Natalius Pigai: Suara dari Bukit BatuDari Paniai ke Udayana, dari luka ke peradaban

Redaksi
Oktober 24, 2025 | Oktober 24, 2025 WIB Last Updated 2025-10-24T14:20:38Z
detiksatu.com _ Jakarta _Suara dari Bukit Batu
Dari Paniai ke Udayana, dari luka ke peradaban

Essai Mahar Prastowo


Dari jauh ia datang. Dari bukit-bukit yang batu dan rumputnya tumbuh di antara kabut Paniai.
Seorang anak yang lahir pada hari Natal, 25 Desember 1975, di sebuah tanah yang lebih sering diingat karena luka daripada harapan.
Namanya *Natalius Pigai.*

Kini, bertahun-tahun setelah ia berjuang menembus batas kemiskinan dan stigma, dunia menyapanya dengan panggilan baru: *Menteri Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.*
Tetapi di balik gelar panjang itu, ia tetap seorang anak gunung yang membawa satu keyakinan: bahwa kemanusiaan bukan wacana, melainkan napas yang harus dijaga setiap hari.



Hari Itu di Bali

Langit Denpasar masih muda ketika langkah Pigai tiba di Universitas Udayana.
Ia tidak membawa map penuh pasal, tidak juga naskah pidato panjang.
Ia hanya menggenggam selembar *poster sederhana*.
Di situ tertulis:

“Stop Bullying — Bullying bukan tanda hebat, justru tanda hati yang lemah. Stop bully, mulai menghargai perasaan orang lain.”

Kata-kata itu mungkin tampak kecil.
Tapi bagi Pigai, kalimat itu adalah jerit panjang dari masa kecilnya — masa ketika anak-anak Papua harus menelan ejekan hanya karena warna kulitnya, ketika pendidikan adalah hak yang harus diperjuangkan dengan darah.

Ia mengangkat poster itu tinggi-tinggi, seperti bendera.
Dan di hadapan mahasiswa yang berdiri setengah heran, setengah kagum, ia berkata pelan tapi tegas:

“Bullying ini bukan soal Unud. Ini soal Indonesia. Tolong bantu Indonesia membangun peradaban.”



Peradaban

Kata itu — peradaban— bergema di ruang-ruang kuliah yang biasanya hanya bicara teori.
Ia bicara tentang bangsa, tapi dengan bahasa hati.
Ia bicara tentang hukum, tapi dengan wajah manusia.

Dalam dirinya, hak asasi bukan milik konferensi internasional, bukan pula milik kelompok akademisi.
Hak asasi adalah ketika seorang anak bisa sekolah tanpa diejek.
Ketika seorang mahasiswa tidak perlu takut pada seniornya.
Ketika seorang manusia bisa berdiri tegak tanpa merasa hina karena berbeda.

Pigai tahu, peradaban tak lahir dari teknologi.
Peradaban lahir dari *rasa malu ketika menyakiti sesama*.
Dan rasa malu itu — seperti kata Pram dalam *Bumi Manusia* — hanya mungkin tumbuh di antara orang yang belajar berpikir dan mencintai pada waktu yang sama.


Dari Lembah ke Kementerian

Ia tidak dibesarkan oleh sistem. Ia dibesarkan oleh perlawanan.
Dari APMD Yogyakarta, ia menapaki jalan aktivisme: Komnas HAM, lembaga-lembaga sosial, hingga akhirnya duduk di kursi yang dulu ia kritik.
Dan ketika banyak orang meragukan apakah seorang anak Papua bisa mengurus urusan HAM se-Indonesia, Pigai menjawab bukan dengan debat, tapi dengan kerja.

Ia mengubah definisi HAM menjadi sesuatu yang sederhana:
*Hak untuk menjadi manusia tanpa takut.*
Ia memperjuangkan agar korupsi diakui sebagai pelanggaran HAM — karena korupsi, katanya, adalah bentuk paling halus dari kekerasan terhadap rakyat kecil.

Ia berbicara tentang *hak yang paling dasar*: hak hidup, hak belajar, hak untuk tidak dipermalukan.
Ia menolak menjadikan HAM sekadar laporan tahunan.



Poster Itu Jadi Cermin

Ada saatnya bangsa ini terlalu sibuk dengan gedung tinggi dan jalan tol baru, tapi lupa membangun jembatan di hati manusia.
Dan Pigai — dengan poster kecil di tangan — seolah ingin mengingatkan:
Tak ada gunanya modernitas tanpa kemanusiaan.

Di kampus Udayana, ia tidak hanya menyeru mahasiswa untuk berhenti membully.
Ia sedang menulis bab kecil dalam sejarah bangsa: bab tentang *peradaban yang dimulai dari ruang kelas.*


Manusia dan Luka

Di wajah Pigai, tersimpan banyak cerita luka bangsa ini.
Ia tahu bagaimana rasanya menjadi minoritas di negeri sendiri.
Ia tahu bagaimana hukum bisa jadi alat kekuasaan.
Dan ia tahu, bagaimana pendidikan — yang seharusnya membebaskan — justru kadang melahirkan kekerasan baru.

Tapi ia juga percaya: pendidikan adalah satu-satunya jalan yang bisa mengubah manusia tanpa menumpahkan darah.
Ia percaya bahwa di antara dinding-dinding kampus, masih ada ruang untuk mengajarkan rasa.

Karena itu ia datang, bukan sebagai pejabat, melainkan sebagai manusia yang ingin dunia ini lebih baik dari dunia yang ia temui saat lahir dulu.


Sebuah Negara dan Tanggung Jawabnya

Barangkali inilah momen langka di republik ini: ketika seorang menteri datang bukan untuk meresmikan gedung atau menandatangani proyek, melainkan untuk *mengangkat poster dan bicara hati.*

Ia tahu, HAM tidak bisa dijaga oleh undang-undang saja.
Ia hanya bisa dijaga oleh manusia yang sudah belajar untuk tidak melukai manusia lain.

Dan kampus — tempat seharusnya kecerdasan tumbuh — kini ditantang untuk juga menumbuhkan hati.



Suara Itu Akan Tetap Hidup

Ketika rombongan menteri meninggalkan kampus, dan mahasiswa kembali ke kelas, barangkali banyak yang tak sadar bahwa hari itu mereka menyaksikan sesuatu yang lebih besar dari seremoni.

Hari itu, seorang anak dari tanah jauh menanam bibit kecil: bibit kesadaran, bibit malu, bibit hormat.
Mungkin butuh waktu bertahun-tahun sebelum bibit itu tumbuh.
Tapi sejarah — sebagaimana yang diajarkan oleh Pram — selalu berpihak kepada mereka yang menanam, bukan yang membunuh harapan.



Penutup

Dari kampus ke kementerian, dari poster ke kebijakan, Pigai sedang menulis bab baru:
bahwa kemanusiaan tak lahir dari pasal, tapi dari keberanian mengakui kesalahan.
Bahwa hak asasi bukan slogan di spanduk, tapi cara manusia saling memandang.

Dan mungkin, di antara banyak pejabat yang datang dan pergi, nama Pigai akan diingat bukan karena jabatannya —
tetapi karena ia pernah mengangkat poster di kampus,
dan mengingatkan bangsa ini,
bahwa *peradaban dimulai dari menghargai sesama manusia.*

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Natalius Pigai: Suara dari Bukit BatuDari Paniai ke Udayana, dari luka ke peradaban

Trending Now

Iklan

iklan