Bencana: Sebab dan Penanganannya dalam Perspektif Islam

Redaksi
Desember 02, 2025 | Desember 02, 2025 WIB Last Updated 2025-12-02T07:11:06Z
Jakarta,detiksatu.com _Banjir bandang, longsor, dan bahkan angin puting beliung kembali melanda sejumlah wilayah di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh.

Berita duka bermunculan: warga terseret arus, rumah hanyut, keluarga mengungsi, dan sebagian korban belum berhasil dievakuasi karena akses yang terputus, curah hujan tinggi, serta medan yang menyulitkan.

Sementara itu, BNPB dan BPBD di berbagai daerah berjuang dengan segala keterbatasan peralatan kurang, personel terbatas, dan cuaca ekstrem yang tak bersahabat.

Sayangnya, tragedi seperti ini bukan pertama kali. Dari tahun ke tahun, bencana serupa berulang dengan pola yang sama: terjadi secara masif, menimbulkan banyak korban, tetapi penanganannya cenderung lamban dan bersifat insidental. Pemerintah mengerahkan bantuan, tim evakuasi diturunkan, logistik didistribusikan namun setelah semua mereda, penyebab mendasar tak banyak berubah.

Pertanyaannya: mengapa bencana terus berulang? Dan bagaimana Islam memandang realitas ini, tentu bukan hanya sebagai musibah alam, tetapi juga cermin dari cara manusia mengelola bumi.

Bukan Sekadar Fenomena Alam: Ada Tangan Manusia di Baliknya
Secara ilmiah maupun empiris, banjir dan longsor di banyak wilayah Indonesia bukanlah murni bencana alam. Keduanya sering kali merupakan akibat dari kerusakan hutan dan pembukaan lahan besar-besaran.

Tata ruang yang kacau dan penuh pelanggaran. Pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan. Ketamakan pelaku usaha yang mengejar keuntungan tanpa batas, hingga lemahnya pengawasan pemerintah dan inkonsistensi penegakan hukum

Apalagi Indonesia adalah negara dengan tingkat eksploitasi alam yang sangat tinggi. Penebangan hutan, pertambangan, konversi lahan, dan alih fungsi daerah serapan air menjadi kawasan industri terus terjadi. Ini belum termasuk praktik korupsi perizinan, kongkalikong proyek infrastruktur, serta pembangunan yang lebih berorientasi pada profit daripada keselamatan manusia.

Dengan kata lain, bencana seringkali bukan “bencana alam”, tetapi “bencana akibat ulah manusia”.

Islam jauh-jauh hari telah memperingatkan: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia…” (QS. Ar-Rum: 41)

Ayat ini tidak hanya menjelaskan fenomena spiritual, tetapi juga realitas ekologis. Ketika manusia tamak dan serakah, ketika mereka merusak keseimbangan (mizan) yang Allah tetapkan, kerusakan itu akan kembali kepada mereka dalam bentuk musibah.

Sistem Kapitalisme: Akar dari Ekspoitasi dan Kerusakan Lingkungan
Bila ditelusuri lebih dalam, banyak bencana ekologis berakar dari paradigma kapitalistik dalam mengatur ruang hidup dan sumber daya alam. Kapitalisme berwatak mengejar keuntungan tanpa batas. Menganggap alam sebagai komoditas. Mengorbankan hutan, sungai, dan tanah demi investasi. Mengutamakan pertumbuhan ekonomi sekalipun merusak ekologi, mendorong industrialisasi tanpa mitigasi


Akibatnya, muncul penambangan masif, perkebunan skala raksasa, pembangunan properti tanpa analisis dampak lingkungan yang ketat, dan infrastruktur yang memakan ruang konservasi.

Dalam perspektif Islam, ini merupakan bentuk penyimpangan yang sangat besar. Sebab dalam Islam, alam bukan objek yang boleh dieksploitasi semaunya, melainkan amanah dari Allah dan titipan bagi generasi mendatang. Kerusakan ekologis adalah bentuk pelanggaran serius terhadap amanah tersebut.

Islam secara tegas melarang tindakan yang membawa bahaya, baik terhadap manusia maupun lingkungan: “Tidak boleh menimbulkan bahaya dan tidak boleh membalas bahaya dengan bahaya…” (HR. Ibn Majah)

Sementara itu, model kapitalisme yang dijejalkan dalam pembangunan modern justru mendorong lahirnya kerusakan tersebut. Karena itu, tak heran bila bencana terus berulang: sistem yang melandasi kehidupan tidak berpihak pada keberlanjutan, tetapi pada keuntungan.

Penanganan Bencana: Lamban, Insidental, dan Tidak Menyentuh Akar Masalah
Selain penyebab struktural, penanganan bencana pun bermasalah. Di lapangan tampak:

Evakuasi terhambat, personel terbatas, akses sulit, peralatan minim.
Mitigasi lemah sosialisasi minim, kesadaran masyarakat rendah, infrastruktur pencegah bencana tak memadai.

Kebijakan tidak berkelanjutan fokus pada tanggap darurat, bukan pencegahan.
Koordinasi birokrasi lamban dan tumpang tindih kewenangan antara pusat, provinsi, dan daerah.


Minimnya investasi pada kesiapsiagaan padahal negara dengan ancaman bencana tinggi wajib punya sistem mitigasi yang mapan.


Ini menunjukkan bahwa negara belum menempatkan pengelolaan bencana sebagai prioritas strategis. Yang terjadi adalah pola “pemadam kebakaran”:

 bergerak ketika bencana sudah terjadi, tetapi kurang serius dalam mencegahnya.

Dalam pandangan Islam, kebijakan yang demikian mengabaikan amanah besar untuk menjaga nyawa rakyat. Negara, menurut ajaran Islam, wajib memastikan keselamatan jiwa warganya dengan cara membangun sistem mitigasi komprehensif, mengatur tata ruang yang aman, melindungi lingkungan dan menyiapkan mekanisme tanggap bencana yang cepat, terstruktur, dan memadai.

Paradigma Islam dalam Melihat Bencana: Ruhiyah dan Siyasiyah


Islam memberikan dua kerangka penting untuk memahami bencana:

Dimensi Ruhiyah (Spiritual)
Musibah adalah tanda kekuasaan Allah, pengingat, dan bentuk ujian. Namun ini tidak boleh dimaknai fatalistik. Islam tidak menganjurkan sikap pasrah yang menafikan ikhtiar. Justru Islam mengajarkan introspeksi moral, memperbaiki hubungan dengan Allah, menjauhi maksiat terhadap alam dan menegakkan etika sebagai khalifah di bumi. Dengan kata lain, bencana harus menjadi momentum untuk muhasabah.

Dimensi Siyasiyah (Politik)
Islam menegaskan bahwa pemimpin wajib mengelola ruang, alam, dan sumber daya berdasarkan prinsip adil, amanah,berkelanjutan, berorientasi keselamatan rakyat, dan menjaga keseimbangan ekologis.

Kerusakan lingkungan karena kelalaian pemerintah, apalagi pembiaran terhadap korporasi rakus, adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah kekuasaan.

Apa Solusi Islam terhadap Krisis Bencana?
1. Membangun Kesadaran Ruhiyah Masyarakat

Harus ditekankan bahwa merusak alam adalah dosa. Islam mengajarkan bahwa alam adalah makhluk Allah yang harus dijaga. Edukasi publik wajib ditingkatkan — baik dalam keluarga, sekolah, lembaga dakwah, maupun komunitas.

2. Mengakhiri Eksploitasi Kapitalistik terhadap Alam

Penataan ulang kebijakan lingkungan harus dilakukan berdasarkan nilai syariah mencegah bahaya (dar’u al-mafasid), mewujudkan kemaslahatan umum (maslahah ‘ammah), melindungi hak generasi mendatang, membatasi eksploitasi sumber daya secara ketat dan terukur. Islam menolak sistem ekonomi yang menghalalkan perusakan alam demi profit.

3. Negara Wajib Menyediakan Sistem Mitigasi Kuat dan Komprehensif

Mulai dari pemetaan risiko, peringatan dini, tata ruang ketat, rehabilitasi hutan, ifrastruktur perlindungan, edukasi kebencanaan di sekolah, hingga pembiayaan penanggulangan yang memadai. Negara tidak boleh hanya aktif saat bencana terjadi.

4. Tanggung Jawab dalam Pemulihan dan Penghidupan Kembali Korban

Pemerintah berkewajiban memberikan bantuan logistik layak, layanan kesehatandukungan psikologis, tempat tinggal sementara yang manusiawi dan pemulihan ekonomi sampai korban benar-benar pulih.

Ini bukan sekadar kebijakan, tetapi kewajiban syar’i untuk menjaga nyawa rakyat (hifzhun nafs).

Alhasil, Bencana sebagai Cermin dan Peringatan
Bencana banjir, longsor, dan berbagai musibah lain yang terus berulang seharusnya menjadi tamparan keras bagi kita semua. Kerusakan lingkungan yang terjadi bukanlah kebetulan; banyak di antaranya merupakan akibat dari keserakahan manusia, terutama dalam sistem yang menjadikan alam sebagai objek eksploitasi tanpa batas.

Islam menawarkan paradigma yang jauh lebih luhur: manusia adalah khalifah di muka bumi, bukan penguasa absolut atas bumi. Allah memberikan amanah, bukan memberikan izin merusak.

Saatnya kita menghentikan pendekatan pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi dan investasi, namun mengorbankan keselamatan rakyat dan keberlanjutan lingkungan. Bencana harus dilihat bukan sebagai takdir yang tak bisa dicegah, melainkan sebagai sinyal kuat bahwa tata kelola kita sedang salah arah.

Dengan kembali pada nilai-nilai Islam — keadilan, keseimbangan, tanggung jawab ekologis, dan amanah kepemimpinan — kita bisa membangun masa depan yang lebih aman, lebih berkelanjutan, dan lebih berkah. Wallahu’alam.[]

Ernadaa Rasyidah
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Bencana: Sebab dan Penanganannya dalam Perspektif Islam

Trending Now

Iklan

iklan