Negara Kesatuan Rangkap Jabatan Indonesia

Redaksi
Juli 25, 2025 | Juli 25, 2025 WIB Last Updated 2025-07-25T06:19:12Z
JAKARTA,DETIKSATU.COM ||  selama belasan tahun atau bahkan puluhan tahun sejak negara ini merdeka, kita masih saja dihadapkan oleh kisruh birokrasi tentang rangkap jabatan. Dilema struktural dalam menjaga integritas tata kelola pemerintahan, yang masih saja terjadi fenomena rangkap jabatan yang melibatkan pejabat tinggi seperti Wakil Menteri dan Direksi di BUMN. Praktik ini tidak hanya mencerminkan kompleksitas sistem birokrasi pasca-kolonial, namun juga menguji komitmen bangsa terhadap prinsip keadilan dan efisiensi pemerintahan. Robert D. Putnam (1993) dalam tulisannya mengatakan, keberhasilan sebuah negara bergantung pada jaringan kepercayaan sosial dan kapasitas birokrasi yang bersih, yang sering kali tergerus oleh konflik kepentingan akibat rangkap jabatan.

Ironinya, isu rangkap jabatan tidak dapat dipisahkan dari konteks historis dan sosial Indonesia yang unik, di mana sistem pemerintahan masih bergulat dengan warisan kolonial dan transisi menuju demokrasi. Boaventura de Sousa Santos (2002) dalam Teori Dependensi Hukum menegaskan bahwa, sistem hukum pasca-kolonial sering kali terjebak dalam struktur yang tidak sepenuhnya mencerminkan identitas lokal, sehingga menciptakan ruang bagi interpretasi longgar. Selain itu, fenomena rangkap ini menurut saya juga terkait dengan dinamika kekuasaan di tingkat eksekutif dan legislatif, di mana Presiden memiliki keleluasaan prerogatif untuk mengangkat pejabat, termasuk Wamen, yang kadang-kadang dimanfaatkan untuk kepentingan politik jangka pendek.

Mungkin pemerintah belum memahami bahwa rangkap jabatan bukan hanya sekadar isu administratif, melainkan cerminan dari tantangan yang lebih luas dalam membangun negara kesatuan yang inklusif dan berkeadilan. Max Weber (1947) dalam teorinya yang disebut Teori Legitimasi, menyoroti bahwa otoritas pemerintahan bergantung pada persepsi masyarakat akan keadilan dan efisiensi, yang dapat dirusak oleh praktik rangkap jabatan ini. Indonesia, di mana keberagaman budaya dan geografis menjadi kekuatan sekaligus tantangan, rangkap jabatan dapat memperlebar kesenjangan kepercayaan antara pemerintah dan rakyat, terutama jika dianggap sebagai bentuk korupsi struktural.

Esai kali ini sengaja dirancang untuk menjadi panggung refleksi kolektif, mengajak pembaca dari berbagai kalangan—akademisi, praktisi hukum, hingga masyarakat umum—untuk turut berpartisipasi dalam diskusi solutif. Karena, dalam era digital dan globalisasi seperti saat ini, di mana transparansi dan akuntabilitas menjadi tuntutan utama, menghentikan rangkap jabatan adalah langkah strategis untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai negara kesatuan yang disegani.


Akar Masalah Rangkap Jabatan

Hemat saya, akar masalah dari rangkap jabatan di Indonesia dapat ditelusuri dari dimensi historis, hukum, dan politik yang saling berkaitan. Misalnya jika dilihat dari Teori Dependensi Hukum dari Boaventura de Sousa Santos yang sudah saya singgung sedikit tadi, bahwa sistem hukum pasca-kolonial, termasuk KUHP dan KUH Perdata yang diwarisi dari Belanda, mencerminkan struktur kekuasaan kolonial yang sentralistik dan hierarkis. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 mempertahankan peraturan tersebut hingga digantikan dan akhirnya menciptakan dasar hukum yang ambigu, seperti yang terlihat dalam interpretasi Muzani bahwa larangan rangkap jabatan untuk Wamen bukan kewajiban mengikat berdasarkan Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019. Ketidakjelasan ini menjadi celah bagi pejabat untuk memanfaatkan posisi ganda, terutama dalam konteks di mana regulasi pasca-kemerdekaan, seperti UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, belum sepenuhnya konsisten dalam penerapannya.
Sementara itu, dalam Teori Patronase Politik yang dijabarkan oleh James C. Scott (1972), menyoroti bahwa rangkap jabatan sering kali merupakan strategi politik untuk memperkuat jaringan kekuasaan dan loyalitas. Nah dalam sistem presidensial Indonesia, Presiden memiliki hak prerogatif untuk mengangkat Wamen dan Direksi BUMN, yang kadang-kadang digunakan untuk mengakomodasi aliansi politik atau kepentingan ekonomi tertentu. Fenomena ini diperparah oleh budaya feodal yang masih melekat, di mana jabatan dipandang sebagai sumber prestise dan keuntungan pribadi, bukan pelayanan publik.

Di sisi lain, faktor yang memperdalam akar masalah ini yaitu tentang lemahnya harmonisasi hukum dan kurangnya komitmen politik untuk menegakkan aturan. Elinor Ostrom (1990) dalam Teori Desain Institusi menegaskan bahwa, institusi yang efektif membutuhkan aturan yang jelas dan penegakan yang konsisten. Namun di Indonesia, revisi hukum sering terhambat oleh kepentingan politik jangka pendek. Ketidaksesuaian antara UU Kementerian, UU BUMN, dan putusan MK tentang rangkap jabatan menciptakan ruang abu-abu yang dimanfaatkan oleh elit politik, sehingga rangkap jabatan menjadi sesuatu yang dinormalisasi.

Faktor sosial dan ekonomi juga turut berkontribusi, seperti yang dijelaskan oleh Pierre Bourdieu (1986) dalam Teori Kapitalisme Kultural yang menjelaskan, akses ke posisi strategis seperti jabatan ganda sering kali dilihat sebagai cara untuk mengakumulasi modal sosial dan ekonomi. Akar masalah ini menunjukkan bahwa solusi tidak hanya bergantung pada perubahan hukum, tetapi juga transformasi budaya dan mindsetpejabat yang membutuhkan pendekatan jangka panjang dan partisipasi masyarakat luas.

Dampak terhadap Persepsi Masyarakat

Rangkap jabatan, secara tidak langsung, memiliki dampak luas yang mengancam integritas negara kesatuan Indonesia, baik dari segi politik, ekonomi, maupun sosial. Michael Johnston (1996) dalam perspektifnya melalui Teori Konflik Kepentingan menjelaskan bahwa dualitas peran pejabat, seperti Wamen yang juga menjadi direksi BUMN, menciptakan loyalitas terpecah antara kepentingan publik dan pribadi. Hal itu dapat terlihat dari kasus-kasus di mana keputusan BUMN dipengaruhi oleh agenda politik, mengakibatkan inefisiensi dan kerugian negara, seperti proyek yang mangkrak atau anggaran yang membengkak. Dan pada akhirnya, dampak tadi akan melemahkan fungsi BUMN sebagai tulang punggung ekonomi nasional, yang seharusnya mendukung pembangunan merata di seluruh wilayah Indonesia.

Sedangkan jika ditelaah dari perspektif Legitimasi Max Weber (1947), otoritas pemerintahan bergantung pada persepsi masyarakat akan keadilan dan efisiensi. Praktik rangkap jabatan, yang sebut dengan korupsi struktural, mengikis kepercayaan publik terhadap institusi negara. Di Indonesia saat ini, hilangnya legitimasi dapat memicu ketidakstabilan sosial terutama di daerah terpencil yang sudah merasa terpinggirkan. Sentimen ini diperparah oleh persepsi bahwa elit politik memanfaatkan jabatan ganda untuk memperkaya diri, sehingga memperlebar kesenjangan antara pemerintah dan rakyat.

Douglass North (1990), dalam Teori Ekonomi Politik menyoroti bahwa institusi yang korup atau tidak efisien menghambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Ketika pejabat fokus pada kepentingan pribadi atau korporasi, alokasi sumber daya negara menjadi tidak optimal, yang dapat terlihat dari rendahnya produktivitas beberapa BUMN dibandingkan perusahaan swasta. Di sisi lain, dampak itu akan terasa semakin signifikan dalam era globalisasi, di mana Indonesia harus bersaing dengan negara lain yang memiliki tata kelola yang lebih bersih, sehingga rangkap jabatan menjadi hambatan struktural bagi pembangunan berkelanjutan.

Fenomena rangkap jabatan di Indonesia pada akhrinya akan semakin memperkuat budaya feodal dan konsumtif di kalangan elit, yang kemudian ditiru oleh masyarakat luas sebagai norma sosial. 


Hal ini akan menciptakan siklus ketidakadilan, di mana akses ke kekuasaan dan kekayaan menjadi lebih bergantung pada koneksi daripada kompetensi. Dalam konteks negara kesatuan seperti Indonesia, dampak dari rangkap jabatan ini akan mengancam semangat gotong royong dan kebersamaan yang menjadi inti identitas nasional, menggantikannya dengan kompetisi tidak sehat dan individualisme. Oleh karena itu, rangkap jabatan bukan hanya isu teknis tetapi juga ancaman terhadap jati diri bangsa.

Lantas, Harus Bagaimana?

Dalam upaya untuk menghentikan praktik rangkap jabatan, diperlukan pendekatan sistemik yang mengintegrasikan antara reformasi hukum, pengawasan, dan perubahan budaya. Pertama, seperti yang dikemukakan oleh Elinor Ostrom yang menyarankan penguatan regulasi sebagai langkah awal, dengan merevisi UU Kementerian Negara dan UU BUMN untuk mencakup definisi yang jelas tentang larangan rangkap jabatan, sanksi tegas seperti pemecatan atau denda, serta cakupan yang meliputi semua pejabat publik dan BUMN. Revisi ini harus melibatkan partisipasi aktif dari DPR dan masyarakat melalui konsultasi publik, memastikan aturan tersebut mencerminkan kebutuhan nasional dan tidak lagi menyisakan celah interpretasi.

Kedua yaitu Teori Pengawasan dari Guillermo O’Donnell (1998), yang bisa dijadikan landasan berpikir karena menekankan pentingnya mekanisme independen untuk memastikan kepatuhan. Pembentukan Komisi Anti-Rangkap Jabatan (misal) yang terpisah dari kekuasaan eksekutif, dilengkapi dengan auditor eksternal dan teknologi pelaporan daring seperti blockchain, dapat meningkatkan transparansi. Sementara itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat diberdayakan dengan mandat yang lebih kuat untuk mengaudit aset dan jabatan pejabat secara berkala, dengan hasil yang diumumkan secara terbuka. Nah hasilnya, pendekatan ini akan menciptakan efek jera dan membangun kepercayaan publik terhadap institusi pengawas.

Ketiga, pemerintah bisa melakukan pendekatan Pendidikan Politik seperti yang dikemukakan oleh Paulo Freire (1970), di mana ia menawarkan solusi jangka panjang melalui sosialisasi nilai integritas dan pelayanan publik. Pemerintah dapat meluncurkan kampanye nasional yang melibatkan sekolah, perguruan tinggi, dan organisasi masyarakat untuk mengubah budaya patronase menjadi budaya meritokrasi. Pelatihan wajib bagi pejabat tentang etika tata kelola, dilengkapi dengan simulasi konflik kepentingan yang dapat meningkatkan kesadaran akan dampak dari rangkap jabatan. Partisipasi masyarakat dalam pengawasan, melalui platform e-governance menurut Kim Viborg Andersen (2001), juga dapat memperkuat akuntabilitas, dengan memungkinkan pelaporan pelanggaran secara anonim dan real-time.

Terakhir, inovasi teknologi dan kolaborasi internasional dapat mempercepat reformasi. Dalam perspektif Kim Viborg Andersen (2001) tentang Teori E-Governance, Kim menyarankan tentang penggunaan sistem digital untuk memantau jabatan dan aset pejabat, yang dapat terintegrasi dengan database global anti-korupsi seperti yang dikembangkan oleh Transparency International. Kolaborasi dengan negara-negara yang berhasil mengatasi rangkap jabatan, seperti Singapura dengan sistem meritokrasinya, dapat memberikan pelajaran berharga. Langkah-langkah tadi tentunya harus didukung oleh komitmen politik tingkat tinggi, termasuk Presiden dan DPR, untuk memastikan reformasi tidak terhenti oleh kepentingan jangka pendek, sehingga membawa Indonesia menuju tata kelola yang lebih bersih dan adil.

Penutup

Praktik rangkap jabatan di Indonesia mencerminkan tantangan transisi hukum, politik, dan budaya yang kompleks sebagai negara kesatuan. Reformasi tata kelola birokrasi membutuhkan sinergi antar lembaga, mulai dari eksekutif, legislatif, hingga masyarakat sipil, dengan dukungan politik yang kuat untuk mengatasi resistensi elit. Pengalaman negara lain, dikombinasikan dengan pendekatan lokal yang responsif terhadap keberagaman Indonesia, dapat menjadi panduan bagi pemerintah. Dalam konteks global yang menuntut transparansi, seperti yang ditegaskan oleh Kim Viborg Andersen (2001), menghentikan rangkap jabatan adalah investasi strategis untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai negara kesatuan yang kompetitif dan bermartabat. Pada akhirnya, penyelesaian rangkap jabatan bukan hanya sekadar soal hukum atau administrasi, tetapi juga tentang membangun identitas baru sebagai bangsa yang menghargai integritas dan kebersamaan. Dengan komitmen yang konsisten dan pendekatan interdisipliner, Indonesia dapat mengubah tantangan ini menjadi peluang untuk memperkuat fondasi negara kesatuan.

Ditulis oleh Hara Nirankara
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Negara Kesatuan Rangkap Jabatan Indonesia

Trending Now