagai kondisi fisik, tetapi juga simbol kemurnian moral dan kepatuhan terhadap nilai agama. Namun, reaksi masyarakat terhadap kasus Erika menunjukkan kontradiksi antara norma dan empati selektif. Netizencenderung memaafkan Erika, yang hamil di luar nikah sekaligus menyalahkan DJ Panda yang dianggap sebagai pelaku, meskipun sebenarnya kedua belah pihak merupakan sama-sama pelaku dalam hal hubungan seksual yang “mau sama mau”. Hal ini, jika dilihat dari perspektif ilmu logika, mencerminkan kesesatan berpikir yang dialami oleh masyarakat di mana, norma sosial dan agama sering kali dikalahkan oleh bias emosional, estetika, atau pengaruh budaya global.
Dalam konteks hukum “tabur-tuai” yang sering dikaitkan dengan ajaran agama, Erika seharusnya siap menanggung konsekuensi atas potensi kehamilannya. Namun, dukungan yang diberikan kepada Erika justru menunjukkan adanya faktor lain, seperti empati gender atau bias kognitif, yang memengaruhi penilaian masyarakat.
Mengapa Netizen Mendukung Erika Karlina?
Nah untuk membedah kenapa banyak dukungan dari netizen terhadap Erika Karlina, yang hamil di luar nikah akibat hubungan konsensual, menurut saya, dapat dijelaskan melalui perspektif empati sosial dan dinamika gender. Seperti yang sudah kita ketahui bersama, kehamilan di luar nikah membawa konsekuensi yang tidak setara antara pria dan wanita. Erika menghadapi beban fisik, seperti perubahan tubuh dan risiko kesehatan, serta tekanan sosial, seperti stigma dan penilaian negatif dari komunitas. Dalam budaya yang terjadi di Indonesia, yang masih dipengaruhi norma patriarkal, wanita yang hamil di luar nikah sering dianggap lebih “berdosa” dibandingkan pria, sehingga memicu empati dari netizen yang melihatnya sebagai pihak yang rentan. Nah maka dari itu, dukungan ini mencerminkan kecenderungan masyarakat untuk bersimpati pada individu yang dianggap menderita akibat pelanggaran norma.
Menurut Dion, Berscheid, dan Walster (1972), dalam perspektif mereka tentang Halo Effect (Bias Kognitif) menjelaskan bahwa individu dengan penampilan yang menarik cenderung dinilai lebih positif dalam berbagai aspek, termasuk moralitas dan kepribadian. Jika Erika dianggap memiliki paras yang menarik atau karisma sebagai publik figur, netizen mungkin secara tidak sadar memaafkan tindakannya karena bias kognitif ini. Penampilan fisik yang menarik sering dikaitkan dengan sifat-sifat positif, seperti kepolosan atau kebaikan, sehingga mengurangi kecaman terhadapnya. Nah dalam kasus yang terjadi terhadap Erika, menunjukkan bahwa penilaian masyarakat tidak selalu berdasarkan logika atau norma, melainkan dipengaruhi oleh faktor estetika dan emosional.
Namun menurut saya, dukungan dari netter itu menimbulkan kontradiksi dengan norma sosial dan agama yang berlaku di Indonesia. Dalam ajaran mayoritas agama, hubungan seksual di luar nikah dianggap pelanggaran berat, dengan prinsip “tabur-tuai” yang menekankan bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi. Nah dengan mendukung Erika, masyarakat seolah mengabaikan prinsip ini, yang menunjukkan inkonsistensi moral. Fenomena itu tentunya mencerminkan kesesatan dalam berpikir, di mana empati selektif lebih dominan daripada penerapan norma secara konsisten. Hemat saya, dukungan itu mungkin juga dipengaruhi oleh narasi di media sosial yang menonjolkan penderitaan Erika, sehingga mengalihkan perhatian dari fakta bahwa ia adalah pelaku aktif dalam hubungan tersebut.
Wanita yang hamil di luar nikah sering menghadapi stigma yang lebih besar dibandingkan pria, yang cenderung lolos dari tanggung jawab sosial. Netizen, terutama yang sensitif terhadap isu gender, mungkin melihat dukungan kepada Erika sebagai cara untuk melawan ketidakadilan ini.
Namun, hal ini tetap mencerminkan kesesatan berpikir, karena empati ini mengabaikan tanggung jawab bersama dalam hubungan konsensual. Maka dengan demikian, dukungan terhadap Erika menunjukkan bagaimana emosi dan bias kognitif dapat mengesampingkan norma sosial dan agama yang seharusnya menjadi pedoman.
Mengapa Erika Diposisikan sebagai Korban dan DJ Panda sebagai Pelaku?
Meskipun Erika Karlina dan DJ Panda sama-sama terlibat dalam hubungan seksual yang konsensual, namun Erika diposisikan sebagai korban karena ketimpangan atas konsekuensi gender. Kehamilan menempatkan Erika dalam posisi yang lebih terlihat dan rentan secara sosial, dengan dampak fisik, emosional, dan stigma yang tidak dialami oleh DJ Panda. Di Indonesia, wanita yang hamil di luar nikah sering menghadapi penilaian moral yang lebih keras, seperti tuduhan melanggar kesucian atau kehormatan keluarga. Sebaliknya, DJ Panda, yang dianggap tidak bertanggung jawab (misalnya, tidak menawarkan pernikahan), dipandang sebagai pelaku utama karena dianggap memiliki lebih banyak kendali dalam hubungan. Nah persepsi barusan, mencerminkan norma patriarkal yang menempatkan tanggung jawab moral lebih besar pada pria dalam konteks hubungan seksual di luar nikah.
Dari perspektif logika, persepsi tadi menunjukkan Fallacy of Oversimplification. Baik Erika maupun DJ Panda, keduanya sama-sama bertanggung jawab karena hubungan mereka dilakukan secara sadar dan tanpa pemaksaan. Namun, publik menyederhanakan narasi menjadi “wanita sebagai korban, pria sebagai pelaku”, sehingga mengabaikan kompleksitas situasi. Misalnya, Erika bisa saja menetapkan syarat penggunaan kontrasepsi, tetapi kegagalan ini tidak dibahas secara setara dalm diskusi di media sosial. Nah na’asnya, respon dari masyarakat tadi diperkuat oleh reaksi DJ Panda yang meminta maaf, yang dapat diartikan sebagai pengakuan kesalahan, sehingga mengukuhkan persepsinya sebagai pelaku. Padahal, secara logis, keduanya memiliki tanggung jawab yang setara.
Istilah Playing Victim dan Victim Blaming menurut saya, cukup relevan untuk menganalisis kasus ini dari perspektif logika. Playing victim terjadi ketika seseorang yang sebenarnya pelaku memposisikan diri sebagai korban untuk mendapatkan simpati, nah dalam kasusnya Erika, ia mungkin saja menempatkan diri sebagai korban, dan persepsi publik yang melihatnya sebagai pihak yang menderita menciptakan narasi iba, yang dapat dikategorikan sebagai fallacy of appeal to pity. Sebaliknya, victim blaming terjadi ketika DJ Panda disalahkan secara tidak proporsional, meskipun ia juga bisa dianggap korban dari situasi yang sama (misalnya, tekanan sosial atau ekspektasi untuk bertanggung jawab). Dan pada akhirnya, hal tadi mencerminkan fallacy of false cause, di mana DJ Panda dianggap sebagai penyebab utama kehamilan tanpa mempertimbangkan tanggung jawab bersama.
Dalam banyak budaya, termasuk Indonesia, pria sering dianggap sebagai pihak yang lebih aktif atau dominan dalam hubungan seksual, sehingga lebih mudah disalahkan ketika konsekuensi muncul. Sebaliknya, wanita dianggap pasif atau “terjebak” dalam situasi, meskipun keputusan dibuat bersama. Persepsi itu menunjukkan adanya kesesatan dalam berpikir oleh masyarakat, di mana bias gender mengaburkan penilaian logis tentang tanggung jawab bersama. Dengan demikian, narasi korban-pelaku dalam kasus Erika dan DJ Panda mencerminkan kombinasi antara dinamika sosial dan kesalahan logika dalam penilaian publik.
Pergaulan dalam Globalisasi
Tindakan yang dilakukan oleh Erika Karlina dan DJ Panda menurut saya mencerminkan pengaruh globalisasi, yang telah menormalkan hubungan seksual di luar pernikahan di banyak masyarakat. Globalisasi, melalui media sosial, film, dan musik, memperkenalkan nilai-nilai liberal dari budaya Barat, seperti kebebasan individu dan ekspresi seksual, yang bertentangan dengan norma tradisional Indonesia. Di dalam budaya global, hubungan seksual di luar pernikahan semakin diterima sebagai bagian dari otonomi pribadi, terutama di kalangan generasi muda. Nah kasus yang terjadi pada Erika dan DJ Panda menunjukkan bagaimana publik figur, yang sering terpapar budaya global, mengadopsi nilai-nilai ini, meskipun bertentangan dengan norma lokal.
Di dalam Teori Disfungsi Budaya seperti yang dijelaskan oleh Rogers (2003), menunjukan bahwa nilai-nilai dari satu budaya dapat menyebar ke budaya lain melalui saluran seperti media dan interaksi global. Di Indonesia, paparan budaya populer Barat melalui beragai platform seperti Instagram atau Netflix telah mengubah persepsi tentang seksualitas, terutama di kalangan urban dan publik figur. Hubungan seksual di luar nikah, yang sebelumnya dianggap tabu, kini dilihat oleh sebagian masyarakat sebagai ekspresi kebebasan, terutama jika tidak melibatkan pemaksaan. Namun, normalisasi ini menciptakan konflik nilai dengan norma agama dan budaya lokal, yang masih mengutamakan keperawanan dan pernikahan.
Konflik antar narasi pun dapat terlihat dalam kasus Erika dan DJ Panda ini di mana, terdapat sebagian pihak yang mendukung Erika karena mengadopsi pandangan liberal yang dipengaruhi globalisasi, sementara saya (misal) mengkritiknya berdasarkan norma tradisional. Fenomena ini menunjukkan adanya dualisme budaya, di mana masyarakat Indonesia terpecah antara nilai tradisional dan modern. Selain itu, globalisasi juga memperkuat peran media sosial dalam membentuk narasi publik, di mana kasus seperti ini menjadi bahan diskusi yang mempolarisasi.
Nah yang lebih memusingkan lagi, normalisasi hubungan di luar nikah oleh globalisasi menimbulkan tantangan bagi pendidikan moral dan agama di Indonesia. Sekolah dan keluarga, yang secara tradisional mengajarkan pentingnya keperawanan, kini bersaing dengan narasi global yang mempromosikan kebebasan seksual. Fenomena ini menunjukkan bahwa kesesatan berpikir masyarakat tidak hanya dipengaruhi oleh bias internal seperti efek halo, tetapi juga oleh tekanan eksternal dari budaya global. Maka dengan demikian, kasus Erika dan DJ Panda ini menjadi cerminan bagaimana globalisasi mengubah persepsi tentang keperawanan dan moralitas seksual.
Penutup
Kasus yang terjadi pada Erika Karlina dan DJ Panda mengungkapkan kompleksitas dalam penilaian masyarakat terhadap pelanggaran norma keperawanan, di mana dukungan netizenterhadap Erika mencerminkan empati sosial, efek halo, dan solidaritas gender, tetapi juga menunjukkan inkonsistensi dalam penerapan norma sosial dan agama. Persepsi yang muncul bahwa Erika sebagai korban dan DJ Panda sebagai pelaku, mengindikasikan adanya ketimpangan gender dan kesalahan logika seperti playing victim dan victim blaming, yang mengaburkan tanggung jawab bersama. Sementara itu, bias penampilan, dapat menjelaskan mengapa publik figur yang menarik mendapat pengampunan lebih besar, sementara globalisasi mempercepat normalisasi hubungan di luar nikah melalui difusi budaya.
Polarisasi narasi yang terjadi untuk kasus mereka itu menunjukkan adanya kesesatan berpikir di masyarakat di mana, emosi, estetika, dan pengaruh global sering kali menggantikan logika dan norma. Nah untuk “menyehatkan” pola pikir masyarakat Indonesia, diperlukan pendidikan kritis untuk membantu masyarakat memahami bias kognitif dan dampak globalisasi terhadap nilai-nilai lokal. Tanpa langkahtadi, masyarakat akan terus terjebak dalam penilaian yang tidak konsisten, yang melemahkan fondasi moral dan sosial. Maka dari itu, kasus yang terjadi pada Erika ini menjadi pengingat bahwa keperawanan, sebagai simbol moral, tidak hanya tentang individu, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat memproses nilai-nilai dalam era modern.
Ditulis oleh Hara Nirankara