Politik Perdagangan Luar Negeri dalam Pandangan Islam

Redaksi
Juli 30, 2025 | Juli 30, 2025 WIB Last Updated 2025-07-30T13:36:43Z
Jakarta,detiksatu.com ||  Presiden Donald Trump menerapkan kebijakan proteksionis dengan tarif 10% untuk hampir semua barang impor termasuk tarif khusus 145% untuk produk dari China, 25% untuk ke Kanada dan Meksiko, dan 32% untuk Indonesia

Menyadari dampak buruknya Trump menunda 90 hari kebijakan tersebut untuk mendorong negosiasi. Indonesia telah berkomitmen meningkatkan impor dari AS seperti LPG dan produk pertanian. Setelah China melakukan pembalasan kenaikan tarif 125% untuk barang AS menyepakati penurunan tarif tertentu melalui pembicaraan bilateral.

Kebijakan Presiden Amerika Serikat tersebut merupakan inti dari agenda Make America Great Again atau MAGA untuk mengatasi kemunduran ekonomi Amerika Serikat terutama di sektor manufaktur yang kehilangan daya saing selama empat dekade akibat defisit. Tujuannya adalah mendorong relokasi investasi ke Amerika Serikat, menciptakan lapangan kerja, dan memperkuat industri domestik negara itu.

Kebijakan ini dijustifikasi dengan alasan keamanan nasional, terutama ditujukan kepada Cina yang dianggap melakukan perdagangan yang tidak adil dengan Amerika Serikat.

Dampak perubahan kebijakan tersebut telah menyebabkan ketidakpastian sehingga mengganggu perdagangan global dan menciptakan instabilitas ekonomi global dan domestik. Sebelum penundaan tarif tersebut, IMF menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada 2025 menjadi 2,8% dari 3,3% pada 2024.

Bagi Indonesia, ketidakpastian ini sempat menimbulkan gejolak berupa pelemahan Rupiah ke level IDR17.000 per USD, penurunan IHSG, dan peningkatan suku bunga obligasi pemerintah hingga 7%.

Jika kenaikan tarif tetap diberlakukan, maka nilai ekspor Indonesia, seperti elektronik, pakaian, dan alas kaki berisiko menurun. Ini akan menyebabkan penurunan produksi domestik dan ancaman terhadap lapangan kerja.

Prinsip Perdagangan dalam Islam

Islam menerapkan prinsip bahwa hukum perdagangan mengikuti status pemilik atau pedagang (i’tibar ash-shaks) bukan jenis barang atau asal barangnya (i’tibar al-mal).

Dengan kata lain, barang dagangan mengikuti hukum yang berlaku pada pemiliknya. Prinsip ini kontras dengan sistem kapitalisme modern. Dalam sistem ini, aturan perdagangan yang terkait dengan pengenaan aturan tarif dan non tarif ditentukan berdasarkan asal negara barang atau country of origin. Jenis barang seperti tarif berbeda untuk elektronik versus tekstil atau nilai barang.


Status kewarganegaraan pedagang dan status kepemilikannya tidak menjadi faktor utama dalam penentuan tarif. Dengan demikian semua importir dikenakan tarif sesuai barang dan negara asal terlepas dari status warga negara pemilik barang tersebut.

Pedagang yang terlibat dalam perdagangan internasional diklasifikasikan menjadi empat kategori utama. Pertama, warga Negara Islam, yang terdiri dari Muslim dan dzimmi atau penduduk non muslim di negara Islam. Kedua, pedagang mu’ahad, yaitu mereka yang berasal dari negara yang memiliki perjanjian dengan negara Islam.

Ketiga, pedagang harbi hukman, yaitu mereka yang berasal dari negara yang tidak memiliki perjanjian dan berpotensi bermusuhan dengan negara Islam. Pedagang harbi hanya boleh memasuki wilayah Islam dengan izin khusus.

Keempat, pedagang harbi fi’lan, yaitu mereka yang berasal dari negara yang tidak memiliki perjanjian dan sedang berperang dengan negara Islam, seperti misalnya Israel. Untuk kategori keempat ini penduduk dan negara Islam tidak diperbolehkan melakukan perdagangan dengan mereka.

Dalam sistem perdagangan internasional Islam, status kepemilikan barang menentukan perlakuan penerapan bea masuk (usyur) saat melewati perbatasan. Prinsip dasarnya adalah barang milik muslim dan dzimmi tidak dikenai usyur berdasarkan hadis Rasulullah Saw, “Tidak akan masuk surga pemungut cukai,” (HR. Ahmad dan Abu Ubaid). Umar bin Khattab ra berkata, “Kami tidak pernah mengambil usyur dari muslim dan mu’ahad. Kami hanya mengambil dari pedagang harbi sebagaimana mereka mengambil dari pedagang kami,” (HR Abu Ubaid).

Adapun barang milik pedagang harbi dapat dikenai usyur sesuai prinsip timbal balik. Secara teknis yang menentukan aturan perdagangan seperti bea masuk adalah siapa yang memiliki barang tersebut secara sempurna. Ini ditandai dengan sempurnanya transaksi jual beli dari segala aspek saat melewati perbatasan negara Islam.

Politik Perdagangan Luar Negeri dalam Islam

Perdagangan luar negeri dalam perspektif Islam memiliki kerangka konseptual yang berbeda dari teori-teori ekonomi konvensional.

Islam memandang perdagangan internasional bukan sekedar aktivitas ekonomi, melainkan sebagai instrumen komprehensif yang mengintegrasi dimensi politik, ekonomi, dan dakwah dalam mencapai kemuliaan Islam dan kemaslahatan umat.

Ini berbeda dengan teori perdagangan bebas yang mendorong peran negara diminimalisasikan dalam perdagangan, dan menganggap keseimbangan ekspor impor terjadi secara otomatis. Islam menegaskan, bahwa perdagangan luar negeri merupakan bagian dari hubungan negara dengan bangsa lain yang harus tunduk pada kendali penuh negara sesuai dengan hukum Islam.

Maka dari itu, neraca perdagangan bukanlah indikator utama dalam ekonomi Islam yang menentukan keberhasilan perdagangan luar negeri. Pasalnya, Negara Islam melihat perdagangan luar negeri memiliki tujuan strategis, seperti diplomasi politik, penguatan industri domestik, pemenuhan kebutuhan masyarakat, atau misi dakwah. Dalam kondisi tertentu negara dapat membiarkan neraca perdagangan tidak seimbang untuk mencapai tujuan yang lebih luas, seperti membangun industri domestik yang membutuhkan impor barang dan modal yang besar.

Negara Islam memiliki wewenang untuk mengatur semua aspek perdagangan internasional sesuai dengan kepentingan umat dan negara. Hal ini mencakup kewenangan untuk melarang ekspor komoditas tertentu, membolehkan sebagian lainnya, mengatur perdagangan kafir harbi dan kafir mu’ahad yang terikat perjanjian, serta mengawasi warga negaranya dalam perdagangan internasional sebagaimana perdagangan domestik.

Rakyat Negara Islam, baik Muslim maupun dzimmi, dilarang keras mengekspor bahan-bahan strategis yang dapat digunakan untuk kepentingan perang oleh musuh, seperti senjata dan peralatan militer lainnya. Hal ini didasarkan pada larangan membantu musuh dalam berperang melawan kaum Muslim.

Namun, mereka dibolehkan mengekspor barang-barang non strategis, seperti pakaian, makanan, dan barang-barang kebutuhan umum lainnya, kecuali jika barang tersebut sedang dibutuhkan oleh rakyat dalam negeri karena kelangkaan.

Sementara itu, dalam hal impor, rakyat Negara Islam dibolehkan memasukkan semua jenis barang yang halal untuk dimiliki tanpa ada pembatasan khusus. Tidak ada larangan bagi Muslim atau kafir dzimmi untuk mengimpor barang dari luar negeri selama barang tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam, dan tidak membahayakan kepentingan negara, dan masyarakat muslim.

Prinsip ini bertolak belakang dengan konsep perdagangan bebas yang membatasi intervensi negara dengan meminimalkan tarif dan non tarif seperti yang diserukan oleh konsep Washington Consensus. Meskipun demikian, Negara Islam tidak berarti harus menerapkan kebijakan proteksionisme atau merkantilisme sebagaimana yang berlangsung terutama pada masa kolonial Eropa abad ke-16-18 Masehi.

Merkantilisme adalah sistem ekonomi saat pemerintah mengendalikan perdagangan untuk memaksimalkan ekspor, meminimalkan impor, dan mengumpulkan kekayaan nasional melalui monopoli tarif tinggi dan proteksi terhadap industri lokal.

Negara Islam dapat melakukan embargo ekonomi dengan melarang ekspor minyak dan gas kepada negara yang memusuhi Islam atau menolak impor dari mereka yang memiliki pangsa pasar yang sangat besar. Sebaliknya, ia dapat memperkuat kerjasama perdagangan dengan memberikan preferensi perdagangan kepada negara-negara yang potensial menjadi bagian dari negara Islam.

Hal ini juga dapat mengembangkan kebijakan perdagangan yang sejalan dengan syariah Islam dengan tujuan mengembangkan industri dalam negeri khususnya yang belum matang untuk bersaing atau infant industries. Hal ini bertujuan agar tidak bergantung pada impor juga mampu menciptakan lapangan kerja bagi penduduk negara Islam secara signifikan dan kemaslahatan umat.

Aktivitas perdagangan di negara-negara Islam juga bertujuan untuk mengakumulasi devisa. Tujuannya untuk meningkatkan cadangan emas dan perak demi mendukung penerapan standar emas dan perak serta mendukung pembangunan ekonomi jangka panjang, khususnya melalui proses industrialisasi. Devisa yang memadai sangat penting pada tahap awal industrialisasi yang membutuhkan investasi besar, untuk mengembangkan industri manufaktur berteknologi tinggi.

Dimensi dakwah dan jihad merupakan aspek paling unik dari konsep perdagangan Islam yang mengintegrasikan misi religius dengan strategi ekonomi. Negara Islam misalnya dapat meningkatkan program bantuan ekonomi dan finansial ke negara-negara yang membutuhkan bantuan kemanusiaan, atau negara yang belum menjadi bagian dari negara Islam.

Negara Islam juga akan mengarahkan perdagangan luar negeri agar selaras dengan jihad fisabilillah, salah satunya melalui pembangunan industri militer yang tangguh hingga mampu mengungguli kekuatan militer negara-negara lain.

Alhasil, sistem perdagangan dalam Islam memiliki keunikan yang menonjol karena mengintegrasikan dimensi ekonomi politik dan dakwah dalam satu kerangka holistik yang berlandaskan syariat Islam.

Hal ini berbeda dengan pendekatan sistem kapitalisme yang berfokus pada keuntungan finansial semata. Negara Islam dalam format pemerintahan Islam yang menerapkan Islam secara kaffah memainkan peran sentral dengan mengatur perdagangan internasional untuk memperkuat kemandirian ekonomi, mendukung politik luar negeri dalam bentuk menyebarkan dakwah Islam ke seluruh dunia, dan jihad fisabilillah.

Dengan demikian, umat Islam di bawah Negara Islam tidak hanya menjadi pelaku ekonomi global tetapi juga menjadi lokomotif perubahan tatanan global yang mendorong perwujudan rahmatan lil alamin. Wallahua’lam bishawab. []


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Politik Perdagangan Luar Negeri dalam Pandangan Islam

Trending Now

Iklan

iklan