Tahun itu, Allah menunjukkan kuasa-Nya dengan menghancurkan pasukan bergajah Abrahah yang hendak meruntuhkan Ka’bah. Seakan-akan alam raya sedang dipersiapkan untuk menyambut kelahiran sang pembawa risalah akhir zaman. Kelahiran Nabi ﷺ bukanlah peristiwa biasa; ia adalah permulaan cahaya yang menyingkirkan pekatnya kegelapan jahiliyah.
Kondisi dunia saat itu penuh kegelapan moral dan spiritual. Bangsa Arab hidup dalam tradisi kesukuan yang keras, perbudakan merajalela, wanita dipandang rendah hingga dikubur hidup-hidup, dan penyembahan berhala meliputi hampir setiap rumah. Di luar Jazirah Arab, kekaisaran Persia dan Romawi sibuk dengan perebutan kekuasaan dan penindasan rakyat kecil.
Dalam riwayat, Aminah binti Wahab, ibu Nabi ﷺ, merasakan sesuatu yang luar biasa pada malam kelahiran putranya. Ia melihat cahaya keluar dari dirinya, menerangi hingga ke istana-istana di negeri Syam. Cahaya itu adalah pertanda bahwa bayi yang lahir darinya akan membawa pencerahan bagi dunia.
Ketika Muhammad ﷺ lahir, ia dalam keadaan suci, dikhitan, dan tali pusarnya sudah terputus, tanda-tanda keistimewaan yang tidak dimiliki bayi lain. Kakeknya, Abdul Muthalib, dengan penuh rasa haru menimangnya lalu membawanya ke dalam Ka’bah untuk berdoa. Dengan mata berkaca-kaca, ia memberi nama “Muhammad” sebuah nama yang saat itu hampir tidak pernah dikenal, namun kelak menjadi nama paling banyak disebut manusia sepanjang zaman.
Sejak awal, kehidupan Nabi ﷺ dipenuhi ujian. Ayahnya, Abdullah, wafat ketika beliau masih dalam kandungan. Ibunya, Aminah, pun wafat ketika beliau baru berusia enam tahun. Jadilah Muhammad ﷺ seorang yatim piatu di usia sangat belia. Namun di balik kepedihan itu, Allah sedang menyiapkan beliau untuk menjadi sosok yang tangguh, penuh empati, dan dekat dengan kaum yang lemah.
Allah berfirman: “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?” (QS. Adh-Dhuha: 6)
Ayat ini bukan sekadar menghibur Nabi ﷺ, tetapi juga pengingat bagi umatnya, siapa pun yang merasa sendirian, kehilangan, atau terabaikan, ketahuilah bahwa Allah tidak pernah meninggalkanmu, sebagaimana Allah tidak pernah meninggalkan Muhammad ﷺ.
Sejak kecil hingga dewasa, Nabi ﷺ tumbuh sebagai sosok yang dikenal jujur, santun, dan penuh kasih sayang. Namun, yang paling menggetarkan hati adalah betapa beliau mencintai kita, umatnya, bahkan sebelum kita lahir.
Dari sejarah kelahiran Nabi ﷺ, kita dapat mengambil beberapa pelajaran penting:
Allah menolong umat-Nya dengan cara yang luar biasa – peristiwa pasukan gajah adalah simbol bahwa Allah menjaga kehormatan rumah-Nya dan mempersiapkan kelahiran sang Nabi.
Kehidupan yatim bukan halangan untuk menjadi besar – justru Nabi ﷺ menunjukkan bahwa dari kesunyian dan kehilangan, lahirlah kekuatan dan kasih sayang mendalam.
Nama baik lebih berharga dari harta – Nabi ﷺ sejak muda dikenal dengan gelar al-Amin (yang terpercaya), sesuatu yang membuat dakwahnya mudah diterima.
Cinta Nabi melampaui ruang dan waktu – bukti cintanya kepada umat membuat kita harus menumbuhkan cinta yang sama kepada beliau dengan meneladani akhlaknya.
Setiap kali bulan Rabiul Awal tiba, hati kita seakan dipanggil untuk merenung: sudahkah kita benar-benar mencintai Nabi ﷺ sebagaimana beliau mencintai kita? Apakah shalawat kita sekadar di bibir, atau sudah menjadi cahaya yang menuntun perilaku kita?
Rasulullah ﷺ bersabda: “Orang yang paling dekat denganku pada hari kiamat adalah yang paling banyak bershalawat kepadaku.” (HR. Tirmidzi)
Maka, menangislah dengan air mata rindu. Biarkan hati kita luluh mengingat perjuangan dan kasih sayang Nabi ﷺ. Sebab air mata cinta kepada Rasulullah bukan kelemahan, melainkan kekuatan yang menghubungkan kita dengan surga dan perjumpaan dengannya di telaga Kautsar.[]

