Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa sebagian ulama kontemporer melarang keras kegiatan demonstrasi yang merugikan, karena mudarat yang ditimbulkan lebih besar dibandingkan manfaat yang diperoleh.
Demonstrasi sejatinya bersifat sebagai sarana, bukan tujuan. Fungsi utamanya adalah untuk menyampaikan aspirasi kepada pihak berwenang terkait pemenuhan kewajiban atau hak rakyat. Hukum suatu sarana sangat bergantung pada hukum tujuan yang ingin dicapai.
Apabila tujuan tersebut bertentangan dengan syariat, maka sarana yang digunakan untuk mencapainya pun menjadi terlarang. Sebaliknya, jika tujuan tersebut sesuai dengan syariat, maka sarana tersebut dapat diperbolehkan selama tidak melanggar aturan Islam.
Dengan prinsip ini, apabila demonstrasi digunakan untuk menuntut sesuatu yang jelas bertentangan dengan syariat, maka aksi tersebut hukumnya dilarang. Selain itu, demonstrasi yang dilakukan dengan cara-cara yang melanggar syariat—seperti perusakan, penjarahan, atau tindak kejahatan lainnya—juga dilarang.
Walaupun tujuan aksi tersebut dianggap baik secara syariat, misalnya untuk menegakkan keadilan, hal itu tidak membenarkan penggunaan sarana yang dilarang oleh Islam. Prinsip ini menegaskan bahwa ketaatan terhadap syariat berlaku baik pada tujuan maupun pada cara yang ditempuh untuk mencapainya.
Ketika seorang muslim hendak melakukan aksi unjuk rasa, terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan agar kegiatan tersebut tetap berada dalam koridor syariat Islam, hukum yang berlaku, serta nilai-nilai moral. Untuk memudahkan pemahaman, penulis akan mengurutkannya dengan metode pentahapan.
Tahap Pertama: Muhasabah Diri dengan Bertobat
Jika yang terjadi adalah pemerintah berlaku tidak adil dan sewenang-wenang terhadap rakyatnya, maka hal yang paling mendasar dilakukan oleh seorang muslim adalah bertobat kepada Allah SWT. Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk taat kepada pemerintah selama pemerintah tersebut tidak menyimpang dari syariat.
Oleh karena itu, menurut Imam Al-Muzanī dalam Syarḥ al-Sunnah seorang muslim tidak diperbolehkan memberontak ketika pemerintah bertindak sewenang-wenang dan zalim. Sebaliknya, seorang muslim harus bertobat kepada Allah agar Dia bersikap lembut kepada rakyatnya.
Hal ini disebabkan adanya penguasa yang zalim kepada rakyatnya, bisa jadi rakyatnya juga berlaku zalim, baik kepada Allah, diri sendiri, atau sesamanya. Oleh karena itu, ia harus bertobat terlebih dahulu memperbaiki diri dan keluarga, dan mendakwahi orang-orang sekitar, sampai kebaikan tersebar. Allah SWT berfirman dalam surah Al-An’am, ayat 129:
وَكَذٰلِكَ نُوَلِّيْ بَعْضَ الظّٰلِمِيْنَ بَعْضًاۢ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ ࣖ
Demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang zalim berteman dengan sebagian lainnya, sebagai balasan atas apa yang selalu mereka kerjakan.
Para ulama berbeda-beda dalam memahami penggalan وَكَذٰلِكَ نُوَلِّيْ بَعْضَ الظّٰلِمِيْنَ بَعْضًاۢ. Imam Ibnu Jauzi dalam Zād al-Masīr merangkum pemahaman mereka menjadi empat, yaitu: Pertama, Kami jadikan sebagian mereka sebagai penolong bagi sebagian yang lain. Kedua, Kami ikutkan sebagian mereka dengan sebagian yang lain di neraka karena amal perbuatan mereka berupa saling loyal, yakni saling mengikuti. Ketiga, Kami kuasakan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Keempat, Kami biarkan sebagian mereka kepada sebagian yang lain tanpa memberi pertolongan.
Sementara itu, penggalan بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ dipahami sebagai kemaksiatan atau segala bentuk kejahatan yang melanggar norma agama dan masyarakat.
Berdasarkan ayat ini, dalam konteks hubungan antara pemerintah dan rakyatnya, para ulama seperti Imam Al-Qurthubi, Imam Fakhruddin Al-Razi, hingga Syekh Wahbah Al-Zuhayli berpendapat bahwa, apabila rakyat berbuat zalim, maka Allah SWT akan menguasakan atas mereka seorang penguasa yang zalim seperti mereka. Jika mereka ingin terbebas dari penguasa zalim tersebut, maka hendaklah mereka meninggalkan kezaliman. Hal ini merupakan ancaman bagi setiap orang yang berbuat zalim: apabila ia tidak menghentikan kezalimannya, Allah akan menimpakan kepadanya orang zalim yang lain.
Ayat ini mencakup semua bentuk kezaliman, baik seseorang menzalimi dirinya sendiri, menzalimi rakyat, pedagang yang menzalimi orang lain dalam perniagaannya, pencuri, dan lain sebagainya. Dengan demikian, jelaslah bahwa kapan saja rakyat hidup dalam kezaliman, Allah SWT akan menimpakan atas mereka pemimpin yang zalim, dan jalan untuk terbebas darinya hanyalah dengan meninggalkan kezaliman itu sendiri.
Dengan demikian, apabila seseorang merasa diperlakukan secara zalim oleh pemerintah, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah melakukan muhāsabah (introspeksi diri). Bisa jadi kezaliman tersebut merupakan cerminan dari perilaku zalim yang juga dilakukan oleh masyarakat, baik berupa kemaksiatan kepada Allah maupun perbuatan yang merugikan dan menyakiti sesama manusia. Tidak menutup kemungkinan pula bahwa di lingkungan masyarakat terdapat banyak praktik kezaliman dan kemaksiatan yang dibiarkan tanpa adanya upaya perbaikan.
Dalam kondisi demikian, tuntutan yang muncul bagi kaum muslimin adalah untuk meningkatkan dakwah, saling menasihati dalam kebaikan, serta berupaya mengajak masyarakat kembali kepada nilai-nilai keadilan dan ketaatan kepada Allah.
Ayat dengan segala penjelasan dari para ulama dapat digunakan untuk menjelaskan hadits Nabi Saw. tentang larangan melakukan pemberontakan kepada pemerintah yang sah.
Dari ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ ». قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ « لاَ مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلاَةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian. kalian mendoakan mereka dan mereka pun mendoakan kalian. Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka pun membenci kalian, juga kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” Kemudian ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah kita memerangi mereka saja dengan pedang?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kalian benci, maka bencilah amalannya, namun tetap taat pada mereka.” (HR. Muslim)
Ketika masyarakat mengadukan ketidakpuasan mereka kepada sahabat Abdullah bin Masud terhadap kebijakan al-Walīd ibn ʿUqbah, beliau menasihati agar mereka bersabar.
اصبِرُوا فإنَّ جَوْرَ إمامِكم خمسين سنةً خيرٌ من هَرْجِ شهرٍ فإني سمعتُ رسولَ اللهِ ﷺ يقول… فذكر حديثًا والإمارةُ الفاجرةُ خيرٌ من الهَرْجِ.
“Bersabarlah kalian! Sesungguhnya kezhaliman pemimpin kalian selama lima puluh tahun masih lebih baik daripada kekacauan (al-harj) selama satu bulan. Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda … Sesungguhnya kepemimpinan yang fajir (zalim) masih lebih baik daripada terjadinya al-harj.”
Tahap Kedua: Menasihati Pemerintah dengan Lemah Lembut atas Dasar Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Jika setelah menjalani tahap pertama keadaan tetap tidak berubah—yakni pemerintah belum juga memperbaiki kebijakannya yang tidak adil dan tidak berpihak kepada rakyat—maka diperlukan langkah berikutnya, yaitu melakukan amar ma‘ruf nahi munkar dengan cara yang lemah lembut.
Bentuk dari amar ma‘ruf nahi munkar ini adalah memberikan kritik dan masukan kepada pemerintah dengan cara yang baik, tanpa melanggar norma agama maupun norma masyarakat. Misalnya, apabila dilakukan melalui pembicaraan atau tulisan, hendaknya disampaikan dengan bahasa yang santun, beretika, dan penuh tata krama.
Bentuk lain dari amar ma‘ruf nahi munkar adalah dengan menunjuk perwakilan dari masyarakat yang dapat menyuarakan aspirasi, perasaan, serta kondisi yang sedang dialami masyarakat akibat kebijakan pemerintah yang tidak adil. Perwakilan tersebut kemudian melakukan dialog langsung (empat mata) dengan pihak berwenang, menggunakan bahasa yang santun, beretika, dan penuh tata krama.
Diriwayatkan bahwa seorang A‘rābī (Badui) datang menghadap Khalifah Hishām ibn ʿAbd al-Malik. Ia berkata:
“Wahai Amīrul-Mu’minīn, engkau telah memerintah kami selama tiga tahun. Pada tahun pertama, engkau melelehkan lemak kami; pada tahun kedua, engkau memakan daging kami; dan pada tahun ketiga, engkau mengisap tulang kami. Padahal, engkau memiliki kelebihan harta. Jika harta itu milik Allah, maka sebarkanlah kepada hamba-hamba-Nya. Jika milik rakyat, mengapa engkau menahannya dari mereka? Dan jika itu milikmu, maka bersedekahlah dengannya, sebab Allah mencintai orang-orang yang bersedekah.”
Mendengar hal itu, Hishām bertanya: “Apakah ada kebutuhan lain, wahai A‘rābī?”
Ia menjawab: “Tidak. Demi Allah, aku tidak menempuh perjalanan jauh, memacu unta hingga pecah punggungnya, menahan panas siang, dan menembus gelap malam demi kepentingan pribadi, melainkan demi kepentingan umum.”
Mendengar keberanian itu, Hishām kemudian memerintahkan agar sejumlah harta dibagikan kepada masyarakat, dan memberikan sebagian harta kepada si A‘rābī, yang kemudian dibagikannya lagi kepada kaumnya.
Mengapa pada tahap kedua ini harus dilakukan dengan lemah lembut? Imam Al-Ghazali dalam Ihya’-nya menjawab bahwa, kewajiban amar ma‘rūf nahi munkar terhadap penguasa dibatasi pada memberi pengertian (ta‘rīf) dan memberi nasihat (wa‘zh). Adapun bentuk pencegahan dengan kekuatan atau pemaksaan bukanlah wewenang rakyat terhadap penguasa, sebab hal itu justru dapat memicu fitnah, menimbulkan kekacauan, serta menghasilkan dampak buruk yang lebih besar dibandingkan kemaslahatan yang diharapkan.
raḍiyallāhu ‘anhu, ia berkata: Telah ditanyakan kepada Rasulullah Saw. tentang seseorang yang berperang karena keberanian, seseorang yang berperang karena fanatisme, dan seseorang yang berperang karena ingin dipuji; manakah di antara itu yang (termasuk berperang) di jalan Allah? Rasulullah Saw. menjawab: “Barang siapa berperang agar kalimat Allah menjadi yang tertinggi, maka itulah yang berada di jalan Allah.”
Syaikh Muhammad Ali bin ‘Allan As-Shiddiqi menjelaskan, yang merupakan bagian dari meninggikan kalimat Allah adalah berperang untuk mencari pahala akhirat atau demi meraih rida Allah. Jihad di jalan Allah merupakan jihad yang bersumber dari kekuatan akal, bukan dari dorongan amarah atau syahwat.
Yang dimaksud dengan Kalimat Allah dalam hadis tersebut adalah agama Islam. Salah satu ajaran pokok Islam adalah menegakkan keadilan di muka bumi. Dengan demikian, aksi demonstrasi yang dilakukan dengan niat untuk meninggikan Kalimat Allah dapat dipahami pula sebagai bagian dari upaya menegakkan keadilan.

