Jakarta _Kebun Surga di Bumi Tulisan ini dimulai dari syahadat ilmiah, bahwa penulis meyakini kisah Adam dan Hawa yang selama ini kita dengar dan kita ketahui sebenarnya adalah sebuah cerita mitologis, meski bahan-bahannya diambil dari materi sejarah. Pikiran dasar dari cerita tersebut memang memiliki kebenaran sejarah, ada dalam latar ruang dan waktu, tapi dipenuhi manipulasi dan distorsi. Maka, terciptalah seni gado-gado yang faktual namun dibelokkan, dibumbui dan penuh plesetan simbolik. Manipulasi mitologi dari realitanya yang asli sering mengambil bentuk melalui wujud simbolisme. Simbol-simbol membuat mitos memiliki jalan cerita yang aneh, misterius dan janggal. Namun, dengan menggunakan metode Psikoanalisa dan piranti pengetahuan lainnya, kita akan mengerti bahwa simbol mitos ini memiliki kesamaan dengan simbolisme dalam mimpi yang terdistorsi. Simbol tersebut tidak pernah keluar dari ruang dan waktu atau realitas, dengan kata lain selalu mengambil materinya dari pengalaman empiris. Baik mitologi maupun mimpi sama-sama diciptakan dari bahan-bahan yang ada dalam kehidupan nyata.
Dalam relasi manusia dan kebudayaan, mitos sering diisi dengan simbol-simbol yang aneh dan misterius, oleh Ernst Cassirer (1874-1945), adalah alamiah manusia mengungkapkan diri melalui simbol-simbol mitologis, karena memang ia makhluk simbolik (symbolic animal). Sudah menjadi kodrat kalau manusia ketika mengungkapkan diri tentang sesuatu yang tak mungkin dijangkau oleh akal pikirannya, ia biasa menggunakan simbol-simbol. Hanya saja, ketidakmampuan manusia primitif ketika berhadapan dengan kenyataan yang memojokkannya dan membuatnya lemah, ia justeru mentransendensikan pengalamannya tersebut pada yang gaib dan mistik. Jadilah ia dikelilingi dan diselubungi oleh partisipasi-mistik yang imajiner dan halusinatif, (Levy Bruhl; 1978). Inilah pembelokan dan tipuan dari mitos, mengalihkan atau menyembunyikan realita yang asli melalui ciptaan-ciptaan imajiner.
Menyebarkan cerita Adam dan Hawa sebagai berita yang dikabarkan wahyu ketuhanan, jelas-jelas memiliki tendensi ideologis di mana pengarangnya memanfaatkan legitimasi wahyu demi mendapatkan kuasa dan klaim kebenaran, (Tafsir Marxian). Mitologi pada masa kenabian masih merupakan cerita rakyat popular dan dianggap memiliki kebenaran dalam nalar kaum rakyat jelata. Tentu celah ini menarik para nabi untuk membungkus cerita mitis dengan pewahyuan sehingga membantu mereka menebar kuasa dan dominasi. Melalui mitologi yang masih dipercayai oleh masyarakat awam, para nabi menyisipkan pesan dan misinya yang halus, seperti sayap kupu-kupu yang mempesonakan orang yang melihatnya karena keindahan dan daya magisnya. Membungkus risalah dan ajaran tertentu dengan simbol dan cerita mitis membuat nabi mendapatkan sukses dalam menancapkan pengaruh dan simpati.
Pada dasarnya, Islam adalah agama kaum budak, mungkin begitu menurut tafsir Nietzschean. Menyentuh dan memprovokasi hati kaum bawah yang tertekan dengan menggunakan cerita-cerita kerakyatan yang mitis dan puitis adalah risalah utama agama ini. Terbukti, dalam agama ini, mitologi yang disampaikan dengan bahasa sastra penuh ritmis dan degup jantung yang kembang kempis, paling mudah diserap oleh kelas masyarakat bawah yang bisa digelorakan semangat emosi dan sentimennya, di samping nalar kognitifnya yang relatif lemah.
Agama Yahudi, Kristen dan Islam memang memiliki rumpun yang sama, yaitu keturunan agama Semitik atau Abrahamik, namun ketiga agama tersebut justru saling berperang untuk memperoleh kuasanya sendiri di hadapan para umatnya. Perang tersebut salah satunya dikobarkan melalui cerita mitologis yang mudah menyulut sentimen dan emosi, semisal apakah Ibrahim itu beragama Kristen ataukah Yahudi atau jangan-jangan beragama Islam? Atau siapakah yang akan disembelih Ibrahim, Ishaq (Yahudi dan Kristen) atau Ismail (Islam)? Ketiga agama ini berebut kuasa dan klaim kebenaran melalui cerita mitis yang disesuaikan oleh kecerdasan dan imaji-kreatif para nabinya. Kepemimpinan moral, yang disebut hegemoni oleh Antonio Gramsci (1891-1937), benar-benar efektif memalsukan kesadaran para penganutnya melalui legitimasi wahyu, sebuah seni politik ulung dan jenial.
Wahyu yang ada pada setiap Nabi tentu menciptakan klaim, versi kebenaran dan kuasa yang berbeda. Wahyu yang di dalamnya penuh dengan cerita mitologis, sudah jamak, pasti mengandung relasi kuasa untuk mengukuhkan dominasi atas kesadaran pembaca dan pengikutnya. Oleh karena itu, di samping wahyu an sich (form; bentuk) itu bersifat mitis atau ideologis, ternyata isi wahyu (matter; isi material) juga tidak kalah mitologisnya dengan wahyu itu sendiri, maka jadilah nalar mitis kuadrat, mitos di dalam mitos. Wahyu Al-Qur’an yang bentuk dan asal-usulnya itu sendiri bersifat mitis, ia pun memuat dan berisi materi-materi mitologis yang lain. Dengan pertimbangan di atas, meski ketiga agama ini masih memiliki pertentangan cerita mitis yang tidak sedikit, namun tetap ada benang merah yang koheren, menghubungkan dan melengkapi satu dengan yang lainnya, ini yang menjadikan penulis memilih untuk mendasarkan dan menggunakan bahan-bahan cerita Adam dan Hawa secara eklektis dan saling mengisi, menurut versi wahyu agama Islam dan sumber-sumber sejenis yang mendukungnya, seperti Perjanjian Lama, Injil dan cerita-cerita Israilliyat. Kisah Adam dan Hawa merupakan salah satu cerita mitis yang menghubungkan kontinuitas dan emosi ketiga agama di atas.
Seni cerita mitologis memiliki ciri utama, yaitu ada sesuatu yang disembunyikan, karena apabila diungkap secara jelas tanpa selubung, ada tabu masyarakat yang dilanggar. Metode penyembunyian kebenaran cerita mitologis sering menggunakan selubung atau kedok dan simbol-simbol yang dapat mengaburkan dan membelokkan dari realita yang sebenarnya. Oleh karena itu, setiap mitos potensial mengandung unsur penipuan dan pembohongan, (Muhammad Khalafullah, Al Fannul Qashashiy fil Qur’aanil Kariim; 1992), sebab ia mengaburkan dan menyamarkan realitas yang asli. Penyembunyian realita inilah yang mengakibatkan cerita mitis nampak kontradiktif, penuh anomali dan kekaburan. Dan, cerita mitologi yang kabur dan aneh ini, menurut perspektif Psikoanalisa, bisa dianalogikan dengan gambaran mimpi yang janggal dan asing.
Dalam perspektif Fungsionalisme Durkheimian, kenapa mitos harus menyembunyikan realitas yang sebenarnya, karena demi keutuhan dan integrasi masyarakat, yang ditabukan harus tetap terselubung dan tidak boleh diekspresikan secara lugas. Apabila coba untuk diungkap secara telanjang, jelas-jelas akan melawan ide-ide moral masyarakat. Keutuhan masyarakat butuh pengorbanan, meski dimandikan dengan cara mengguyur diri penuh air ketidakwarasan dan tampil dengan citra kemunafikan. Mitos adalah seni kesopanan yang bertopeng, tersembunyi di dalamnya aura pekat kontradiksi dan anomali. Yang anehnya, oleh agama pewahyuan, mitos dianggap sebagai kabar ilahi yang tak boleh dipertanyakan dan diganggu gugat, bahkan menjadi dasar dan inspirasi bagi lahirnya ritus-ritus upacara keagamaan. Wajar saja, karena mitos menjadi media untuk menciptakan solidaritas dan kohesi sosial, yang tentunya sudah akrab dan mengental dalam kehidupan masyarakat awam, sesuatu yang dibutuhkan para nabi untuk membangun kekuasaannya. Konsekuensinya, pelaksanaan agama ditopangkan pada ide-ide dasar yang rentan atas kritik dan serangan. Ini yang disebut penyakit yang disucikan dengan mengatasnamakan iman dan ketuhanan. Ketika yang sakit bersetubuh dengan kesucian dan aura keramat dari langit, jadilah ia kebal dari semua kritik dan sanggahan. Bagaimana kita menghadapi tuduhan ini?
Mungkinkah kita meyakini bahwa Kitab Suci Al-Qur’an berisi mitologi yang bisa mengandung kebohongan? Karena, menurut sarjana tafsir dari Mesir, yaitu Muhammad Khalafullah, banyak sekali Al-Qur’an memuat mitologi yang berlawanan dengan kebenaran sejarah, meskipun Al-Qur’an memuatnya bukan dimaksudkan sebagai narasi sejarah, tetapi sebagai pesan simbolik yang mengandung unsur moral. Hal ini memperkuat argumen dari Arkoun yang meminta para sarjana muslim untuk mengkaji Al-Qur’an dengan piranti sastra, sosiologi dan antropologi karena Al-Qur’an mengandung nalar mitis (usturoh) yang sangat kuat, bahkan menjadi jantungnya yang terdalam. Salah satu cerita mitos yang dibahas dalam Al-Qur’an adalah kisah Adam dan Hawa. Bagaimana mulanya kisah Adam dan Hawa bisa disebut sebagai mitos? Bukankah cerita tersebut diwartakan oleh wahyu Al-Qur’an yang tak mungkin memuat kesalahan dan kebatilan? Penulis akan menjelaskan dalam uraian berikut ini.
Nabi, ketika mudanya, adalah seorang petualang yang sering bepergian untuk melakukan ekspedisi-ekspedisi perdagangan ke luar jazirah Arab. Bisa jadi kisah yang telah lama ada dalam pikiran agama Yahudi dan Kristen ini merembes dan mengendap dalam pikiran Nabi ketika beliau melakukan interaksi dengan kedua penganut agama di atas dan kelompok-kelompok agama lainnya, terutama saat di luar Arab. Orang yang sedang melakukan perjalanan panjang dan jauh ke luar dari pemukiman asalnya sering dimanjakan dengan cerita-cerita eksotis dalam masyarakat yang dilaluinya, ini ciri khas selera para penjelajah dan petualang. Muhammad, bisa diumpamakan seorang etnographer yang jeli dan haus dengan cerita-cerita kerakyatan yang tentunya akan mempengaruhi kesuksesan ekspedisi perdagangannya, yaitu ketika beliau mengetahui mental dan wawasan masyarakat tertentu melalui cerita-cerita kerakyatan. Mengenal karakter sebuah masyarakat dapat diketahui dengan mendengarkan dan menyelami ciri-cirinya melalui cerita-cerita dongeng yang diyakini masyarakat tersebut. Tidak disadari, cara pandang dan selera Nabi ini begitu menentukan kesuksesan beliau ketika meyakinkan agama Islam dalam pikiran dan perasaan masyarakat awam, karena mitologi merupakan pikiran alam bawah sadar atau bahkan ideologi yang dianut dan digandrungi oleh kelompok-kelompok masyarakat pinggiran, terutama kaum budak.
Kisah Adam dan Hawa merupakan mitologi besar yang diyakini turun temurun dalam sejarah umat manusia bahkan telah menjadi bagian penting dari ajaran yang disucikan dalam agama Yahudi, Kristen dan Islam. Cerita mitologis Adam dan Hawa ini sudah ada sebelum Islam muncul di daratan Jazirah Arab. Bahkan menurut beberapa sumber klasik, peradaban kuno Sumeria 5000 SM banyak dikait-kaitkan sebagai asal-usul bagi cerita Adam dan Hawa ini. Diprediksi, serangan bangsa Yahudi Kanaan atas lembah subur Mesopotamia mengambil alih dan menjadi sarana penyambung cerita mitis taman surga. Jelas sekali, bahwa Taman Eden atau Surga bukanlah tempat imajiner yang ada di langit atau akhirat tetapi merupakan replika bagi kesuburan dan kedamaian tanah masyarakat Sumeria bersama tatanan dan peradabannya, (Dari Eden mengalir sebuah sungai untuk mengairi taman firdaus itu, kemudian dari tempat itu sungai terbagi menjadi empat cabang. Nama sungai yang pertama ialah Pison. Sungai ini mengalir mengelilingi seluruh Tanah Hawila, tempat emas ada. Emas dari tanah itu baik mutunya. Di sana pun ada damar dan permata unam. Nama sungai yang kedua adalah Gihon. Sungai ini mengalir mengelilingi seluruh Tanah Etiopia. Nama sungai yang ketiga ialah Tigris. Sungai ini mengalir di sebelah timur Asyur. Sungai yang keempat ialah Efrat. Kitab Suci Taurat, 2010, Kejadian 2 hlm. 6.).
Dari sumber informasi kitab suci Taurat yang lebih tua daripada Qur’an ini, terdapat wawasan bahwa cerita mitologis tentang surga yang ditempati pertama kali oleh Adam dan Hawa pada mulanya tidak sepenuhnya khayalan imajiner tapi memiliki ruang dan waktu dalam realitas meski kemudian dibelokkan dan mengalami distorsi besar-besaran.
Oleh karena itu, adalah keliru apabila Al-Qur’an menceritakan bahwa Adam dan Hawa diusir dari surga dengan cara diturunkan dari atas langit, seolah surga sebagai asal-usul Adam dan Hawa itu ada di atas akhirat, bukan di bumi, (Allah berfirman; “Turunlah kamu sekalian (dari surga), sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Dan kamu mempunyai tempat kediaman dan kesenangan di muka bumi sampai waktu yang telah ditentukan.” Al-A’raaf; 24.). Ayat ini ada dalam konteks pengusiran Tuhan pada Adam dan Hawa dari atas surga menuju ke bawah bumi karena telah melanggar larangannya, yaitu memakan Buah Khuldi, (Al-A’raaf; 11-25). Hal ini menyebabkan banyak riwayat Hadis yang menyebutkan kalau Adam dan Hawa diturunkan di daerah India, ada yang mengatakan di Jeddah, di Mekkah dan sebagainya. Di riwayat lain, Adam diturunkan di bukit Shafa dan Hawa di bukit Marwa yang kini menjadi simbol ibadah haji dan dipertemukan di bukit Jabal Rahmah, yang di situ didirikan sebuah tugu untuk memperingati pertemuan Adam dan Hawa yang sempat terpisah. Cerita Al-Qur’an dan Hadis ini tentu bertentangan dengan ayat yang lainnya yang mengatakan bahwa tuhan akan menciptakan manusia sebagai khalifah di bumi, (Al-Baqoroh; 30), di mana tempat tinggal manusia pertamakali tentulah di bumi bukan di atas langit, sehingga wajar apabila kemudian mitologi penciptaan manusia berasal dari tanah, bukankah tanah merupakan unsur lapisan utama yang ada di bumi, (Al-Hijr; 28). Maka, jelaslah Taurat lebih sahih dibandingkan cerita Al-Qur’an yang mengatakan bahwa Adam dan Hawa tinggal di surga yang ada di atas langit, karena simbol penciptaan manusia dari tanah dan pertamakali tinggal adalah di bumi lebih koheren dengan cerita Taurat yang menyebutkan Taman Eden itu ada di daerah sekitar sungai Efrat dan Tigris (Peradaban Mesopotamia), yaitu di bumi.
Apabila kita merujuk pada kamus Al-Munjid (Luis Ma’luf; 2008), kata “jannah” atau surga adalah bentuk mashdar yang bermakna “kebun yang memiliki pohon-pohon yang menutupi tanah.” Ini diperkuat oleh ayat Al-Quran yang mengartikan kata “jannah” sebagai “kebun”, yaitu “Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki, kami jadikan bagi seorang di antara keduanya dua buah kebun anggur (jannatainin min a’naabin) dan kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon korma dan di antara kebun itu kami buatkan ladang”, (Al-Kahfi; 32). Pengertian ini memperkuat pandangan kita yang mengartikan bahwa surga yang didiami oleh Adam dan Hawa itu bukan terletak di atas langit atau dunia akhirat, tetapi sebuah kebun atau taman yang ditumbuhi oleh pepohonan dan terletak di daratan bumi, karena tempat tinggal pertama Adam dan Hawa adalah di bumi, sebab ia dimaksudkan untuk menjadi khalifah dan diciptakan secara simbolik dari tanah.
Dengan memandang bahwa surga yang ditempati pertama kali oleh Adam dan Hawa sebenarnya adalah sebuah taman atau kebun yang terletak di daratan bumi, dan bukan di atas langit, tentu pandangan ini memiliki implikasi yang dalam, bahwa mitos Adam dan Hawa ternyata bukanlah cerita yang murni imajiner tetapi mempunyai realitas dalam ruang dan waktu meskipun penuh simbol yang kontradiktif dan terselubung, setidaknya konsep surga merupakan replika atau imitasi dari sebuah taman atau kebun yang penuh tatanan dan peradaban. Dalam kerangka evolusi Darwinian, kelompok manusia pertama yang hidup dibumi dicirikan dengan berpindah-pindah atau nomaden dan meramu, mereka disebut dengan kelompok fase manusia paling primitif dalam sejarah. Adam dan Hawa tidak bisa dikategorikan sebagai makhluk paling primitif atau manusia pertama karena mereka berdua sudah hidup dalam sebuah komunits yang menetap dengan bercocok tanam dan beternak, yaitu dengan disimbolkan mereka tinggal dalam sebuah taman atau kebun. Taman atau kebun merupakan sebuah kebudayaan historis di mana manusia tidak lagi ada pada masa atau zaman yang paling primitif. Kebun mengandaikan bahwa ada sekelompok atau komunitas manusia yang tidak lagi nomaden dan berpindah-pindah untuk menghidupi kebutuhannya, tetapi mereka sudah hidup dalam fase menetap dengan memulai bercocok tanam dan memelihara ternak, meski juga berburu hewan di hutan.
Dengan begitu, Adam dan Hawa tidak lagi hidup pada fase manusia yang paling primitif yang dicirikan dengan nomaden dan meramu, tapi keduanya telah hidup pada fase menetap dengan menciptakan kebun atau taman di mana dengan itu sebuah kelompok manusia budaya sudah hadir dan mengolah tanah. Fase nomaden pun telah terlewati, dan komunitas yang menetap dan bercocok tanam merupakan tempat tinggal Adam dan Hawa berada. Hal ini membuktikan bahwa Adam dan Hawa bukanlah manusia pertama dalam sejarah, karena mereka berdua hidup dalam fase masyarakat yang lebih maju daripada fase masyarakat primitif sebelumnya. Jannah atau kebun adalah sebuah simbol dari realitas yang membuktikan Adam dan Hawa tinggal dalam sebuah komunitas yang sudah mulai mengenal budaya mengolah tanah, bercocok tanam, dan berternak, maka Adam dan Hawa tidak sendirian saja sejak kemunculan pertamanya, serta sangat tidak tepat apabila Adam disebutkan secara literal diciptakan dari tanah (penciptaan Adam yang berasal dari tanah hanya sekedar simbol bahwa tempat tinggal pertama kali Adam adalah ada di bumi) karena mereka berdua lahir dan menjadi keturunan biologis manusia sebelumnya yang sudah terlebih dahulu ada. Adam dan Hawa hanya bagian individu dari sebuah kelompok manusia yang membentuk komunitas dalam sejarah, dan sebelum mereka tentu ada kelompok manusia lainnya yang lebih primitif dan lebih dulu muncul.
Kemudian ada istilah kunci lainnya yaitu “eden” atau ‘adnin yang dalam bahasa Ibrani berarti kesenangan. Kebun yang kita yakini sebagai lahan bercocok tanam dan beternak, tempat Adam dan Hawa tinggal, mengisyaratkan bahwa keduanya berada dan menjadi bagian dalam sebuah komunitas yang penuh tatanan dan peradaban. Dengan mulai menetap dan berbudaya, komunitas yang ditempati Adam dan Hawa mulai merasakan kedamaian dan ketentraman yang tidak bisa diperoleh dalam fase masyarakat yang masih berpindah-pindah atau nomaden, di mana dalam fase nomaden yang penuh ketidakjelasan dan ketidakpstian, sering terjadi suasana kekurangan pangan, keganasan alam dan juga belum mampu menciptakan tata tertib masyarakat, sehingga selalu dibayang-bayangi dengan anarki dan pertumpahan darah. Hal inilah yang mengakibatkan dalam fase yang sudah menetap dan mengolah tanah yang kemungkinan juga sudah mengenal irigasi, karena mereka tinggal di antara sungai Efrat dan Tigris, terdapat peradaban, kedamaian, keteraturan dan kecukupan pangan. Keadaan-keadaan ini menciptakan kebahagiaan dan kesenangan, yang menjadi simbol Taman Eden, taman atau komunitas yang penuh kebahagiaan dan kesenangan.
Adalah menyesatkan apabila kita berkesimpulan kalau taman surga yang ditempati oleh Adam dan Hawa merupakan sejenis taman kenikmatan yang menyediakan segala sesuatu yang kita inginkan tanpa adanya usaha dan kerja keras, muncul secara magis dan melawan hukum alamiah alam, seperti air susu atau madu yang mengalir seperti sungai, atau jalan yang indah teraspal dari emas, tidak akan pernah kelelahan dan hidup sehat terus menerus tanpa berkeringat dan bersusah payah, dan sebagainya. Pandangan ini bukan saja tidak betul tapi meracuni pikiran dan akal sehat karena menghidupkan khayalan fantasi yang sakit. Makna surga yang penuh kesenangan itu bersifat simbolik meski memiliki replika atas realitas dan kondisi kesuburan, kemakmuran dan kedamaian dalam sebuah tatanan masyarakat. Kesenangan ini diwujudkan dari hasil kebudayaan dan pengetahuan manusia yang membawa kebahagiaan dan ketentraman orang-orang yang tinggal dalam komunitas surga tersebut, bukannya hasil campur tangan gaib dan mukjizati.
Dari uraian singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan surga, Taman Eden dan jannah itu bukanlah sebuah tempat yang bersifat ekstra-terrestrial atau di atas langit tetapi merupakan simbol bagi sebuah komunitas manusia, tempat Adam dan Hawa tinggal, yang terletak di daratan bumi. Penciptaan Adam dari tanah adalah simbol yang mengisyaratkan kalau ia adalah makhluk yang tinggal di bumi, dan keberadaannya menggambarkan manusia pada saat itu sudah mulai menguasai alam, dengan mengolah tanah dan menundukkan binatang dengan beternak. Hal ini ditegaskan oleh Taurat yang mengatakan; “Penuhilah

