Perubahan Sikap Drastis Presiden Republik Indonesia Prabowo Soal Hutan dan Sawit

Redaksi
Desember 04, 2025 | Desember 04, 2025 WIB Last Updated 2025-12-04T03:58:18Z
Jakarta,detiksatu.com -- Dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, kebijakan formal pemerintahan Prabowo tampak mengalami perubahan tajam terhadap isu hutan dan sawit — dari mempromosikan industri sawit ke penyitaan jutaan hektar kebun sawit ilegal. Perubahan narasi ini memicu kontroversi, kritik dari NGO dan ilmuwan, serta pertanyaan tentang konsistensi kebijakan, transparansi, dan prioritas nasional


Pada pertengahan 2024 — periode transisi pemerintahan baru — banyak analis dan akademisi memandang bahwa pemerintahan Prabowo akan memperkuat industri sawit sebagai komoditas strategis. Sebagai negara agraris dengan reputasi besar dalam produksi minyak sawit, posisi sawit sering dipromosikan sebagai pilar ekonomi nasional, ekspor, dan sumber devisa. Dalam konteks ini, sawit diposisikan sebagai aset negara — bagian dari upaya pertumbuhan ekonomi dan kedaulatan pangan/energi.

Pendekatan ini mencerminkan logika ekonomi: mendongkrak ekspor, membuka lapangan kerja, serta menjaga stabilitas harga minyak nabati dalam negeri dan ekspor. Dalam suasana transisi, sinyal pemerintah yang mendukung industri sawit dianggap wajar — terutama mengingat tekanan ekonomi global dan krisis pangan.

Namun, promosi sawit ini membawa beban sejarah panjang: ekspansi sawit selama dua dekade telah mengakibatkan deforestasi besar-besaran di banyak wilayah di Indonesia, termasuk hutan tropis, habitat satwa, dan hutan primer.

Bicara pada publik nasional, pernyataan Prabowo pada 30 Desember 2024, bahwa “kelapa sawit itu pohon, mereka punya daun” menjadi salah satu momen paling kontroversial. Dalam pernyataan itu, Prabowo menyiratkan bahwa ekspansi sawit — sejauh dilakukan secara “pohon sawit” — tidak perlu dianggap ancaman besar bagi lingkungan.

Pernyataan ini langsung menuai kecaman dari banyak ilmuwan, NGO, dan kelompok konservasi. Lembaga seperti CIFOR–ICRAF menegaskan bahwa ekspansi sawit telah secara empiris terkait dengan deforestasi, konversi hutan primer dan gambut, hilangnya keanekaragaman hayati, serta degradasi tanah dan ekosistem. Kebun sawit bukan hutan — dan tanaman sawit tidak menggantikan fungsi ekologis hutan primer.

Media lingkungan seperti Mongabay mengangkat kritik luas bahwa pandangan “sawit = pohon biasa” menyederhanakan masalah ekologis besar; pernyataan itu dianggap menunjukkan minimnya pemahaman atau kemauan untuk mengakui dampak lingkungan dari ekspansi industri kelapa sawit.

Bagi NGO seperti WALHI, keberatan ini bukan hanya sebatas retorika — melainkan realitas destruktif yang telah berlangsung bertahun-tahun: konversi hutan ke kebun sawit, konflik agraria, hingga kerusakan ekosistem. Pernyataan yang terkesan meremehkan ancaman menambah luka bagi komunitas lokal dan lingkungan.

Setelah pidato kontroversial tersebut, muncul gelombang kritik dari berbagai kalangan: ilmuwan, akademisi, aktivis lingkungan, komunitas adat, dan media internasional. Kritik berfokus pada inkonsistensi antara narasi ekonomi/industri dengan realitas ekologis dan sosial.

Argumentasi utama mereka: jika sawit dipromosikan tanpa kontrol ketat — misalnya perizinan, tata kelola lahan, audit lingkungan — maka ekspansi besar bisa memperburuk deforestasi, mengancam hutan primer, gambut, dan habitat satwa. Komunitas lokal dan masyarakat adat juga berisiko kehilangan hak atas tanah, akses sumber daya, dan mengalami konflik agraria.

Ketidakpastian regulasi, lemahnya implementasi kawasan hutan, serta dominasi korporasi besar semakin memperkuat kekhawatiran bahwa “sawit strategis” hanyalah jargon ekonomi — tanpa perlindungan lingkungan.

Di tengah sorotan domestik dan internasional, Prabowo dalam pidato kenegaraan (State of the Nation Address) mengejutkan banyak pihak. Ia mengumumkan bahwa pemerintah akan melakukan “crackdown nasional” terhadap eksploitasi sumber daya ilegal — termasuk perkebunan sawit ilegal.

Dalam pidatonya, 15 Agustus 2025, disebut bahwa pemerintah menargetkan 3,7 juta hektar perkebunan sawit ilegal, dan akan menelaah total hingga 5 juta hektar lahan perkebunan untuk verifikasi. Pemerintah menegaskan pentingnya pemulihan kontrol negara atas sumber daya alam, kedaulatan lingkungan, serta penegakan hukum terhadap pengusaha sawit yang melanggar peraturan.

Langkah ini menandai perubahan drastis dari retorika “sawit sebagai aset” — menuju kebijakan represif terhadap perkebunan ilegal, dengan ancaman penyitaan dan realokasi lahan. Bagi banyak pengamat, ini adalah “U-turn” politis: dari proteksi industri ke penegakan regulasi dan kontrol negara.

Beberapa bulan setelah pidato kenegaraan, Oktober 2025, pemerintah langsung mengambil tindakan besar. Militer dan aparat penegak hukum memulai penyitaan lahan sawit ilegal secara masif: sekitar 3,7 juta hektar kebun sawit dinyatakan ilegal dan disita. Sebagian besar lahan dialihkan ke perusahaan negara, dikelola purnawirawan militer.

Langkah ini memicu kekhawatiran di industri sawit: investor terkejut, korporasi besar cemas terhadap asetnya, dan pasar minyak sawit global menanti dampaknya. Di sisi lain, aktivis lingkungan dan komunitas lokal melihat ini sebagai kesempatan: jika dikelola dengan benar, lahan tersebut bisa direstorasi menjadi hutan, kawasan gambut, atau dikelola secara berkelanjutan demi masa depan ekologis.

Perubahan drastis Prabowo ini tidak bisa dilepaskan dari kombinasi faktor:

Tekanan eksternal & regulasi global — Peraturan seperti EU Deforestation Regulation (EUDR) membuat pasar internasional semakin menuntut jejak supply chain bersih (“deforestation-free”). Pemerintah harus menyesuaikan kebijakan agar komoditas ekspor seperti sawit tetap diterima pasar global.
Kebutuhan legitimasi dan politik domestik — Krisis reputasi dalam negeri setelah protes NGO dan opini publik menuntut tindakan: jika tidak ada respons nyata, legitimasi pemerintahan bisa jatuh.
Kepentingan kedaulatan sumber daya & kontrol negara — Dengan mengambil alih lahan ilegal, pemerintah menegaskan kontrol atas aset strategis, sekaligus membuka peluang restorasi lingkungan atau tata guna lahan ulang.
Dilema antara ekonomi dan lingkungan — Pemerintah tampaknya mencoba menyeimbangkan dua tujuan: menjaga pertumbuhan ekonomi dari sawit, sambil merespon kritik lingkungan — sebagai kompromi pragmatis dalam situasi kompleks.
Dengan perubahan kebijakan itu maka, lahan ilegal yang disita bisa direhabilitasi — hutan primer atau gambut kembali, habitat satwa dan keanekaragaman hayati dipulihkan. Selain itu Indonesia bisa memperbaiki citra sebagai produsen sawit bertanggung jawab — penting untuk akses pasar ekspor ke Eropa, AS, dan konsumen global yang peduli pada isu lingkungan.

Perjalanan kebijakan hutan dan sawit di pemerintahan Prabowo — dari “sawit sebagai aset” ke “sawit ilegal disita” — mencerminkan paradoks struktural: Indonesia butuh sawit untuk ekonomi, tetapi juga harus mempertahankan hutan dan lingkungan untuk masa depan.

Perubahan pidato dan tindakan bukan hanya soal retorika — tapi soal arah kebijakan, prioritas nasional, dan keadilan sosial-ekologis. Jika dijalankan dengan transparansi, akuntabilitas, dan keadilan, ini bisa menjadi titik balik menuju pengelolaan sawit yang bertanggung jawab, penghormatan terhadap hak komunitas, dan restorasi lingkungan.

Namun jika dikelola buruk — hanya berganti bentuk kekuasaan atau konsolidasi elite — maka ini bisa menjadi pintu masuk oligarki baru, konflik agraria, dan kerusakan lingkungan sistemik.

Publik, media, dan masyarakat sipil perlu memantau: apakah retorika “crackdown” akan diterjemahkan ke kebijakan nyata yang adil, atau hanya menjadi alat politik sesaat? Dilema besar ini menuntut transparansi dan partisipasi publik — agar “utang alam” dan “utang sosial” tak terus bertambah.

Banjir yang telah menimbulkan korban jiwa 708 orang dan 499 orang hilang serta 3,2 juta jiwa terdampak, nampaknya membawa keteguhan perubahan sikap Prabowo soal hutan dan sawit. Kebijakan untuk melestarikan hutan dan perizinan yang terbatas kepada kelapa sawit nampaknya akan dilakukan. Bila tidak, maka musibah banjir besar akan terus melanda Sumatera setiap tahun. Wallahu alimun hakim. []

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Perubahan Sikap Drastis Presiden Republik Indonesia Prabowo Soal Hutan dan Sawit

Trending Now

Iklan

iklan