Ibnu Qayyim al Jauziyah menulis buku “Raudhatul Muhibbin was Nuzhatul Musytaqin”. Ibnu Hazm menulis “Dzammu al Hawa”. Dawud al Anthaki menulis buku tentang cinta berjudul “Tazyin al Aswaq fi Akhbar al Ushshaq”. Syihabudin Ahmad bin Abu Hajlah menulis buku “Diwan ash Shahavah”. Al Kharaithi menulis buku “I’tilal al Qulub”, buku ini dirujuk oleh Ibnu Qayyim dan Ibnul Jauzi
Al Fadhl bin Sahl as Sarkhasi meriwayatkan bahwa Raja Persia, Bahram Gur, memiliki seorang putra yang ia siapkan untuk menjadi raja setelahnya. Namun putranya tumbuh menjadi orang yang tidak bersemangat, kurang sopan, pemalas dan tidak beretika. Sang Raja mempercayakan putranya kepada para guru dan cendekiawan untuk mendidiknya dan ia selalu menanyakan [erkembangan putranya. Tetapi mereka selalu melaporkan bahwa tidak ada perubahan.
Suatu hari, raja bertanya kepada salah satu grunya, dan guru itu berkata, ”Kami dulu khawatir dengan perilakunya yang buruk, namun sekarang terjadi sesuatu yang membuat kami berharap dia akan menjadi baik.”
Raja bertanya, ”Apa itu?”
Guru itu menjawab, ”Dia melihat putri seorang pejabat tinggi dan jatuh cinta padanya. Cinta itu menguasai dirinya sehingga dia tidak bisa tenang tanpanya, dan pikirannya hanya tertuju pada gadis itu.”
Mendengar itu sang Raja berkata, ”Sekarang saya berharap dia akan menjadi lebih baik.”
Kemudian raja memanggil ayah si gadis dan berkata, ”Saya akan memberitahumu sebuah rahasia, jangan beritahukan kepada siapapun.”
Dia memberitahukan bahwa putranya telah jatuh cinta pada putri lelaki tersebut dan ingin menikahinya. Sang raja memerintahkan agar lelaki itu menyuruh putrinya untuk membuat putranya berharap dan berkomunikasi dengannya, tetapi tanpa memperlihatkan diri atau membiarkan pandangannya jatuh padanya. Ketika hasrat putranya sudah mencapai puncak, putrinya diminta untuk menghindarinya dan menjauhinya. Jika putranya mengirim pesan untuk mengirim pesan untuk menanyakan alasan, putrinya harus menjawab bahwa ia hanya layak untuk menikah dengan seorang raja. Setelah itu lelaki tersebut harus melaporkan perkembangan kepada sang raja, tanpa memberitahu rahasia ini kepada putra putrinya. Sang ayah pun setuju.
Raja kemudian berkata kepada guru putranya, ”Dorong dia untuk terus berkomunikasi dengan Perempuan itu.” Sang guru mengikuti perintah raja dan putri itu melakukan apa yang diperintahkan oleh ayahnya. Ketika Hasrat sang pangeran semakin besar, gadis itu mulai mengabaikannya dan bersikap dingin. Ketika sang pangeran bertanya, ia diberitahu bahwa gadis itu tidak layak untuk seseorang seperti dirinya yang tidak memiliki kualitas raja dan bahwa ia hanyalah seorang pemuda yang sembrono.
Mulai saat itu sang pangeran mulai belajar sopan santun, mencari kebijaksanaan, mempelajari ilmu, serta melatih kemampuannya dalam berkuda dan memanah. Ia akhirnya unggul dalam semua hal tersebut bahkan membuat sang raja terkesan.
Kemudian raja memerintahkan guru putranya untuk mendorongnya menyampaikan niatnya kepada ayahnya tentang keinginannya untuk menikahi gadis itu. Sang pangeran pun menyampaikan keinginannya kepada sang raja.
Raja mengirim utusan kepada ayah gadis itu dan menikahkan putranya dengannya. Sang raja memerintahkan agar gadis itu dibawa ke istana. Sebelum mereka berkumpul, raja berkata kepada putranya, ”Wahai anakku, janganlah kamu merendahkan Perempuan itu dengan surat-surat yang dia kirimkan kepadamu. Sayalah yang memerintahkan untuk melakukannya. Dia adalah orang yang paling berperan besar dalam membuatmu mencari kebijaksanan dan bersikap seperti sang raja, sehingga kini kamu layak menjadi raja setelahku. Maka perlakukanlah dia dengan kehormatan dan kemuliaan yang pantas baginya.”
Sang pangeran pun mengikuti perintah ayahnya, hidup Bahagia dengan istrinya dan raja pun hidup dengan senang. Sang raja juga memberi penghargaan kepada ayah gadis itu karena menjaga rahasia, serta memberikan hadiah yang besar kepada sang guru atas kepatuhannya.
Adham Syarqawi menasihatkan bahwa cinta selalu ada dalam diri laki-laki dan wanita. Tapi cinta jangan dituruti bila melanggar perintah Allah. “Mengikuti perasaan tanpa peduli pada apa yang tidak diridhai Allah adalah bentuk dosa yang tidak dapat dibenarkan. Betapa bijaknya orang yang memahami bahwa ujian terkadang datang dalam bentuk perasaan, dan sesungguhnya ujian terberat yang dialami manusia dalam hidup ini adalah hatinya,”tulis Syarqawi.
Meski cinta ada pada diri manusia, cinta ada juga yang omong kosong atau ilusi belaka. Cinta sejati ada pada laki-laki dan wanita yang sudah menikah. Apakah bila istri atau suaminya meninggal lebih dulu, seseorang tidak bisa nikah lagi? Penulis buku ini menasihatkan bila salah satu, suami atau istri meninggal dunia lebih dulu, maka tidak mengapa salah satunya yang hidup nikah lagi. Sebagaimana Rasulullah saw menikah lagi setelah istri pertamanya, Khadijah meninggal dunia. Karena cinta bisa dibangun kembali dengan pernikahan yang baru.
Walhasil, banyak kisah-kisah yang menarik dalam buku ini. Baik kisah cinta dari Timur maupun Barat. Dari kalangan Muslim maupun non Muslim. Adham Syarqawi berhasil meramu kisah cinta dan hikmahnya menjadi buku yang menarik. Buku yang memberikan inspirasi baru tentang makna cinta. Buku yang memberi motivasi baru tentang makna hidup dan makna cinta. Selamat membaca. []

