Jakarta,detiksatu.com _Dengan perasaan yang sedih dan gundah gulana serta terlihat raut wajah yang tampak letih, Rasulullah Saw pun masuk ke kemahnya. Sang istri (Ummu Salamah ra) yang sedang di dalam kemah pun kaget, tak biasanya Rasulullah menampakkan raut wajah seperti itu. Ia pun mengerti, pasti ada sesuatu yang membuat Beliau sedih
Dihampirinyalah sang suami, lalu dengan lemah lembut ia pun bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu bersedih?”
Rasulullah pun bercerita bahwa para sahabat kecewa dengan klausal-klausal Perjanjian Hudaibiyyah sehingga mereka enggan melaksanakan perintahnya. Klausul-klausul yang membuat para sahabat kecewa di antaranya, (1) umat Islam tidak boleh umrah tahun itu, padahal mereka sudah mengenakan ihram, (2) jika ada orang Quraisy yang lari ke Madinah, harus dikembalikan, (3) tapi jika ada Muslim yang kembali ke Mekah, Quraisy tidak wajib mengembalikannya.
Padahal, mereka berangkat dari Yatsrib (Madinah) dengan semangat yang menyala, berharap bisa memuliakan Baitullah dan menunaikan umrah. Namun, apa yang terjadi?
Umar bin Khattab ra yang terkenal tegas dan pemberani pun tak mampu menahan gejolak hatinya. Dengan mata berapi-api, ia berkata, “Wahai Rasulullah, bukankah engkau benar-benar Nabi Allah?”
Rasulullah Saw menjawab, “Benar.”
Umar berkata lagi, “Bukankah kita berada di pihak yang benar dan mereka di pihak yang batil?”
Rasulullah Saw menatapnya dengan tenang, “Benar.”
Lalu, Umar melanjutkan dengan dada yang sesak, “Mengapa kita menerima perjanjian yang merendahkan agama kita?”
Rasulullah Saw pun menatap Umar dengan penuh kelembutan, lalu menjawab dengan kalimat yang menyejukkan hati, “Aku adalah utusan Allah. Dia tidak akan menyia-nyiakan aku.” (HR Bukhari dan Muslim).
Meskipun sabda itu menenangkan, tetap saja hati para sahabat masih terasa berat. Ketika Rasulullah Saw memerintahkan mereka untuk menyembelih hewan kurban dan mencukur rambut, tidak satu pun dari mereka bergerak. Mereka diam, terpaku, seolah tak sanggup menerima kenyataan pahit itu. Itulah yang terjadi. Semuanya diceritakan kepada Ummu Salamah.
Dengan bijaksana, sang istri yang bernama asli Hindun binti Abu Umayyah Hudzafah bin al-Hughirah al-Qurasisyiyah al-Makhzumiyah mengusulkan kepada Rasulullah Saw agar beliau sendiri yang memulai untuk mengorbankan hewan kurban pertama kali dan memanggil tukang cukur untuk mencukur sebagian rambut beliau.
“Wahai Rasulullah, kaum Muslimin tidak akan menentangmu. Sesungguhnya mereka sangat bersemangat untuk berperang karena agama dan iman mereka kepada Allah SWT dan risalahmu. Karena itu, bercukurlah dan bertahallul-lah, niscaya engkau akan menemukan kaum Muslimin mengikutimu. Kemudian kita kembali ke Madinah bersama mereka.”
Rasulullah Saw pun mengikuti saran putri dari Abu Umayyah bin Mughirah dari Bani Makhzum dan Atikah binti Amir bin Rabi’ah dari Bani Firas bin Ghanam itu. Beliau kemudian mencukur rambut sebagai penutup umrah. Jiwanya pun penuh ketenangan dan ridha. Benar saja, ketika para sahabat melihat Rasulullah melakukan hal tersebut, mereka pun segera berbondong-bondong menyembelih hewan kurban dan mencukur rambut mereka sambil menahan air mata.
Namun, tangisan pun tak terbendung. Air mata jatuh membasahi pasir Hudaibiyyah. Kekecewaan berganti dengan ketundukan. Mereka paham, perintah Rasulullah Saw adalah perintah Allah, dan ketaatan adalah kunci keberkahan dan kemenangan besar di kemudian hari. Setelah itu, Rasulullah Saw dan para sahabat pun kembali ke Madinah.
Peran Luar Biasa
Usulan wanita yang lahir sekitar 580 atau 596 M memang tepat sasaran. Pasalnya Ummu Salamah tahu persis karakter para sahabat karena selalu mengamatinya. Ia yakin, para sahabat akan selalu mengikuti apa pun yang dilakukan Rasulullah Saw tanpa ragu sedikit pun. Dan ternyata benar adanya.
Sungguh peran yang luar biasa. Di balik kekuatan Rasulullah Saw, ada seorang Ummu Salamah yang menjadi sandaran hati. Seorang istri yang menenangkan, menguatkan, dan memberi nasihat penuh cinta. Begitu juga, keteladanan lebih kuat daripada sekadar kata-kata. Rasulullah Saw tidak berdebat dengan para sahabat. Atas saran Ummu Salamah, Beliau menunjukkan dengan tindakan, dan tindakan itu ternyata menumbuhkan ketaatan.
Tak hanya itu, Ummu Salamah pun pun mampu menenangkan Rasulullah Saw dan membuat para sahabat juga yakin Rasulullah Saw semata-mata menaati perintah Allah untuk kemenangan kaum Muslim. Sebenarnya, Rasulullah Saw datang ke Makkah dengan niat untuk Ihram dan melakukan perjanjian dengan kafir Quraisy merupakan tanda kemenangan kaum Muslimin yang amat nyata, karena mampu menggagalkan rencana jahat Yahudi Khaibar yang bersekongkol dengan kafir Quraisy untuk memerangi kaum Muslim.
Tak hanya itu, kondisi seperti itu bisa mendukung tersebarnya dakwah Islam di seluruh penjuru Bangsa Arab umumnya, dan di Makkkah kepada kafir Quraisy khususnya. Sehingga dakwah Islam pun semakin kuat. Hal ini menjadikan kepercayaan kaum Muslim kepada Rasulullah Saw, menunjukkan kekuatan iman kaum Muslim dalam menghadapi bahaya serta tak takut mati dan mereka senantiasa akan ada untuk Islam. Sehingga di tengah perjalanan pulang (Rasulullah Saw dengan para sahabat) ke Madinah, turunlah surah al-Fath (kemenangan) kepada Rasulullah Saw. Beliau pun membacakannya dari awal hingga akhir.
Kisah Pernikahan Ummu Salamah
Peran Ummu Salamah yang luar biasa tentunya tak lepas dari keimanan kepada Allah SWT yang sangat luar biasa. Tak heran kalau Ummu Salamah ditakdirkan menjadi istri orang yang paling baik sedunia yakni Rasulullah Saw setelah suaminya, yakni Abu Salamah meninggal dunia.
Ummu Salamah dan suaminya adalah sepasang Muslim yang keimanannya yang sangat kuat dan memiliki peran penting dalam mendakwahkan Islam. Mereka pernah ikut hijrah sebanyak dua kali. Keduanya pernah terlibat dalam peristiwa hijrah ke Habasyah bersama sahabat yang lainnya demi menyelamatkan akidah dari kaum musyrikin. Mereka sempat kembali ke Makkah lalu hijrah ke Madinah bersama Rasulullah dan Muslim yang lainnya. Sang suami juga termasuk sosok sahabat Nabi yang aktif terlibat dalam peperangan demi menegakkan agama Allah (Ali Muhammad ash-Shallabi, As-Sîrah an-Nabawiyah, 2008: 543).
Sosok Ummu Salamah juga merupakan seorang istri yang sangat patuh dan mencintai suaminya. Dikisahkan, sekali waktu ia berkata kepada suaminya, “Aku pernah mendengar, seorang istri yang ditinggal mati suaminya akan mendapat balasan surga. Dan jika ia tidak menikah lagi (sepeninggal suaminya), maka Allah akan mengumpulkan keduanya di surga kelak. Oleh karena itu, aku berjanji tidak akan menikah lagi setelah engkau tiada.”
Mendengar ucapan istrinya itu, Abu Salamah berkata dengan nada tidak setuju, “Apakah kau mau mematuhiku?”
“Tentu,” jawab Ummu Salamah.
“Jika aku sudah meninggal, menikahlah,” pinta Abu Salamah.
Abu Salamah pun berdoa untuk istrinya, “Ya Allah, berilah Ummu Salamah sepeninggalku sosok suami yang lebih baik dariku, yang tidak membuatnya sedih dan tidak menyakitinya.”
Setelah suaminya meninggal, Ummu Salamah berkata, “Siapa laki-laki yang lebih baik dari Abu Salamah?”
Tidak lama kemudian Rasulullah Saw sambil berdiri di depan pintu menyatakan pinangannya kepada keponakan atau anak Ummu Salamah.
Menanggapi hal itu, Ummu Salamah berkata, “Aku akan mendatangi Rasulullah sendiri, atau bersama keluargaku.” Keesokan harinya Rasulullah melamarnya.
Dalam satu riwayat dijelaskan, setelah suaminya meninggal, Ummu Salamah mendatangi ke Rasulullah. Ummu Salamah kemudian diperintahkan untuk berdoa yang baik-baik untuk suaminya, sebab ucapannya akan diaminkan oleh malaikat. Ummu Salamah kemudian berdoa sesuai yang diajarkan Rasulullah, “Ya Allah, ampunilah aku dan dia (Abu Salamah) dan berilah aku atas kematiannya itu dengan ganti yang lebih baik.”
Doanya kemudian dikabulkan oleh Allah SWT. Dan ia memperoleh pengganti yang lebih baik dari suaminya, yaitu Rasulullah Saw. [dari berbagai sumber]
Siti Aisyah, Koordinator Kepenulisan Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok.