Ustadz Sigit mengaku bahwa ia satu-satunya anak di keluarganya yang peduli dengan agama. Keluarganya, menurutnya kurang memperhatikan agama anak-anak. Alhamdulillah keinginannya yang besar terhadap ilmu menjadikan dirinya memperdalam agama. “Lewat liqa’-liqa’ saya mengenal Islam,” terangnya.
Di pengajian-pengajian kecil itulah semangat dakwahnya membara. Ia keluar masuk wilayah-wilayah pedalaman di Sulawesi.
Dakwah di pedalaman tidak mudah. Laki-laki kelahiran Gilimanuk 5 Juli 1974 ini tidak mengawali dakwahnya dengan ceramah. Ia mendekati masyarakat dengan cara bergaul dan bergotongroyong dengan mereka. Ia mencangkul, menanam dan berkebun bersama orang-orang pedalaman yang baru dikenalnya.
“Mereka tidak mengerti bahasa Indonesia yang saya gunakan dan saya tidak mengerti bahasa mereka juga. Kita menggunakan bahasa perasaan,” terangnya sambil tertawa.
Setelah nimbrung bersama berhari-hari akhirnya timbul saling pengertian diantara mereka. Lama-lama mereka mengerti bahasa Indonesia dan Ustaz Sigit mengerti bahasa orang pedalaman.
Ustadz Sigit tidak pernah mengajak mereka masuk Islam atau mengajak mereka shalat. Tapi di tengah-tengah pergaulan dengan mereka, ia seringkali pamit mengambil wudhu dan mengerjakan shalat. “Mereka mengerumuni dan memandangi saya ketika saya shalat,” terangnya. Mereka mulai tanya, apa yang dikerjakannya, untuk apa shalat dan lain-lain.
Dari situlah ia mulai berdakwah. Ia menjelaskan tentang mengenal Tuhan, arti shalat, syarat dan rukunnya shalat, arti bacaan shalat dan lain-lain. Mereka pun tertarik untuk mengerjakannya dan ust Sigit menjelaskan bahwa untuk bisa shalat harus masuk Islam dulu. Maka mereka kemudian ramai-ramai bersyahadat dan ikut shalat.
Suku-suku di pedalaman itu yang masuk Islam bergelombang. Kadang ada puluhan, bahkan pernah sampai ramai-ramai bersyahadat 300 orang. Mereka senang diajarin Ustadz Sigit berwudhu, bersuci, shalat, puasa dan lain-lain.
Dai Dewan Dakwah ini selain mengajarkan mereka ibadah, juga mengajar mereka berkebun dan lain-lain. Suku pedalaman yang masuk Islam itu dibinanya perlahan-lahan sehingga mereka bertempat di sebuah wilayah, tidak hidup nomaden lagi.
“Dari sinilah kita berpikir bagaimana membuat rumah untuk mereka, membuat masjid dan lain-lain,” jelasnya. Alhamdulillah rumah-rumah penduduk meski bentuknya sederhana, bisa dibangun. Begitu juga beberapa wilayah pedalaman bisa dibangun masjid.
Ada kisah lucu dalam dakwah laki-laki 51 tahun ini. Yaitu, suatu saat ia membawa sabun yang gambarnya jeruk, mangga dan lain-lain. Melihat barang yang warna warni menarik itu, mereka mengambil dan memakannya. Ustadz Sigit kaget. Ketika ia bertanya bagaimana rasanya, kata mereka, ”Enak.”
Dalam dakwah di pedalaman ini Ustadz Sigit juga mengajarkan arti kesabaran. Pernah suatu ketika ia dan beberapa temannya dimasakkan nasi oleh sebuah suku di pedalaman. Ketika memasak nasi itu, tongkat yang digunakan mengaduk nasi, kadang-kadang digunakan untuk memukul anjing yang lewat di dekat dapur itu. Hal itu terjadi beberapa kali. Melihat kejadian itu, teman-temannya ragu untuk memakan nasi itu dan mereka bertanya kepada Ustadz Sigit.
“Bagaimana ini, apakah kita harus memakannya?” tanya mereka. Ustadz Sigit menjawab, ”Harus kita makan. Kalau nggak, mereka akan kecewa. Allah Maha Melihat,” jawab ustadz Sigit.
Begitulah Ustadz Sigit mengajarkan cara-cara dakwah kepada suku-suku di pedalaman. Tidak sedikit tantangan yang ia hadapi. Mulai dari rumahnya dilempari batu, dakwahnya ditolak dan lain-lain. Tapi dengan pendekatan hikmah dan akhlak mulia yang ia lakukan, akhirnya dakwahnya dapat diterima masyarakat luas. Ratusan orang-orang pedalaman menjadi mualaf berkat dakwahnya di Morowali Utara.
Yang menjadi keprihatinannya saat ini adalah kurangnya perhatian pemerintah daerah terhadap dakwah Islam di sana. Memang ia akui bahwa yang memegang pemerintahan kebanyakan bukan umat Islam.
Selain dakwah di pedalaman, Ustadz Sigit juga melakukan dakwah di masyarakat pesisir Pantai. Dalam dakwahnya ini, kadang-kadang ia harus melakukan perjalanan berminggu-minggu dan menginap di rumah pendudk di sana.
Pesan Ustadz Sigit kepada dai-dai muda,”Seorang dai itu jangan hanya tahu ilmu keislaman. Ia harus tahu semua ilmu. Ilmu pertanian, ilmu ekonomi, ilmu sosial, ilmu hukum dan lain-lain,”terangnya. Ia mempunyai pengalaman bahwa masyarakat akan bertanya berbagai macam hal bila bertemu dengannya.
Ustadz Sigit yang nama aslinya Sugiatno SH, punya prinsip bahwa seorang dai itu adalah pemberi solusi dalam masalah kehidupan. “Bila ada satu masalah, harus ada 99 cara solusinya,” terangnya.[]