Jakarta,detiksatu.com --Sebagai insan yang bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, setiap hamba memiliki kewajiban moral untuk senantiasa berupaya menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ketakwaan itu tidak berhenti pada dimensi ibadah personal semata, tetapi juga harus terwujud dalam sikap sosial, berbangsa, dan bernegara. Terlebih bagi seorang warga negara yang berprofesi sebagai praktisi hukum, ketaatan kepada aturan hukum dan konstitusi negara merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari amanah keimanan.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seluruh warga negara Indonesia tanpa kecuali memiliki kewajiban untuk menaati hukum, melaksanakan aturan, serta memastikan tidak terjadi penyimpangan konstitusi. Kewajiban ini berlaku bagi rakyat biasa maupun bagi penyelenggara negara yang memegang kekuasaan.
Sekalipun langit runtuh hukum harus ditegakkan secara benar dan adil. Konstitusi negara tidak boleh ditundukkan oleh kepentingan kekuasaan, karena justru konstitusilah yang menjadi penopang utama keadilan dan ketertiban negara.
Atas dasar itulah, saya, Eggi Sudjana, menyatakan akan mengajukan permohonan uji kelayakan (eksaminasi) terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan keputusan lainnya, yang telah mengubah tafsir syarat usia calon Wakil Presiden, sekaligus berdampak langsung pada kelayakan jabatan Gibran Rakabuming Raka yang pada saat pencalonan belum pernah dan tidak sedang menjabat sebagai kepala daerah tingkat provinsi (Gubernur). Putusan tersebut pada pokoknya membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka untuk memenuhi syarat pencalonan Wakil Presiden pada Pemilu 2024.
Fakta hukumnya, pada saat mendaftarkan diri sebagai calon Wakil Presiden, usia Gibran masih 36 tahun dan belum pernah menduduki jabatan kepala daerah yang dipilih melalui pemilihan umum setingkat Gubernur. Kondisi ini secara jelas dan terang bertentangan dengan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang mengatur bahwa calon Presiden dan Wakil Presiden harus berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun, atau pernah/sedang menduduki jabatan yang diperoleh melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.
Dengan demikian, tanpa adanya perubahan tafsir melalui Putusan MK Nomor 90, pencalonan tersebut pada dasarnya tidak memenuhi ketentuan undang-undang yang berlaku. Maka jelas dan nyata bahwa Putusan MK Nomor 90 termasuk ini sarat akan konflik kepentingan dan pelanggaran etika konstitusional. Hakim Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu memiliki hubungan keluarga langsung dengan pihak yang diuntungkan oleh putusan tersebut. Dalam prinsip negara hukum dan etika peradilan, kondisi ini seharusnya menyebabkan yang bersangkutan mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara. Ketika hal itu tidak dilakukan, maka legitimasi putusan menjadi cacat secara moral, etis, dan konstitusional.
Oleh karena itu, secara konstitusional, posisi Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2024–2029 patut dinyatakan tidak sah.
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang memeriksa pelanggaran etik dalam Putusan MK Nomor 90 tersebut yang secara tegas telah menyatakan bahwa Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu, Anwar Usman yang memiliki hubungan keluarga langsung sebagai paman dari Gibran terbukti melakukan pelanggaran etik berat.
Putusan MKMK: 02/MKMK/L/11/2023 telah menjatuhkan sanksi pemberhentian Paman Gibran dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi, sebagaimana kewenangan MKMK yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Ternyata upaya meloloskan Gibran Rakabuming Raka lebih utama ketimbang pelanggaran etik berat, pengingkaran aturan syarat menjadi pemimpin dan masa depan bangsa dan negara. Putusan MK Nomor 90 tetap dibiarkan berlaku dan digunakan sebagai dasar hukum pencalonan Gibran, dan kini duduk sebagai orang nomor dua memimpin lebih dari 280 juta penduduk Indonesia.
Tidak adanya ketegasan hukum untuk membatalkan atau meninjau ulang putusan yang lahir dari proses yang cacat etik ini menimbulkan inkonsistensi serius dalam penegakan prinsip negara hukum.
Kondisi tersebut secara objektif dapat dinilai sebagai pengingkaran terhadap asas keadilan, independensi peradilan, dan kepastian hukum, serta membuka ruang terjadinya perbuatan melawan hukum oleh lembaga negara, karena membiarkan keputusan yang menyimpang dan dilahirkan lewat pelanggaran etik berat dan menimbulkan akibat hukum yang sangat strategis bagi masa depan ketatanegaraan tetap melenggang mulus diatas penghianatan nurani moral sebagai insan yang bertakwa dan abdi hukum bangsa dan negara.
Keabsahan jabatan publik tidak hanya ditentukan oleh hasil politik elektoral, tetapi juga oleh proses hukum yang bersih, adil, dan bebas dari rekayasa kekuasaan. Putusan MK Nomor 90 telah menimbulkan preseden berbahaya, yakni konstitusi dapat diubah maknanya demi kepentingan segelintir elite.
Resiko konstitusional yang jauh lebih besar muncul ketika kita melihat ketentuan UUD 1945 yang menyatakan bahwa dalam kondisi tertentu, seperti Presiden berhalangan tetap, maka Wakil Presiden secara otomatis menggantikan posisi Presiden. Jika sejak awal legitimasi Wakil Presiden bermasalah, maka estafet kekuasaan nasional pun berada di atas pondasi yang rapuh.
Negara dapat terjebak dalam krisis legitimasi, instabilitas politik, dan konflik konstitusional yang berkepanjangan.
Bagaimana mungkin kita membiarkan situasi berbahaya seperti ini terjadi? Apakah kita rela mewariskan kerusakan konstitusi kepada generasi mendatang?
Lebih dari sekedar pelanggaran hukum positif, kondisi ini merupakan dosa struktural konstitusional terhadap UUD 1945. Dosa yang dilakukan secara sadar, sistematis, dan melibatkan kekuasaan negara.
Sebagai bangsa yang mengaku beriman, kita meyakini bahwa setiap amanah dan setiap penyimpangan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat kelak.
Allah SWT telah memberikan peringatan yang sangat tegas dalam Al-Qur’an:
Surah Al-Isra (17) ayat 36
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.”
Makna ayat ini menegaskan bahwa setiap sikap, keputusan, dan tindakan termasuk dalam urusan kekuasaan dan hukum harus didasarkan pada ilmu, kebenaran, dan tanggung jawab.
Surah Al-A’raf (7) ayat 179
“Mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami, mempunyai mata tetapi tidak dipergunakan untuk melihat, dan mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar…”
Ayat ini mengingatkan bahaya ketika akal sehat dan nurani dibungkam oleh kepentingan duniawi.
Surah At-Taubah (9) ayat 105
“Katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu…”
Setiap perbuatan, termasuk kebijakan hukum dan politik, berada dalam pengawasan Allah.
Surah At-Taubah (9) ayat 111
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga…”
Ayat ini menegaskan bahwa keberanian membela kebenaran adalah bentuk jihad moral.
Surah Al-An’am (6) ayat 65
Kekuasaan yang menyimpang akan berujung pada azab berupa perpecahan dan ketakutan.
Surah Al-Anfal (8) ayat 60, 63, dan 65
Ayat-ayat ini mengajarkan pentingnya kesiapsiagaan, persatuan, dan keteguhan menghadapi ketidakadilan.
Surah At-Tahrim (66) ayat 8–9
Seruan untuk taubat yang sungguh-sungguh dan keberanian bersikap tegas terhadap kebatilan.
Seluruh ayat tersebut menjadi pengingat bahwa membiarkan kerusakan hukum dan konstitusi sama artinya dengan mengkhianati amanah Allah. Membela kebenaran konstitusi bukan sekadar pilihan politik, melainkan kewajiban iman, moral, dan sejarah.
_Bogor, Jawa Barat, Minggu 28 Desember 2025, 18:54 Wib._
Salam Ta'ziem, Taqwa dan Jihad,
BES = Brother Eggi Sudjana.*

