Strategi Pemimpin Hebat Mengatasi Musibah, Bukan Menyusahkan Rakyat

Redaksi
Desember 09, 2025 | Desember 09, 2025 WIB Last Updated 2025-12-09T04:51:52Z
Foto: Anies Baswedan meninjau Covid 19, hasil dari search google 

Jakarta,detiksatu.com -- Di setiap zaman, kualitas kepemimpinan paling terlihat justru bukan ketika keadaan stabil, melainkan saat sebuah bangsa menghadapi musibah yang mengguncang: bencana alam, krisis politik, wabah penyakit, atau konflik sosial. Pada momen itulah seorang pemimpin diuji—apakah ia tenggelam dalam kepanikan atau bangkit menjadi cahaya penuntun bagi rakyatnya.

Pemimpin besar menyadari bahwa musibah bukan hanya soal kerugian materi dan korban jiwa, tetapi juga tentang psikologi masyarakat, rasa aman, dan masa depan bangsa. Karena itu, mereka bergerak bukan hanya sebagai “penguasa”, tetapi sebagai pengayom, komunikator, dan pengambil keputusan yang tegas.

Berikut prinsip-prinsip utama pemimpin hebat dalam mengelola musibah, disertai contoh dari dunia internasional dan Indonesia.

Bergerak Cepat, Tanpa Menunggu Sempurna
Pemimpin hebat paham bahwa di masa krisis, keputusan cepat lebih penting daripada keputusan sempurna. Saat bencana terjadi, setiap menit dapat menyelamatkan atau menghilangkan nyawa.

Ketika terjadi teror Christchurch (2019), PM Selandia Baru Jacinda Ardern hanya membutuhkan beberapa jam untuk menyampaikan sikap tegas negara, mengunjungi keluarga korban, dan memberikan pernyataan yang menenangkan. Kecepatannya membuat masyarakat merasa diayomi dan mempercayai pemerintah.

Mengutamakan Komunikasi yang Jujur dan Menenangkan
Di era informasi yang bergerak cepat, satu rumor saja bisa memperkeruh keadaan. Pemimpin hebat tidak bermain retorika; mereka jujur tentang ancaman, sekaligus mampu menenangkan publik dengan bahasa yang manusiawi.

Ketika pandemi COVID-19 memasuki Eropa, PM Jerman Angela Merkel memberikan pidato yang kemudian menjadi rujukan dunia. Ia tidak menutupi risiko, bahkan menyebut kemungkinan 70% warga terinfeksi. Namun cara penyampaiannya yang tenang dan ilmiah membuat masyarakat percaya dan patuh pada kebijakan negara.

Pada awal pandemi Covid 19, Gubernur Anies Baswedan menyampaikan risiko dengan data dan logika, mengambil keputusan pembatasan sosial lebih cepat dibanding pusat, serta rutin memberi konferensi pers yang jelas. Walaupun menimbulkan perdebatan politik, dari sisi komunikasi krisis, langkahnya mendapat apresiasi berbagai lembaga.

Hadir di Tengah Rakyat, Bukan dari Balik Meja
Keberadaan seorang pemimpin di titik bencana memiliki dampak psikologis besar. Ia menunjukkan bahwa negara hadir dan tidak meninggalkan rakyatnya.

Contoh Luar Negeri: Recep Tayyip Erdoğan saat Gempa Turki 2023

Saat wabah Covid-19 mulai melanda, Anies Baswedan adalah satu-satunya gubernur, bahkan pemimpin di Indonesia, yang paling responsif, tegas dan transparan sejak awal. Sebagai Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengambil sejumlah tindakan signifikan dalam menghadapi pandemi COVID-19, termasuk memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan membentuk Tim Tanggap Covid-19 melalui Keputusan Gubernur.

Selain itu, ia juga menggencarkan vaksinasi, meningkatkan kapasitas kesehatan, serta kolaborasi dan komunikasi publik dengan baik


Menggerakkan Kolaborasi: Pemerintah – Rakyat – Komunitas
Pemimpin hebat tidak pernah menghadapi krisis sendirian. Ia menggerakkan semua elemen: pemerintah, swasta, organisasi masyarakat, relawan, dan masyarakat biasa.

Saat menghadapi SARS 2003 dan COVID-19, PM Singapura Lee Hsien Loong sukses karena kepemimpinan kolaboratif. Pemerintahnya melibatkan ilmuwan, rumah sakit, data analyst, perusahaan teknologi, hingga tokoh agama. Sistem komando yang jelas membuat masyarakat bergerak bersama.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil sering menekankan kolaborasi. Dalam banjir bandang Garut maupun pandemi COVID-19, ia menggerakkan komunitas, platform donasi, relawan mahasiswa, dan perusahaan swasta. Pendekatan “pentahelix” (pemerintah–warga–swasta–akademisi–media) menjadi model penanganan bencana di Jawa Barat.

Menunjukkan Empati: Hati yang Bekerja Sama Kerasnya dengan Data
Di masa musibah, rakyat tidak hanya membutuhkan logistik, tetapi juga kehadiran emosional. Pemimpin hebat menunjukkan empati tanpa dibuat-buat.

Saat tragedi penembakan di sekolah Sandy Hook, Presiden AS Obama menangis ketika membacakan nama anak-anak yang meninggal. Sikap itu bukan kelemahan, tetapi kekuatan: ia menunjukkan bahwa seorang pemimpin juga manusia yang peduli.

Setelah tsunami melanda Aceh, Presiden SBY mengunjungi lokasi dalam kondisi sangat rawan dan penuh reruntuhan. Ia menyapa warga, memeluk penyintas, dan menunjukkan empati mendalam. Sikap ini membuka pintu kerjasama internasional dan memperkuat semangat pemulihan Aceh.

Fokus pada Masa Depan: Tidak Sekadar Pemadam Kebakaran
Pemimpin hebat tidak berhenti setelah situasi teratasi. Mereka mengubah musibah menjadi peluang evaluasi dan reformasi jangka panjang.

Pasca tsunami 2011 dan krisis nuklir Fukushima, PM Jepang Shinzo Abe melakukan reformasi besar: standar bangunan anti-gempa, teknologi peringatan dini, hingga sistem evakuasi. Pemulihan bukan sekadar membangun ulang, tetapi memikirkan masa depan generasi berikutnya.

Setelah erupsi Merapi, Gubernur Yogyakarta Sri Sultan HB X mempelopori zonasi rawan bencana, perluasan jalur evakuasi, dan mitigasi berbasis budaya. Ia tidak sekadar membangun kembali, tetapi memperkuat ketahanan Yogyakarta terhadap bencana masa depan.

Mengakui Kesalahan dan Memperbaiki
Pemimpin yang hebat bukan yang selalu benar, tetapi yang berani mengakui kesalahan dan memperbaikinya. Dalam krisis, kejujuran seperti ini justru meningkatkan kepercayaan publik.

PM Kanada JustinTrudeau pernah mengakui keterlambatan pemerintah dalam merespons krisis kebakaran hutan di beberapa wilayah. Ia meminta maaf secara terbuka dan segera memperbaiki mekanisme bantuan.

Saat banjir besar dan kritik muncul, Gubernur Jatim Risma beberapa kali meminta maaf kepada warga dan menjelaskan penyebab teknis. Empati dan tanggung jawab seperti ini membuatnya dihormati meski di tengah kontroversi.


Musibah adalah ujian, sekaligus momentum. Dalam sejarah, kita melihat bahwa kualitas pemimpin tidak ditentukan oleh pangkat atau jabatan, tetapi oleh keberanian, kecepatan, empati, komunikasi, dan kemampuan merangkul masyarakat.

Krisis akan selalu datang, tetapi pemimpin besar menjadikannya batu loncatan untuk memperbaiki bangsa, bukan alasan untuk saling menyalahkan.

Dan bagi masyarakat, kisah-kisah kepemimpinan ini bukan hanya bahan bacaan, melainkan cermin: bahwa setiap orang, sekecil apa pun perannya, dapat menjadi pemimpin ketika musibah datang—minimal bagi diri sendiri, keluarga, dan lingkungan. []

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Strategi Pemimpin Hebat Mengatasi Musibah, Bukan Menyusahkan Rakyat

Trending Now

Iklan

iklan