Namun, ketika yang berduka berasal dari kalangan non-Muslim, muncul pertanyaan penting: bagaimana hukum seorang Muslim menghadiri takziah mereka?
Isu ini menjadi relevan karena umat Islam hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain dalam kehidupan sehari-hari. Rasa kemanusiaan dan nilai kebersamaan sering mendorong seseorang untuk hadir, tetapi pada saat yang sama syariat Islam memberikan batasan tertentu terkait doa dan sikap terhadap orang yang meninggal dalam keadaan tidak beriman. Oleh karena itu, dibutuhkan pemahaman yang jernih agar seorang Muslim mampu menjaga harmoni sosial tanpa mengabaikan prinsip-prinsip akidah.
Pengertian Takziah dalam Islam
Takziah diserap dari bahasa Arab تعزية/ta’ziyah. Ia secara bahasa adalah bentuk maṣdar (bentuk kata benda) dari kata kerja ‘azzaa, yang berarti menyabarkan orang yang terkena musibah dan menghiburnya.
Adapun secara istilah, takziah adalah menghibur keluarga jenazah dengan mendorong mereka untuk bersabar melalui janji pahala dari Allah SWT, menumbuhkan sikap rida terhadap ketetapan dan takdir-Nya, serta mendoakan ampunan bagi almarhum. Takziah juga bermakna memohon agar musibah yang menimpa keluarga yang berduka dapat diringankan.
Dengan demikian, tujuan takziah dalam Islam adalah mendorong kesabaran dengan janji pahala, mencegah keluarga yang ditinggalkan dari perbuatan dosa akibat kesedihan yang berlebihan, serta mengingatkan bahwa segala urusan pada akhirnya akan kembali kepada Allah SWT.
Takziah: Hukum dan Dasarnya
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai kesunnahan atau dianjurkannya takziah bagi orang yang tertimpa musibah. Anjuran ini berlaku bagi semua kalangan, baik laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun orang dewasa.
Namun, Islam tetap memberikan batasan tertentu demi menjaga kehormatan dan menghindari fitnah. Seorang laki-laki, misalnya, tidak diperbolehkan bertakziah kepada wanita cantik yang bukan mahramnya karena dikhawatirkan menimbulkan fitnah.
Demikian pula sebaliknya, seorang wanita tidak diperkenankan menakziahi laki-laki yang bukan mahramnya. Oleh sebab itu, wanita yang tertimpa musibah sebaiknya ditakziahi oleh sesama wanita atau mahramnya saja.
Dasar hukum dianjurkannya takziah adalah dua hadits berikut ini:
مَن عَزّى مصابًا فله مِثْلُ أجرِه
Barang siapa yang bertakziah (menghibur) orang yang tertimpa musibah, maka baginya pahala yang sama dengan orang yang sabar (terkena musibah) itu. (HR. Al-Tirmidzi).
ما مِن مُؤمِنٍ يُعَزِّي أخاهُ بمُصيبةٍ إلّا كَساهُ اللهُ مِن حُلَلِ الكَرامةِ يَومَ القيامةِ
Tidak ada seorang mukmin pun yang bertakziah (menghibur) saudaranya karena suatu musibah, melainkan Allah akan memakaikannya pakaian kemuliaan pada hari kiamat. (HR. Ibnu Majah)
Selayaknya takziah diberikan kepada seluruh keluarga dan kerabat mayit, baik yang tua maupun yang muda, laki-laki maupun perempuan. Takziah boleh dilakukan sebelum maupun sesudah pemakaman, hingga batas waktu tiga hari. Namun, apabila orang yang bertakziah atau keluarga yang ditakziahkan tidak berada di tempat, maka tidak mengapa takziah dilakukan setelah lewat tiga hari.
Terkait waktu pelaksanaannya, mayoritas fuqahā (ahli fikih) berpendapat bahwa takziah yang paling utama adalah setelah pemakaman. Hal ini karena sebelum pemakaman, keluarga jenazah biasanya masih sibuk dengan urusan pengurusan mayit.
Selain itu, rasa sedih dan perasaan kehilangan justru lebih mendalam setelah prosesi pemakaman selesai, sehingga waktu tersebut dinilai lebih tepat untuk memberikan penghiburan dan dorongan kesabaran.
Meski demikian, jika tampak kesedihan yang sangat mendalam pada keluarga jenazah sebelum pemakaman, maka takziah dapat disegerakan untuk mengurangi beban kesedihan mereka. Adapun Imam Ats-Tsauri meriwayatkan pendapat berbeda, yakni bahwa takziah setelah pemakaman hukumnya makruh.
Pandangan Ulama tentang Takziah kepada Non-Muslim
Para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan seorang muslim untuk bertakziah kepada kerabat atau tetangganya yang non-muslim. Menurut mazhab Syafi‘i dan sebagian riwayat dari Abu Hanifah, seorang muslim diperbolehkan untuk memberikan takziah kepada orang kafir (selain kafir ḥarbī), begitu pula sebaliknya.
Sementara itu, Imam Malik berpendapat bahwa seorang muslim tidak boleh bertakziah atas kematian orang kafir. Adapun dalam mazhab Imam Ahmad bin Hanbal terdapat dua riwayat: sebagian melarang, dan sebagian lain memperbolehkannya.
Dalil yang digunakan oleh ulama yang memperbolehkan adalah hadis riwayat Anas bin Malik r.a.
كانَ غُلامٌ يَهُودِيٌّ يَخْدُمُ النبيَّ صَلّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَمَرِضَ، فأتاهُ النبيُّ صَلّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَعُودُهُ، فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ، فَقالَ له: أسْلِمْ، فَنَظَرَ إلى أبِيهِ وهو عِنْدَهُ فَقالَ له: أطِعْ أبا القاسِمِ صَلّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فأسْلَمَ، فَخَرَجَ النبيُّ صَلّى اللهُ عليه وسلَّمَ وهو يقولُ: الحَمْدُ لِلَّهِ الذي أنْقَذَهُ مِنَ النّارِ.
Ada seorang anak laki-laki Yahudi yang melayani Nabi Muhammad Saw.. Suatu ketika, anak itu sakit, lalu Nabi Saw. datang menjenguknya. Beliau duduk di sisi kepalanya dan berkata, “Masuklah Islam.” Anak itu menoleh kepada ayahnya yang berada di sisinya, lalu ayahnya berkata kepadanya, “Taatilah Abul Qasim (Nabi Muhammad) Saw.” Maka anak itu pun masuk Islam. Kemudian, Nabi Saw. keluar sambil mengucapkan, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari api neraka. (HR Al-Bukhari)
Berdasarkan hadis ini, para ulama menyimpulkan bahwa seorang muslim diperbolehkan memberikan takziah kepada non-muslim ketika mereka tertimpa musibah, menjenguk mereka saat sakit, serta menunjukkan simpati dalam kondisi tertentu.
Sementara itu, ulama yang melarang berdalil dengan hadis riwayat Abu Hurairah r.a.
لا تبدؤوهم بالسَّلام، وإذا لَقِيتُموهم في الطَّريقِ فاضطرُّوهم إلى أضيقِ الطَّريقِ
Janganlah kalian memulai salam kepada mereka, dan jika kalian bertemu mereka di jalan, maka desaklah mereka ke bagian jalan yang paling sempit. (HR. Abu Dawud).
Menurut kelompok ini, takziah kepada non-muslim tidak diperbolehkan karena dianggap mengandung unsur pengagungan kepada orang kafir, sebagaimana halnya memulai salam kepada mereka yang dilarang.
Batasan Takziah kepada Non-Muslim
Para ulama yang memperbolehkan takziah kepada non-muslim tetap memberikan batasan-batasan tertentu. Secara umum, batasan tersebut adalah seorang muslim tidak diperbolehkan mendoakan ampunan, rahmat, atau surga bagi jenazah non-muslim, sebab hal itu dilarang oleh syariat. Larangan ini didasarkan pada firman Allah Swt. dalam Surah At-Taubah ayat 113:
ما كانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كانُوا أُولِي قُرْبى مِنْ بَعْدِ ما تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحابُ الْجَحِيمِ
Tidak ada hak bagi Nabi dan orang-orang yang beriman untuk memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik sekalipun mereka ini kerabat(-nya), setelah jelas baginya bahwa sesungguhnya mereka adalah penghuni (neraka) Jahim.
Syekh Wahbah al-Zuḥailī dalam “Al-Tafsīr al-Munīr” menjelaskan, bukanlah tugas Nabi maupun orang-orang beriman untuk memohonkan ampunan bagi orang-orang musyrik. Hal ini karena kenabian dan keimanan tidak sejalan dengan perbuatan memohon ampunan bagi mereka. Alasannya telah dijelaskan oleh Allah, yaitu setelah nyata bahwa orang-orang musyrik meninggal dalam keadaan kafir dan menjadi penghuni neraka Jahanam.
Hal ini juga ditegaskan dalam firman Allah Swt. dalam Surah An-Nisa ayat 116
إِنَّ اللهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ، وَيَغْفِرُ ما دُونَ ذلِكَ لِمَنْ يَشاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang di bawahnya, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.”
Dengan demikian, larangan ini berlaku meskipun doa itu dimaksudkan sebagai bentuk kasih sayang atau bakti kepada kerabat non-muslim. Sebab, begitu status kekafiran seseorang telah jelas, maka hukum larangan memohonkan ampunan kepadanya tetap berlaku, tanpa membedakan apakah ia kerabat dekat ataupun jauh.
Imam al-Ghazali dalam “Al-Wasīṭ fī al-Mażhab” menjelaskan, takziah dapat disampaikan kepada orang kafir yang kerabat muslimnya meninggal, dengan doa ditujukan untuk si mayit. Sebaliknya, takziah juga dapat disampaikan kepada seorang muslim yang kerabatnya kafir meninggal, dengan doa ditujukan untuk yang masih hidup.
Berdasarkan kaidah yang ditegaskan Imam al-Ghazali ini, terdapat dua keadaan: pertama, jenazah adalah non-muslim sementara kerabatnya ada yang muslim dan ada yang non-muslim; kedua, jenazah adalah seorang muslim sementara kerabatnya ada yang muslim dan ada pula yang non-muslim.
Para ulama kemudian memberikan tuntunan doa yang sesuai dengan kondisi tersebut. Jika seorang muslim bertakziah kepada muslim lain atas meninggalnya seorang muslim, maka doanya adalah: “Semoga Allah membesarkan pahalamu, menjadikan takziah/kesabaran-mu baik, dan mengampuni jenazahmu.” Jika takziah diberikan kepada seorang muslim atas meninggalnya kerabat yang kafir, maka ucapannya: “Semoga Allah membesarkan pahalamu dan menjadikan takziah/kesabaran-mu baik.”
Adapun jika seorang muslim bertakziah kepada orang kafir atas meninggalnya kerabat muslim, maka ia mengucapkan: “Semoga Allah menjadikan takziah/kesabaran-mu baik dan mengampuni jenazahmu.” Sedangkan jika takziah diberikan kepada orang kafir atas meninggalnya kerabat kafir, maka doanya adalah: “Semoga Allah menggantikan bagimu.”
urusan kembali kepada Allah SWT.
Para ulama sepakat tentang kesunnahannya, namun berbeda pendapat mengenai kebolehan takziah kepada non-Muslim. Sebagian memperbolehkan dengan batasan tertentu, sebagian melarang, sementara ulama kontemporer lebih cenderung membolehkannya demi menjaga hubungan sosial, khususnya ketika umat Islam hidup sebagai minoritas.
Dengan demikian, seorang Muslim diperbolehkan bertakziah kepada non-Muslim dalam rangka menjaga harmoni sosial dan membuka pintu dakwah, asalkan tetap berpegang pada akidah Islam, yaitu tidak mendoakan ampunan bagi jenazah mereka dan membatasi doa kepada kebaikan bagi keluarga yang ditinggalkan. Demikian, wallāhu a’lam.[]

