Apakah beliau akan turut serta dalam promosi besar-besaran seperti flash sale 7.7, atau justru lebih memilih memastikan bahwa setiap produk yang dijual halal, transaksi dilakukan secara adil, dan tidak menzalimi siapa pun?
Di tengah dunia yang semakin komersial dan kompetitif, ajaran bisnis Rasulullah ternyata justru semakin relevan. Bukan hanya sebagai nilai spiritual, tetapi juga sebagai strategi jangka panjang untuk membangun kepercayaan dan keberlanjutan.
Di era sekarang, mayoritas bisnis hanya mengejar profit atau meraup keuntungan sebanyak-banyaknya, berbeda dengan masa Rasulullah Saw. Tata cara berbisnis Nabi Muhammad Saw menjadi hal yang sangat menarik untuk dibahas, di mana beliau menjalankan tugasnya sebagai uswatun hasanah—yakni contoh teladan dalam segala hal, termasuk dalam aktivitas ekonomi.
Nabi Muhammad Saw adalah pelaku bisnis yang jujur dan amanah. Oleh karena itu, penggalian nilai-nilai etika melalui perilaku bisnis Nabi Muhammad Saw diharapkan menjadi sebuah solusi atas krisis moral dan kepercayaan dalam perilaku bisnis masa kini. Nilai-nilai ini tidak hanya relevan untuk individu, tetapi juga dapat menjadi fondasi sistem ekonomi yang lebih etis dan manusiawi.
Kejujuran adalah Branding Terbaik
Rasulullah memulai karier bisnisnya di usia muda dan dikenal sebagai Al-Amin, si terpercaya. Tanpa modal besar dan iklan bombastis, beliau membangun reputasi dari siddiq atau kejujuran. Beliau tidak pernah menutup-nutupi cacat barang, bahkan menjelaskan secara terbuka.
Dalam menjalankan bisnisnya, Nabi Muhammad Saw selalu menunjukkan kejujuran dan meyakini betul bahwa membohongi para pelanggan sama dengan mengkhianati mereka. Pelanggan yang kecewa dan tertipu tidak akan kembali. Akibatnya, bisnis pun akan hancur secara perlahan.
Dalam manajemen pemasaran modern, karakter siddiq sangat menentukan terciptanya layanan informasi yang benar. Bahkan, karakter ini menjadi pondasi penting yang harus menyertai aktivitas bisnis agar hak dan kepentingan pelanggan tetap terpenuhi.
Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi disebutkan: “Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para nabi, orang-orang yang benar, dan para syuhada.”
Di zaman sekarang, ini setara dengan konsistensi rating lima bintang dari pelanggan—bukan karena diskon, tapi karena integritas.
Nabi Muhammad Saw sejak usia 10 tahun telah membantu pamannya, Abu Thalib, dalam berdagang. Beliau juga menjadi penggembala kambing milik penduduk Mekkah. Hal ini membentuk pribadi yang mandiri dan ulet.
Saat berusia 17 tahun, beliau mulai berdagang sendiri, dan saat berumur 25 tahun menikah dengan Khadijah ra, yang kemudian menjadi mitra bisnisnya. Bahkan setelah menikah, beliau tetap menjalankan aktivitas perdagangan secara profesional dan amanah.
Studi Kasus
Contoh nyata dari prinsip kejujuran dalam praktik modern dapat dilihat dari kisah pendiri perusahaan Tokopedia, William Tanuwijaya, yang menolak menjual produk ilegal atau tidak jelas asal-usulnya, meskipun berpotensi memberikan keuntungan besar. Ia menyatakan, “Membangun kepercayaan adalah investasi jangka panjang. Jika konsumen merasa tertipu, maka platform ini akan runtuh.”
Amanah di Tengah Godaan Cuanki (Cuan Kilat)
Di era modern, banyak pengusaha tergoda dengan praktik bisnis instan yang berfokus pada keuntungan cepat. Namun, Rasulullah menekankan prinsip amanah dan keadilan dalam setiap transaksi. Harga tidak dimanipulasi, karyawan tidak dieksploitasi, dan pembeli diperlakukan dengan hormat.
Amanah berarti dapat dipercaya—tidak mengurangi atau melebihkan sesuatu dari yang seharusnya dan telah disepakati. Sebagai pebisnis, sikap amanah adalah cerminan dari tanggung jawab moral kepada pelanggan dan mitra. Nabi Muhammad SAW selalu menjaga kepercayaan dari para investor dan pelanggan, memberikan hak mereka secara utuh, dan menjauhi pengkhianatan.
Dalam dunia bisnis, nilai amanah setara pentingnya dengan siddiq. Tanpa amanah, relasi jangka panjang dengan pelanggan dan mitra tidak akan bertahan. Jika Rasulullah menjalankan bisnis modern, bisa jadi beliau lebih fokus membangun customer loyalty, komunitas yang kuat, dan keberlanjutan jangka panjang daripada sekadar viral di media sosial.
Kutipan Tokoh Modern
Prof. Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank dan peraih Nobel Perdamaian, menyatakan, “Bisnis harus melayani manusia, bukan sebaliknya. Jika kita menjalankan bisnis tanpa etika, kita menciptakan ketidakadilan baru.” Kutipan ini menegaskan bahwa nilai amanah dan tanggung jawab sosial adalah bagian dari fondasi ekonomi yang berkelanjutan.
Anti Riba dan Spekulasi: Prinsip yang Terlupakan
Rasulullah Saw melarang praktik riba, gharar (transaksi tidak jelas), dan maysir (perjudian/spekulasi). Ini bukan hanya persoalan halal-haram, tetapi juga strategi pencegahan krisis ekonomi dan perlindungan terhadap pihak yang lebih lemah dalam transaksi.
Di zaman sekarang, prinsip ini bisa diwujudkan dalam bentuk:
Transparansi akad dan syarat-syarat transaksi
Tidak menjual produk ilegal atau tanpa sertifikasi halal
Tidak menggunakan skema cicilan berbunga tinggi yang menjerat konsumen
Seorang pebisnis juga harus memiliki sifat fathanah (cerdas). Artinya, ia harus mampu memahami bisnis secara utuh, memiliki kreativitas dan inovasi, serta dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Pebisnis yang cerdas tidak sekadar mengejar keuntungan, tapi juga mampu menyeimbangkan nilai ekonomi dan sosial.
Lebih dari itu, prinsip kehati-hatian dalam mengambil risiko (prudential) juga menjadi dasar dalam keputusan bisnis, agar bisnis tidak terjebak dalam ketidakpastian yang merugikan banyak pihak.
Bisnis Syariah Bukan Cuma Label, Tapi Sistem
Saat ini, banyak bisnis mengaku “syariah” hanya untuk kepentingan branding. Padahal bisnis syariah bukan sekadar label, melainkan sistem yang adil, inklusif, dan bermanfaat bagi seluruh ekosistem ekonomi.
Contoh implementasi sistem bisnis syariah masa kini antara lain:
Startup berbasis wakaf produktif
Fintech syariah yang bebas riba
Marketplace khusus produk halal dan UMKM lokal
Pertumbuhan Industri Halal Global
Menurut laporan Global Islamic Economy Report 2023, sektor ekonomi halal global telah mencapai nilai lebih dari USD 2,5 triliun, dengan pertumbuhan tahunan rata-rata 7%. Angka ini menunjukkan bahwa pasar produk dan jasa berbasis nilai Islam terus tumbuh dan memiliki potensi besar bagi pelaku usaha Muslim.
Tantangan dalam mengembangkan sistem ini tentu tidak sedikit—terutama karena rendahnya literasi keuangan syariah dan ketatnya persaingan kapitalistik. Namun, tren menuju ekonomi Islam perlahan mulai tumbuh dan mendapat tempat di hati masyarakat. Pemerintah dan lembaga pendidikan juga diharapkan lebih aktif mengedukasi masyarakat tentang sistem ekonomi Islam yang utuh.
Sifat tabligh (komunikatif) sangat penting dalam hal ini. Dalam konteks bisnis, tabligh berarti mampu menyampaikan informasi produk dengan jelas, jujur, dan menarik. Seorang pebisnis harus komunikatif, bisa mempresentasikan keunggulan produknya dengan strategi yang tepat, tanpa manipulasi atau kebohongan.
Rasulullah Saw dikenal sebagai pedagang yang komunikatif, menjelaskan produk secara lugas namun tetap bersahabat. Sikap ini membuat banyak pelanggan dan mitra bisnis merasa nyaman dan percaya.
Rasulullah Saw adalah Role Model Pebisnis Modern
Jika Rasulullah Saw hidup di masa kini, beliau bukan hanya akan menjadi pebisnis yang sukses secara materi, tapi juga menjadi pemimpin pasar yang dipercaya, dicintai, dan diteladani. Bukan karena trik marketing, tapi karena nilai-nilai luhur yang beliau pegang teguh: jujur, amanah, adil, transparan, dan penuh kasih sayang.
Sudah saatnya pengusaha Muslim berhenti hanya mengejar “cuan cepat”, dan mulai membangun bisnis yang berkelanjutan dan berkeadilan. Keuntungan hakiki bukan hanya soal angka di rekening, tetapi tentang keberkahan, kebermanfaatan, dan kontribusi bagi sesama.
Dengan meneladani Rasulullah Saw, dunia bisnis tak hanya menjadi ladang ekonomi, tetapi juga jalan menuju ridha Ilahi dan kebaikan dunia-akhirat. Kesuksesan sejati bukanlah yang hanya dinikmati secara pribadi, tetapi yang dapat memberikan maslahat bagi sebanyak-banyaknya manusia.[]