Pola ini bukan sekadar ekspresi kultural, melainkan bagian dari etika ulama dalam menjaga keutuhan jamaah (ḥifẓ al-jamā‘ah) sekaligus menegur penyimpangan kekuasaan tanpa merusak bangunan bersama.
Tulisan ini dimaksudkan sebagai opini akademik dengan pendekatan reflektif-analitis. Fokusnya bukan pada personalisasi konflik di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), melainkan pada pembacaan makna simbolik puisi ulama, relasinya dengan tata kelola organisasi, serta implikasinya bagi masa depan NU sebagai kekuatan keagamaan dan kebangsaan.
Puisi sebagai Tradisi Kritik Ulama
Dalam khazanah keilmuan Islam Nusantara, puisi sering berfungsi sebagai medium transmisi nilai dan kritik sosial. Sejak era ulama klasik hingga pesantren kontemporer, sastra religius digunakan untuk menyampaikan pesan etik tanpa harus menimbulkan resistensi terbuka. Hal ini sejalan dengan prinsip al-adab fawqa al-‘ilm—bahwa adab dan kebijaksanaan mendahului ekspresi pengetahuan.
Puisi yang disampaikan oleh Abuya Muhtadi bin Dimyati pada Oktober 2025 dapat dibaca dalam kerangka tersebut. Ia tidak berdiri sebagai teks estetis semata, tetapi sebagai simbol sosial-keagamaan yang mengandung kritik terhadap dinamika internal jam’iyyah. Istilah Baitul Wathwath yang digunakan dalam puisi itu membuka ruang tafsir mengenai adanya wilayah abu-abu dalam struktur kekuasaan organisasi.
Baitul Wathwath sebagai Metafora Kelembagaan
Dalam simbolisme Islam, kelelawar (wathwath) sering dipahami sebagai makhluk liminal—hidup di antara terang dan gelap. Ketika simbol ini ditempatkan dalam konteks organisasi keagamaan, ia dapat dimaknai sebagai metafora atas ruang kekuasaan yang kehilangan kejelasan orientasi etik. Bukan sepenuhnya gelap, tetapi juga tidak sepenuhnya berpihak pada nilai-nilai dasar jam’iyyah.
Secara kelembagaan, kondisi semacam ini berpotensi menimbulkan persoalan serius: pertama, kaburnya batas antara khidmah dan kepentingan pragmatis; kedua, melemahnya kepatuhan terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) sebagai norma tertinggi organisasi; dan ketiga, tergerusnya legitimasi moral NU di mata warga dan publik luas.
Karena itu, penegasan agar seluruh dinamika organisasi dikembalikan pada AD/ART NU memiliki makna yang lebih dalam daripada sekadar prosedur administratif. AD/ART berfungsi sebagai kontrak etik dan hukum (mīṯāq qānūnī wa akhlāqī) yang menjamin keberlangsungan jam’iyyah.
Dari Isyarat Simbolik ke Keputusan Struktural
Dalam perspektif sosiologi organisasi, isyarat simbolik dari otoritas moral sering kali mendahului perubahan atau ketegangan struktural. Terbitnya risalah rapat Syuriyah PBNU pasca peristiwa tersebut dapat dibaca sebagai artikulasi formal dari kegelisahan etik yang sebelumnya disampaikan secara kultural.
Keputusan-keputusan Syuriyah menunjukkan bahwa konflik internal NU tidak dapat direduksi menjadi persoalan individu. Ia mencerminkan benturan paradigma antara pemahaman jam’iyyah sebagai amanah keagamaan dan kecenderungan menjadikannya sebagai instrumen kekuasaan. Dalam konteks inilah peran Syuriyah sebagai penjaga nilai (ḥāris al-qiyam) menjadi sangat krusial.
Etika Kebangsaan dan Tanggung Jawab Sosial NU
Pesan ulama yang menekankan pentingnya menjaga negara harus dibaca dalam kerangka teologi sosial NU. Sejak awal berdirinya, NU menempatkan negara sebagai wadah sah untuk mewujudkan kemaslahatan bersama. Prinsip hubbul wathan minal iman—meskipun bersifat normatif-kultural—menjadi landasan etis bagi keterlibatan NU dalam menjaga stabilitas nasional.
Konflik internal yang berkepanjangan bukan hanya mengancam soliditas organisasi, tetapi juga berpotensi menurunkan daya ikat sosial NU di tengah masyarakat. Dalam konteks Indonesia yang plural dan rentan terhadap fragmentasi sosial, pelemahan otoritas moral NU dapat berdampak luas pada kehidupan kebangsaan.
Penutup
Tulisan ini tidak bertujuan menghakimi pihak mana pun, melainkan mengajak pembaca—khususnya warga NU—untuk membaca kembali isyarat ulama dengan kacamata akademik dan reflektif.
Puisi, simbol, dan keputusan struktural adalah teks sosial yang saling terkait, menggambarkan pergulatan antara nilai, kekuasaan, dan amanah kebangsaan.
Pertanyaan penting yang tersisa bukanlah siapa yang menang atau kalah dalam konflik internal, melainkan apakah NU mampu menjadikan momentum ini sebagai jalan pembenahan etik dan kelembagaan.
Masa depan NU, sebagai kekuatan keagamaan terbesar di Indonesia, sangat ditentukan oleh kemampuannya memilih terang nilai, bukan abu-abu kekuasaan.[]

