Untuk hal ini, Prasasti Center for Policy Studies menghitung total kerugian material yang ditimbulkan sepanjang aksi tersebut mencapai Rp1,2 triliun.(www.liputan6.com, 4/9/2025).
Namun di balik jatuhnya korban jiwa dan kerugian materi tersebut, muncul dan berkembang spekulasi, termasuk dugaan keterlibatan kelompok radikal dan terorisme dalam aksi demonstrasi yang dikenal dengan Agustus kelabu. Hal ini dilontarkan langsung Presiden Prabowo Subianto yang mengatakan bahwa ada upaya tindakan melawan hukum yang mengarah kepada makar dan terorisme dalam aksi demonstrasi yang berujung ricuh tersebut. (www.tempo.co, 31/8/2025).
Dugaan tersebut tentu bukan main-main apalagi jika upaya makar dan tindakan terorisme menjadi kenyataan yang bisa mengubah situasi negara. Lalu, benarkah ada tindakan terorisme hingga upaya makar dalam aksi rakyat tersebut?
Namun, sebagai rakyat jelata yang masih waras yang menghargai akurasi dan integritas jurnalistik, kita harus mendasarkan analisis pada fakta-fakta yang terverifikasi, bukan pada asumsi atau klaim yang tidak didukung bukti.
Fakta-Fakta yang Terverifikasi
Berdasarkan data resmi dari Komnas HAM, gelombang demonstrasi sejak 25 Agustus hingga awal September 2025 telah menewaskan 10 orang dan melukai ratusan lainnya di seluruh Indonesia. Komnas HAM mencatat sebanyak 1.683 peserta aksi ditahan di Polda Metro Jaya, dengan kerusakan material yang signifikan pada fasilitas publik dan properti pribadi. (www.katadata.id, 4/9/2025)
Namun yang terpenting untuk dicatat adalah pernyataan resmi dari Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra yang menegaskan: “Dari 68 orang yang ditahan, tidak satupun yang diperiksa dengan sangkaan tindak pidana makar dan terorisme.” (www.kompas.com, 9/9/2025).
Pernyataan Yusril ini bisa dianggap langsung mematahkan pernyataan Presiden Prabowo diakhir Agustus 2025 lalu. Sebab, pernyataan Prabowo dianggap tidak berdasar pada data dan fakta dilapangan dan dianggap hanya respon spontan.
Analisis tanpa Bias
Meskipun Presiden Prabowo Subianto menyatakan adanya “tanda-tanda pelanggaran hukum, bahkan unsur-unsur makar dan terorisme,” pernyataan ini dibuat tanpa menyajikan bukti konkret kepada publik. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, bahkan mengkritik pemerintah karena “berlebihan dalam melabeli aksi unjuk rasa dengan tuduhan makar dan terorisme.” (www.tirto.id, 2/9/2025)
Pernyataan Probowo ini juga banyak mendapat kritik dari sejumlah pengamat yang menilai terlalu dini menyimpulkan adanya unsur makar hingga terorisme. Padahal seorang presiden memiliki sejumlah staf ahli dan segudang informasi dari para pembantunya.
Kejanggalan yang Perlu Dicermati
Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, mengungkapkan kecurigaan terhadap kelompok yang “memancing di air keruh” dan “memanfaatkan situasi ketegangan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dengan menyulut provokasi.” Namun, penting untuk membedakan antara provokator oportunis dengan kelompok teroris yang terorganisir. (www.kompas.com, 3/9/2025).
Memang harus diakui, aksi demonstrasi akhir Agustus lalu banyak penumpang gelap yang ikut dalam gerbong gelombang aksi tersebut. Salah satunya yakni dengan insiden penjarahan rumah milik anggota DPR (Sahroni, Uya Kuya, Eko Patrio ) hingga rumah Menkeu Sri Mulyani. Hal ini mudah ditebak, sebab rasanya janggal jika perserta demonstrasi yang mayoritas mahasiswa dan ojol tersebut ada agenda penjarahan.
Pentingnya Verifikasi
Sebagai masyarakat yang cerdas, kita harus menolak narasi-narasi yang tidak berdasarkan fakta. Tuduhan keterlibatan kelompok radikal dan terorisme tanpa bukti yang kuat hanya akan memperkeruh situasi dan mengalihkan perhatian dari isu-isu substantif yang diangkat oleh demonstran.
Tragedi yang menimpa Affan Kurniawan dan korban lainnya adalah fakta yang tidak dapat dibantah. Namun, menghubungkan kematian mereka dengan agenda terorisme tanpa investigasi menyeluruh justru akan menodai memori mereka dan mengaburkan tuntutan keadilan yang sebenarnya.
Tanggung Jawab Media
Media juga hendaknya berkomitmen untuk menyajikan analisis berdasarkan bukti, bukan spekulasi. Meskipun ada berita tentang keterlibatan kelompok radikal dan terorisme, integritas jurnalistik mengharuskan berlaku obyektif dan menolak menyebarkan informasi yang tidak dapat diverifikasi.
Demonstrasi Agustus 2025 adalah peristiwa kompleks yang melibatkan aspirasi legitim masyarakat, respons berlebihan aparat, serta kemungkinan infiltrasi kelompok oportunis. Namun, tanpa bukti konkret, kita tidak dapat menyimpulkan adanya keterlibatan kelompok teroris atau radikal yang terorganisir.
Mari kita fokus pada fakta: ada masalah struktural dalam tata kelola negara yang memicu kemarahan rakyat, dan ada kebutuhan mendesak untuk reformasi sistemik yang menyeluruh. Bukan malah menyalahkan rakyat. Wallahu’ alam bishshawab.[]
Suwandi, Jurnalis dan Pengamat Sosial Politik

