DetikSatu.com - BEKASI - Di tengah kenaikan harga pangan dan biaya hidup, profesi guru masih harus bertahan dengan pendapatan yang terasa seperti "bercanda." Dituntut mencerdaskan anak bangsa, namun apresiasi yang diterima jauh dari kata layak.
Ironi ini dialami Fajri (25), bukan nama sebenarnya, seorang guru muda di Kabupaten Bekasi. Kisahnya di salah satu sekolah swasta di sana bukan sekadar keluhan pribadi, melainkan cerminan dari masalah sistemik yang menjebak guru muda terdidik dalam lingkaran upah yang jauh di bawah standar minimum.
Tiga Tahun Mengajar, Gaji Tak Sampai Sepuluh Persen UMK
Fajri telah memasuki tahun ketiga mengajar di sebuah sekolah swasta, menjadikannya salah satu sumber penghasilan tetap untuk membiayai studinya.
"Sejak awal masuk, saya tahu ini akan berat, tapi saya tidak punya pilihan. Pekerjaan lain menuntut waktu penuh, sementara jam mengajar saya yang hanya tiga kali dalam seminggu memberinya kesempatan untuk kuliah," ujarnya, saat diwawancarai Detiksatu.com.
Ironi muncul ketika melihat upah yang ia terima. Selama tiga tahun mengajar, gaji Fajri hanya bertambah Rp 5.000 per tahun, dari Rp 35.000 per jam pelajaran (JP).
Dengan rata-rata 4 JP per minggu, pendapatannya sulit mencapai satu juta rupiah per bulan. Secara perhitungan, penghasilan bulanan Fajri hanya sekitar Rp 560.000 (Rp 35.000 x 4 JP x 4 minggu).
Angka ini sangat kontras jika dibandingkan dengan Upah Minimum Kabupaten (UMK) Bekasi tahun 2025 yang ditetapkan sebesar Rp 5.558.515,10. Penghasilan bulanan Fajri hanya sekitar 10% dari standar minimum tersebut.
"Uang Rp 35 ribu itu kadang hanya cukup untuk bensin pulang pergi dan makan siang. Sisanya harus ditutup dari hasil jual beli HP," tuturnya.
Untuk menambah pemasukan, Fajri terpaksa berdagang ponsel bekas dan mengambil tugas tambahan mengajar ekstrakurikuler demi mendapatkan honor tambahan. Ia mencintai profesinya sebagai guru Bahasa Inggris, tetapi ia sadar betul: "Saya mencintai mengajar, tapi saya tahu saya tidak bisa hidup hanya dari cinta itu."
Analisis Data: Kesenjangan Gaji dan Jebakan “Pilihan Terakhir”
Kisah Fajri merupakan manifestasi dari masalah struktural besar dalam dunia pendidikan dan ketenagakerjaan di Indonesia.
1. Ketiadaan Regulasi Upah Minimum Sekolah Swasta
Gaji rendah di sekolah swasta tak lepas dari mekanisme pendanaan yayasan yang mengandalkan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan iuran siswa.
Faktor yang memperparah kondisi ini adalah belum adanya aturan tegas yang mewajibkan sekolah swasta membayar guru setara UMK. Banyak yayasan khususnya yang memiliki iuran siswa rendah tidak memiliki kapasitas finansial untuk menaikkan gaji. Kondisi ini secara legal membiarkan kesenjangan upah yang dialami Fajri terus terjadi.
2. Dilema Lulusan Terdidik: "Pilihan Terpaksa" di Tengah Tingginya TPT
Kisah Fajri juga menggambarkan dilema generasi muda terdidik yang kesulitan mencari pekerjaan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2024 mencatat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) lulusan universitas masih berada di angka 5,25%.
Kondisi tersebut secara tidak langsung mendorong profesi guru diisi oleh mereka yang “terpaksa bekerja,” bukan semata “terpanggil.” Mereka adalah lulusan terbaik yang membutuhkan pekerjaan fleksibel untuk menopang pendidikan atau hidup, terlepas dari upah yang rendah.
3. Akses Kesejahteraan yang Terbatas
Guru muda seperti Fajri juga terpinggirkan dari akses kesejahteraan pemerintah: Mereka belum bisa mengikuti sertifikasi untuk mendapatkan Tunjangan Profesi Guru (TPG) karena masa kerja yang relatif singkat, Program ASN PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) cenderung memprioritaskan guru honorer dengan masa kerja yang lebih lama, membuat guru muda semakin kecil peluangnya untuk mendapatkan kepastian status dan gaji yang layak.
Ironi yang dialami Fajri mencerminkan tantangan besar bagi pemerintah. Kisah ini adalah pengingat bahwa masa depan anak bangsa sedang dipertaruhkan oleh sistem yang menggaji dedikasi tulus dengan upah yang terasa seperti lelucon. (Evan/Detiksatu.com)

