Jakarta _Di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh, di pagi ini tidak lagi dimulai dengan suara ayam atau adzan subuh, tapi suara sirene darurat dan tangis anak-anak yang kehilangan rumah dan keluarganya.
Sungai yang dulu menjadi identitas kampung kini berubah menjadi gelombang lumpur yang menenggelamkan jalan, jembatan, bahkan harapan. Orang-orang berlarian menyelamatkan diri sambil membawa apa pun yang sempat digapai, tas plastik, pakaian basah, atau sekedar selembar surat berharga yang mengapung di antara lumpur.
Di beberapa titik, warga berdiri menatap rumah yang hilang dan alam yang terberai dan kotor. Kepanikan, kesedihan berubah menjadi pandangan setiap orang. Para relawan berjuang tanpa tidur, sementara aparat masih mencoba menyatukan koordinasi di tengah kondisi yang berubah setiap jam.
Ironisnya, di tengah kekacauan alam ini, bayang-bayang kekacauan politik kekuasaan masa lalu juga ikut muncul ke permukaan. Publik masih sibuk membicarakan kasus-kasus korupsi yang belum selesai, penyelewengan kekuasaan yang membusuk bertahun-tahun, dan warisan kebijakan yang timpang.
Semua itu ikut menambah sesak, bencana ini seolah memperlihatkan bahwa kita bukan hanya menghadapi air bah, tetapi juga banjir masalah yang dibangun oleh ulah manusia sendiri.
Dalam suasana inilah Mutiara Hikmah (Selasa 2 Desember 2025) karya Prof. Eggi Sudjana (BES), yang viral di berbagai grup WhatsApp, terasa begitu menohok. Ayat Al-Qur’an yang dikutipnya, QS Al-An‘am 65, tiba-tiba terasa sangat dekat dengan realitas, azab yang datang dari langit, dari bumi, dan dari manusia itu sendiri. Seakan ayat itu sedang membaca Indonesia hari ini.
Prof. Eggi mengingatkan bahwa bencana bukan sekadar peristiwa alam. Ia adalah teguran. Alarm yang menandai bahwa manusia sedang melupakan keseimbangan. Kita begitu rajin membangun gedung, tetapi jarang membangun hati. Kita memoles dunia dengan lapisan-lapisan kemewahan, namun mengabaikan perintah moral yang menjadi fondasi hidup. Ketika bangunan spiritual retak, alam pun mengikutinya, yang lebih mengkhawatirkan justru pada bagian tentang “kelompok-kelompok yang saling bertentangan.” Dan bukankah itu sedang terjadi?
Kita hidup di zaman ketika perbedaan pilihan dianggap permusuhan. Media sosial lebih mirip ajang tinju ketimbang ruang diskusi. Segala sesuatu mudah memicu keributan, dan masyarakat semakin kehilangan kemampuan untuk duduk, bicara, lalu saling memahami.
Perpecahan itu sendiri adalah bencana yang tidak terlihat wujud fisiknya, tetapi dampaknya lebih panjang dari banjir bandang.
Dalam konteks inilah usulan Prof. Eggi agar Presiden Prabowo segera menetapkan status Bencana Nasional di tiga provinsi terdampak menjadi sangat relevan. Penanganan daerah sudah tidak cukup. Butuh langkah yang cepat, terkoordinasi, dan menyeluruh. Bukan hanya membawa perahu karet atau logistik, tetapi membawa harapan. Namun lebih dari itu, masyarakat juga perlu disentuh secara spiritual.
Kita perlu ulama, pastor, pendeta, biksu, siapa pun yang mampu memberi keteduhan di tengah ketidakpastian, menguatkan mental warga yang sudah terlalu lelah menghadapi ujian bertubi-tubi.
Kita sering lupa bahwa kekuatan terbesar bangsa ini bukan pada infrastruktur raksasa atau anggaran fantastis, tetapi pada moralitas, solidaritas, dan nilai-nilai spiritual yang menjadi perekatnya. Peringatan dari langit dan bumi hanya menjadi malapetaka ketika manusia menolak belajar. Tetapi ia berubah menjadi jalan keluar ketika manusia merendahkan hati dan mau kembali menata langkah.
Mutiara Hikmah itu, bagi saya, bukan sekadar nasihat agama. Itu ajakan yang sangat manusiawi. Ajakan untuk berhenti sejenak, menengok diri sendiri, mengakui kesalahan, dan bersama-sama memperbaiki arah perjalanan bangsa.
Karena pada akhirnya, yang sedang diuji bukan hanya fisik masyarakat terdampak. Yang sedang diuji adalah jiwa bangsa ini, apakah masih punya ruang untuk kembali pulang kepada kebenaran.
Sumber: Agusto Sulistio
Sumber: Mutiara Hikmah BES, Selasa 2 Desember 2025.

