Masjid Kampus Islam: Antara Prioritas dan Efisiensi Anggaran

Redaksi
Agustus 31, 2025 | Agustus 31, 2025 WIB Last Updated 2025-08-31T16:32:42Z
Jakarta,detiksatu.com _ Sejarah masjid kampus di Indonesia sebenarnya membuktikan bahwa rumah ibadah bisa menjadi pusat kebangkitan intelektual, sekaligus masjid punya peran penting membentuk mahasiswa berintegritas. Namun ketika pembangunan masjid tersendat, integritas itu pun terancam.

Kubah tanpa Kepastian

Di Sungai Bangek, Padang, waktu seolah berhenti di halaman sebuah bangunan yang mestinya menjadi jantung kehidupan kampus.

Masjid Kampus III UIN Imam Bonjol berdiri setengah jadi, kubahnya telah menjulang sejak Februari 2025, tapi dinding-dinding di bawahnya masih tampak seperti kerangka yang menunggu nasib. Padahal setahun sebelumnya, pada Agustus 2024, peletakan batu pertama dilakukan dengan gegap gempita.

Pihak kampus menyebut pembangunan akan rampung akhir 2024, dengan dana awal Rp9–10 miliar dari BLU dan kebutuhan tambahan Rp44 miliar. Pada Desember 2024, progres disebut mencapai 46 persen.

Nyatanya, Ramadan 2025 terlewati tanpa masjid yang utuh. Yang benar-benar baru hanya kubah—seolah-olah sekadar penenang mata, tanpa kepastian kapan bangunan bisa dipakai sepenuhnya.

Alasan Efisiensi

Alasannya klasik: efisiensi anggaran. Pihak kampus berdalih pembangunan masjid harus menunggu alokasi berikutnya, sementara gedung-gedung fakultas dan sarana penunjang lain tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Logika efisiensi inilah yang mengundang tanda tanya. Jika rumah Allah bisa ditunda, mengapa ruang-ruang perkuliahan tidak?

Jika kampus yang berlabel “Islam” justru menomorduakan masjid, lalu apa arti keislaman yang terus digaungkan lewat spanduk dan brosur Penerimaan Mahasiswa Baru?

Kasus Serupa di Kampus Islam Lain

Kisah UIN Imam Bonjol bukan satu-satunya. Di Semarang, UIN Walisongo pada 2020 sempat mengumumkan rencana pembangunan masjid baru sebagai ikon kampus.

Namun, alih-alih berdiri masjid megah, yang terealisasi kemudian justru renovasi Masjid Kampus 3 pada Februari 2023. Peningkatan fisik dilakukan bertahap, sementara pembangunan penuh yang sempat digembar-gemborkan tertunda.

Publikasi resmi kampus menyebut strategi ini sebagai penyesuaian kebutuhan dan sumber daya. Tetap saja, narasi itu menyisakan pertanyaan: mengapa masjid justru jadi opsi sekunder?

Kontras dengan dua kasus di atas, Surabaya memberi cerita berbeda. UIN Sunan Ampel mengelola Masjid Raya Ulul Albab, yang pada 2022 diganjar Juara 2 Masjid Kampus Terbaik oleh Dewan Masjid Indonesia.

Meski sempat menuai kritik mahasiswa soal kapasitas dan prioritas anggaran, penghargaan ini menunjukkan bahwa jika ada perhatian serius, masjid kampus bisa dikelola dengan baik.

Sementara di Bandung, UIN Sunan Gunung Djati justru mendapat sokongan dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat senilai Rp2,5 miliar pada 2020 untuk mempercepat pembangunan Masjid Kampus II. Dukungan eksternal ini menjadi penanda: dengan kolaborasi, pembangunan masjid tidak perlu jalan di tempat.

Kontras dengan Kampus Umum

Jika kampus Islam masih sibuk berdebat soal efisiensi, kampus umum justru melangkah lebih jauh. Masjid Salman di ITB, misalnya, bukan hanya ruang ibadah lima waktu. Sejak awal berdirinya, Salman tumbuh menjadi pusat dakwah intelektual, inovasi sosial, hingga filantropi. Di sana, masjid kampus benar-benar menjadi idea factory, tempat lahirnya gagasan yang memadukan tradisi keilmuan dengan nilai-nilai spiritual.

Universitas Jember, kampus negeri yang sama sekali tidak berlabel “Islam”, bahkan menegaskan dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) bahwa penyediaan tempat ibadah merupakan standar wajib. Artinya, di kampus sekuler sekalipun, mushala atau masjid dipandang sebagai kebutuhan pokok, bukan pelengkap.


Regulasi yang Terlupakan

Regulasi sebenarnya sudah jelas. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 70 Tahun 2014 tentang Standar Sarana dan Prasarana Pendidikan Tinggi—kini terintegrasi dalam SN Dikti—mewajibkan setiap perguruan tinggi menyediakan sarana ibadah yang memadai dan proporsional.

Kementerian Agama, melalui PMA No. 5 Tahun 2020, menegaskan kembali kewajiban itu khusus untuk PTKIN. Jadi, pembangunan masjid bukan pilihan yang boleh direvisi atau ditunda. Ia adalah kewajiban.

Masjid sebagai Pusat Peradaban

Lantas mengapa masjid bisa diperlambat dengan alasan efisiensi? Pertanyaan ini menukik pada soal akuntabilitas moral.

Masjid, sejak zaman Rasulullah, bukan sekadar tempat rukuk dan sujud. Ia adalah pusat peradaban, ruang musyawarah, sekolah akhlak, dan basis pembinaan umat. Jika kini masjid kampus dianggap hanya pelengkap estetika yang bisa dikorbankan demi gedung akademik, maka yang sedang dibangun sejatinya bukanlah “kampus Islami”, melainkan sekadar pusat perbelanjaan akademik.

Ironisnya, mahasiswa tetap membutuhkan ruang itu. Masjid kampus adalah tempat tumbuhnya komunitas, wadah kegiatan intelektual, dan arena pembentukan karakter.

Zakiah Darajat, psikolog pendidikan Islam, jauh-jauh hari sudah mengingatkan bahwa masjid punya peran penting membentuk mahasiswa berintegritas. Namun ketika pembangunan masjid tersendat, integritas itu pun terancam. Mahasiswa bisa jadi lebih nyaman berkumpul di kafe ketimbang di sajadah, bukan karena mereka tak mau beribadah, tapi karena ruang ibadah tak kunjung tersedia dengan layak.

Akuntabilitas Moral

Maka, jika sampai tahun akademik 2026 Masjid Kampus III UIN Imam Bonjol masih tak juga rampung, publik berhak bertanya: apakah kampus ini serius membangun tradisi Islam, atau sekadar menjual nama “Islam” di papan nama fakultas? Efisiensi boleh jadi istilah yang enak di telinga birokrat, tapi di balik itu tersembunyi risiko besar: keislaman yang hanya sebatas branding.

Sejarah masjid kampus di Indonesia sebenarnya membuktikan bahwa rumah ibadah bisa menjadi pusat kebangkitan intelektual. Salman ITB, Ulul Albab UINSA, hingga masjid-masjid di kampus negeri besar yang lain, menjadi bukti nyata. Perbedaannya hanya pada komitmen. Kampus yang serius membangun masjid menunjukkan Islam bukan hanya jargon, melainkan praksis yang hidup.

Karena itu, pembangunan masjid bukan sekadar urusan teknis kontraktor. Ia adalah cermin niat kampus: apakah benar ingin melahirkan sarjana beriman, atau sekadar menambah daftar gedung untuk laporan tahunan. Jika masjid dipandang non-efisien, maka jelas, yang sedang kita saksikan adalah penyusutan makna keislaman menjadi sebatas slogan. Dan ketika itu terjadi, masjid kampus hanya akan jadi janji yang tertunda, kubah indah yang tak pernah rampung, dan simbol kosong dari Islam yang kehilangan pusatnya.


Tim 
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Masjid Kampus Islam: Antara Prioritas dan Efisiensi Anggaran

Trending Now