Berbeda dari festival pada umumnya, acara yang diinisiasi oleh Dinas Kebudayaan DKI Jakarta bersama IKJ serta masyarakat ini sengaja mengemas isu-isu lokal, serta menampilkan karya seni yang bisa dinikmati sekaligus menjadi media aspirasi.
Program ini sendiri merupakan bagian dari agenda besar untuk menyambut usia 500 tahun DKI Jakarta.
"Titik Temu ini kan ada di seluruh Jakarta, salah satunya di sini, dan nanti akan terus berkembang jadi 500 titik, sesuai dengan tema 500 tahun DKI di 2027," ujar Maharani, salah satu Tim Penggerak, saat diwawancarai.
Maharani menambahkan bahwa festival yang telah berlangsung di dua hari kepulaun seribu, bertempat Pulau Pramuka pada hari kemarim dan saat Malam ini di Pulau Panggang (23/11/2025) .
Festival ini merupakan ujung dari rangkaian diskusi terfokus (FGD) yang diadakan setiap pekan oleh Tim Penggerak bersama masyarakat. Dari diskusi tersebut, teridentifikasi isu krusial di Kepulauan Seribu, seperti di Pulau Panggang yakni persoalan pemukiman padat dan Pulau Pramuka yakni Tumpang tindih dermaga.
"Paling penting adalah masyarakat menyuarakan apa yang jadi masalah baik melalui media maupun melalui misalnya arak-arakan yang menggambarkan betapa segala macam. Intinya adalah bagaimana caranya kita tetap memperjuangkan hak-hak hidup, ruang hidup," tegasnya.
Selain itu, Nizar dari Tim Penggerak Kelurahan Pulau Panggang , menjelaskan bahwa festival ini diadakan menyambut arahan Wakil Gubernur untuk merancang Jakarta sebagai kota global yang tetap bertumpu pada kekuatan lokal.
"Sebenarnya kemarin arahan dari Pak Wagup menyambut Jakarta 500 tahun. Beliau ingin Jakarta sebagai kota global, tapi beliau ingin kota global itu ditopang dari kampung-kampung, bukan jadi kota metropolitan yang hanya berisi gedung-gedung," jelas Nizar.
"Jakarta bisa berkembang dengan kebudayaan lokal dan menciptakan sebuah keharmonisan. Karena kan Jakarta bukan cuma orang Betawi, kami di pulau etnisnya beda, beragam." Tuturnya juga.
Ia juga menyoroti keunikan konten acara. Kesenian yang ditampilkan di Titik Temu sengaja berasal dari isu-isu sosial yang berkembang di kalangan masyarakat, yang selama ini hanya dibahas di ruang-ruang tertutup.
"Kesenian yang ingin kita tampilkan sih berasal dari isu sosial ya. Kita ingin tampilkan dalam bentuk yang berbeda, dalam hal ini kan kesenian," ungkapnya.
Melalui beragam pertunjukan, termasuk tarian yang melestarikan budaya pulau seperti tarian nanam bubu dan nandur.
Untuk memperkuat semangat persatuan, festival ini turut mengadopsi tradisi lokal bernama "Berayanan". Nijar menjelaskan bahwa kata ini diambil dari bahasa Sunda (bagian dalam) yang sempat tergerus perkembangan zaman.
"Nama 'Berayanan' itu sendiri sih, kalau diartikan secara harfiah, kita datang, bawa makanan masing-masing dari rumah, kumpul, dan kita makan hasil yang kita bawa sambil ngobrol," tutup Nizar, menandakan bahwa festival ini adalah milik bersama yang dihidupi oleh partisipasi masyarakatnya.
Program "Titik Temu" direncanakan akan terus berlanjut dan berkembang ke pulau-pulau lain di Kepulauan Seribu pada tahun 2026.
Reporter: Nurul

