Abolisi, dan Amnesti Cara Jitu Jinakan Oposisi ?

Redaksi
Agustus 08, 2025 | Agustus 08, 2025 WIB Last Updated 2025-08-08T04:14:44Z
Jakarta,detiksatu.com || Saya hendak memberi tanggapan tentang perkembangan politik pro kontra beberapa hari ini. Yang awalnya bagi saya something unpredictable. Dari berbagai Media saya mendapat informasi berita yang mengabarkan bahwa, mantan menteri perdagangan Thomas Trikasih Lembong telah diberi abolisi oleh Presiden Prabowo. Demikian juga Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mendapat amnesti. 

Meski ada penerima jumlah amnesti sedemikian banyak 1.116 orang, tapi disitu ada satu orang penting, yakni sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang baru saja dijatuhi vonis 3,5 tahun penjara. Jika kita ikuti kasus kedua orang ini, baik Tom Lembong maupun Hasto, masyarakat hampir tidak percaya bahwa Tom Lembong melakukan tindak korupsi impor gula. Sedang Hasto menghalangi penyidikan aparat serta dikaitkan kasus suap pengurusan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024 untuk Harun Masiku. Vonis Tom Lembong terkesan dipaksakan oleh hakim. Ada pesanan hukum yang bernuansa politis. Motif lempar batu sembunyi tangan itu kabar santernya dari kelompok solo. Di akhir sisa kekuasaannya, digunakan untuk memberangus lawan-lawan politik sebagai balas dendam. Itu disebabkan karena Tom Lembong tidak mau diajak dalam satu kendaraan politik pada Pilpres 2024. Tom Lembong justru memilih memperkuat kontestasi Pilpres barisan Anies Baswedan. 

Tom Lembong dijadikan sasaran antara untuk membuka front politik yang lebih luas. Titipan kasus itu dapat kita cermati sebagaimana dalam pledoi Tom Lembong, bahwa Tom secara pribadi sama sekali tidak mengambil dan menggunakan dana dari hasil import gula. Dan Tom mengatakan kepada hakim, "bahwa impor gula atas suruhan dan sepengatuhan Presiden Joko Widodo". Nampak bahwa, Joko Widodo ingin menghindar dari tanggung jawab dan sengaja mengkriminalisasi Tom Lembong dengan menggunakan KPK sebagai alatnya. 

Sering antara politik dan hukum terjadi tarik menarik dan tabrakan. Kasus demi Kasus kerap terjadi di negeri ini, manakala ada unsur kepentingan di lingkar kekuasaan, dilihat dari dominasi satu kelompok pada kelompok lain. Politik acapkali dikalahkan oleh keputusan di pengadilan. Sebaliknya, pasal-pasal hukum atau aturan main lahir dari produk politik. 

Dua instrumen yang berbeda dalam Trias Politika ini harusnya berjalan seirama. Tapi, realitasnya terkadang bersebrangan. Satu dasawarsa bangsa Indonesia hidup dalam alam demokrasi yang penuh retorika. Pemerintahan Joko Widodo lebih banyak mengeksploitasi masyarakat dengan menggunakan framing media sosial. Akibatnya, bangsa ini mengalami kemacetan pada sendi-sendi demokrasi. Masyarakat menjadi pesakitan dan terbelenggu oleh tindakan pemerintah, karena takut dikenai undang-undang pasal 27A UU 1/2024. Pasal ini mengatur pelarangan setiap orang menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan sesuatu hal, dengan maksud agar diketahui umum melalui Informssi Elektronik dan atau Dukumen Elektronik. Undang-undang ini menjadi dalih pemerintahan Joko Widodo untuk membonsai oposisi. 

Pemerintah menggunakan Undang-Undang IT untuk membungkam orang-orang kritis. Disisi lain, pemerintah justru banyak melanggar Undang-undang. Hukum dijadikan alat untuk memborgol kekuatan kaum kritis. Masyarakat telah menyadari bahwa pemerintah telah terjerumus ke dalam otoritarianisme yang dibungkus dengan baju demokrasi. 

Era Joko Widodo, hukum mengalami kekacauan. Ambivalensi penguasa yang memaknai demokrasi seolah di tegakkan tetapi nyatanya justru sebagai tunggangan politik. Produk konstitusi yang sudah baik dan benar di ubahnya sesuai dengan kepentingannya. Hampir diseluruh lini hukum diterjang sehingga menjerumuskan hukum itu sendiri. Dari institusi Kepolisan, Kejaksaan, Kehakiman, Mahkamah Konstitusi berakhir serta bernasib absurditas. 

10 tahun telah lewat. Bangsa Indonesia masuk pada era demokrasi krusial. Demokrasi bukan di tumbuh kembangkan tapi malah dijadikan alat untuk mengeksploitasi. Akibatnya demokrasi robek dan patah. Nasib demokrasi kembali pada titik nol. Penguasa membalikan keadaan seperti pada era kolonialisme. Selama 10 tahun pemerintahan Joko Widodo, telah berhasil mengkooptasi seluruh media sosial sebagai alat sihir dan gendam untuk tameng pembenaran. Teori post kolonial justru dipakai untuk melemahkan unsur-unsur sosial dan dinamika masyarakat. Seharusnua teori post kolonial dapat dijadikan kacamata pemerintah untuk menghindari aksioma peristiwa pelanggaran dan penindasan masa lampau. Tapi nyatanya, berlaku sebaliknya. 

Teori post kolonialisme dipakai dan disalahgunakan sebagai alat untuk membunuh dan melemahkan lawan-lawan politiknya. Abstraksi percaya diri yang berlebihan (Ultra confidence) setelah mendapat kekuasaan selama lebih 5 tahun. Bisa kita analisa seksama bahwa telah terjadi gangguan psikologi pada jiwa seorang Presiden yang menjadikan personal yang ekstrovert. 

Cara demikian itu pernah dilakukan oleh Hilter ketika menyemangati pasukan Nazi melawan Uni Sovyet dan Sekutu. Hitler telah membohongi pasukannya untuk dapat mengalahkan serta menyerang negara-negara yang bukan sekutunya. Akibatnya banyak tentara yang tewas akibat framing tersebut. Sikap yang dibangun oleh Hitler tentang Ultra confidence itu di dukung oleh orang-orang di sekelilingnya. Hitler memelihara buzer dan media untuk menghardik dan memusuhi secara culas serta bengis kepada lawan-lawan politiknya. 

Orang-orang disekitar Hitler seperti Heinrich Himmler, Joseph Goebbels, , Hermann Gorring 
Mereka adalah ahli propaganda dan rekayasa politik. Jika kita kaitkan dengan politik era Joko Widodo. Orang-orang kepecayaannya seperti antara lain Hendro Priyono, Luhut Binsar Pandjaitan, Pratikno. Adalah ahli taktik dan strategi untuk menyangga kekuasaan Joko Widodo. 

Tiga orang ini memiliki andil besar dalam menjaga stabilitas politik Joko Widodo. Mereka menjaga majikannya yang ekstrovert dengan menggunakan framing Media Sosial untuk mengelabuhi masyarakat, serta menindas lawan-lawan politiknya dengan instrumentasi hukum, Media Sosial dan pembiakan buzer. 

*Prabowo dan politic balancing 

Presiden Joko Widodo tampaknya tidak kapok jelang berakhir kekuasaannya. Politik balas dendam yang di di akhir masa jabatannya itu ditujukan pada lawan-lawan politiknya. Sekali mendayung dua kepentingan tercapai. Yakni menjebloskan Hasto Kristiyanto dengan pasal penyuapan anggota DPR antar PAW. Dan mengkriminalisasi Tom Lembong dengan pasal yang tidak jelas. 

Tampak kasar cara bermain politik Joko Widodo untuk membenamkan Megawati Soekarno Putri dengan PDIP nya dan Tom Lembong sebagai sasaran antara. Bidikan Joko Widodo bukan hanya pada Tom Lembong saja, melainkan sasaran utamanya adalah Anies Baswedan. 

Tapi di dalam kepentingan politik yang dibarengi dengan "feud, dislike" maka produk hukum menjadi cacat. Hukum menjadi baik jika penegak hukum benar- benar melaksanakan profesi secara baik dan benar. Karena hancurnya bangsa dan negara terletak pada baik tidaknya pelaksanaan hukum itu. Era Joko Widodo, lembaga-lembaga penegak hukum seperti KPK, Kejagung, Kepolisian, MK, MA dan Pengadilan dijadikan jagal politik untuk melucuti musuh-musuh politiknya. 

Sepuluh tahun lewat, dan kini Prabowo menjadi Kepala Negara. Lambat laun, Prabowo melakukan akrobatik politik dengan menarik dua benang basah yang dianggap sebagai lawan Joko Widodo. Nampak bahwa Prabowo sedang memakai jurus merangkul semua oposisi dengan tanpa reserve.

Apa yang telah di lakukan oleh Joko Widodo tentang pesta pora kekuasaan. Nampak dibersihkan secara pelan-pelan oleh kabinet merah putih. Politik akomodasi Prabowo ini terkadang membingungkan baik oleh oposisi maupun kelompok Joko Widodo. Tapi makna itu dapat kita lihat, bahwa Politik akomodasi Prabowo dapat dipahami sebagai politik balancing yang harus dilakukan. Sebab, kubu oposisi tidak akan menyerah untuk menuntut serta mengadili Mantan Presiden Joko Widodo sejak sepuluh tahun ia memerintah dengan cacat hukum dan cacat moral. 

Prabowo hendak menyenangkan ketiga belah pihak yang bertikai. Kelompok Megawati (PDIP) dan Anies Baswedan versus kekuatan laten Joko Widodo. Yang tentu saja akan mempengaruhi jalannya kabinet Merah Putih. Meski Prabowo tau bahwa ketiga unsur ini tidak akan bersenyawa satu dengan lain, tetapi kubu Anies nampaknya dapat bekerja bersama dengan Megawati dan PDIP. 

Di sinilah jika ditarik pada garis pemisahan pada kekuasaan, akan terlihat jelas bahwa tejadi penguatan politik di dua kubu ini. Hanya saja, Megawati sudah berikrar tidak akan menjadi oposisi kabinet Merah Putih. Politik akomodatif dan low approach Megawati secara nyata di sambut oleh Prabowo. 

Dengan demikian barter politik dalam bentuk hak preogratif Presisen merupakan wujud keseriusan Prabowo untuk tidak memperluas lawan politik. Justru dengan merangkul Megawati dan kelompok Anies maka Prabowo akan mendapat energi baru sebagai perimbangan untuk bargaining serta menjaga stabilitas politik dumping Prabowo pada Joko Widodo.

Oleh sebab itu, layak jika Prabowo mengeluarkan hak preogratifnya kepada Tom Lembong maupun Hasto, semata untuk memperkecil percikan api yang dapat membuat ketidakstabilan politik. Ini penting, supaya wajah pemerintahan Prabowo yang di dukung oleh mayoritas Parlemen di Senayan dapat meloloskan serta mengamini keputusan amnesti maupun abolisi. Citra pada Prabowo di bulan Agustus ini akan menjadi bersinar dan menjadi preseden baik bagi arah perjalanan kabinet merah putih ke depan. Sebab abolisi maupun amnesti merupakan mesin cuci untuk membersihkan dan memulihkan nama baik kredibilitas seseorang yang awalnya "dianggap bersalah dan melanggar hukum". 

Dengan adanya abolisi dan amnesti maka orang tersebut menjadi pulih kembali namanya. Tentu saja apa yang telah menjadi sikap politik presiden Prabowo dalam hal ini sudah tepat. Pemerintah tampak tidak ada cawe-cawe terhadap amar putusan hakim. Tapi dengan pertimbangan politik, Presiden dapat mengambil pertimbangan untung rugi atas keputusan vonis hakim yang telah menjadi kekuatan hukum tetap. 

Kalkulasi politik dii bulan Agustus ini sepertinya tidak disadari oleh kelompok Solo. Tom Lembomg maupun Hasto telah mendapat angin segar dari keputusan preogratif Presiden. Kalkulasi Prabowo adalah perhitungan politik keseimbangan. Prabowo nampak ingin mendayung dua atau tiga perahu meski angin laut bertiup kencang. 

Akankah kedepan nanti Prabowo tetap dapat mengendalikan dan memanage politik balancing itu? 
Semua tergantung pada Prabowo untuk tidak gampang terjebak pada persinggungan politik dan perseteruan laten antara Megawati, Anies Baswedan terhadap geng Solo. 

Selain itu, Prabowo juga perlu memperhitungkan sisa-sisa kekuatan Joko Widodo yang masih berada di kabinet Merah Putih. Antara lain adalah Mendagri, Kapolri dan Pangab yang masih memiliki cakar tajam di kabinet Prabowo. Selama 3 orang ini masih berada di dalam pemerintahan Prabowo, sulit rasanya kelompok oposisi menuntut Joko Widodo di hadapankan pada persoalan hukum. Sebab perisai Joko Widodo nampak jelas masih menjadi bagian pemerintah untuk menjaga gawang agar tidak jebol menghadapi desakan kaum oposisi. Jika terjadi perubahan dalam kabinet atau pergantian 3 posisi strategis tersebut bisa jadi nasib Joko Widodo tidak lebih sebagai Presiden Soeharto yang dirundung kemalangan akibat ketamakan dan ambisius pada kekuasaan. 

Dari dinamika politik ini, masih menyisakan satu persoalan yang dirasa rumit dan tentu saja penanganannya perlu kehati-hatian. Yakni soal "dugaan ijasah palsu" Joko Widodo. Isu ini menyita perhatian dunia yang mana tidak saja sebagian masyarakat Indonesia menunggu ikhtikat baik negara untuk mencari solusi yang baik dan benar menghentikan perselisihan antara Joko Widodo dan pencari kebenaran dan kejujuran. Prabowo sepertinya harus mencuci piring berkali kali untuk membersihkan kotoran yang ditinggalkan oleh Joko Widodo. Hasil pesta pora selama sepuluh tahun telah menyengsarakan rakyat akibat pencitraan yang berlebihan. Sedang Prabowo baru saja melangkah untuk membuktikan pada Megawati dan kelompok Anies Baswedan untuk dapat menerima politik akomodatif itu sebagai good will. Prabowo mencoba membangun kepercayaan pada Megawati dan Anies untuk bisa memahami posisinya. Hak preogratif ini menjadi alat konsolidasi politik baru untuk melepaskan jeratan akibat kriminalisasi hukum. Kini pekerjaan selanjutnya, yakni Prabowo dituntut oleh rakyat agar dapat membuktikan ijasah Joko Widodo itu asli atau palsu. Agar para pencari keadilan, kebenaran, kejujuran (Roy Suryo, Tiva, Resmon, Eggi Sudjana dan kawan-kawan itu) tidak terulang lagi dikriminalisasi seperti kasus Hasto dan Tom Lembong. 

  Ketua IMPP
Ikatan mahasiswa muslim Papua 
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Abolisi, dan Amnesti Cara Jitu Jinakan Oposisi ?

Trending Now

Iklan

iklan