Ayu Mela Yulianti: Sisi Lain Perang Hunain dan Penaklukan Thaif

Iklan

Ayu Mela Yulianti: Sisi Lain Perang Hunain dan Penaklukan Thaif

Redaksi
Senin, Juni 23, 2025 | Senin, Juni 23, 2025 WIB Last Updated 2025-06-23T12:12:51Z
Jakarta,detiksatu.com || Saat pengepungan benteng Thaif, Rasulullah Saw meminta bantuan Bani Daus untuk membuatkannya ‘dababah’ dan ‘manjanik‘, senjata paling mutakhir saat itu. Keduanya digunakan untuk menembus benteng pertahanan Bani Tsaqif di Thaif.

Rasulullah Saw melakukan upaya maksimal untuk menaklukan Thaif, hingga membuat sayembara bahwa jika seorang muslim datang kepada Rasulullah Saw, maka ia akan dibebaskan seluruh keluarga dan hartanya yang ditahan oleh Rasulullah Saw


Malik bin Auf An-Nasriy adalah komandan dan pemimpin pasukan Hawazin yang memerangi Rasulullah Saw di lembah Hunain, pada 630 M atau 8 H.

Hawazin sendiri adalah nama suatu kabilah besar di Arab saat itu, yang terdiri dari banyak suku, yaitu suku Hawazin, Tsaqif, bani Hilal, bani Nashr, dan bani Jasyam.

Sebagai pemimpin perang, Malik bin Auf An-Nasriy memerintahkan agar binatang ternak, harta-benda, para wanita, dan anak-anak dibawa ke medan pertempuran. Tujuannya adalah agar balatentara tidak lari saat kalah perang.

Akibatnya saat kalah perang seluruh yang dibawa Malik bin Auf an-Nasriy dan pasukannya menjadi tawanan perang Rasulullah Saw. Sedangkan Malik bin Auf An-Nasriy melarikan diri ke Thaif, akibatnya Rasulullah Saw mengepung Thaif demi menangkap Malik bin Auf An-Nashriy yang ada di dalam benteng.

Pertahanan Thaif cukup kuat, bentengnya sulit ditembus, dengan dababah dan manjanik sekalipun. Akhirnya Rasulullah Saw mengirimkan pesan kepada delegasi Hawazin, bahwa jika ada seorang muslim yang masuk Islam, dan yang dimaksudkannya adalah Malik bin Auf An-Nasriy, maka Rasulullah Saw akan mengembalikan seluruh harta dan keluarga yang ditawannya.

Demi mendengar tawaran yang diberikan oleh Rasulullah Saw, akhirnya Malik bin Auf An-Nasriy keluar benteng dan datang menghadap Rasulullah Saw dalam kondisi berislam.

Rasulullah Saw bahagia dengan berislamnya Malik bin Auf An-Nashriy. Maka Rasulullah Saw pun mengembalikan seluruh harta dan keluarga dan memberinya 100 ekor unta sebagai tambahannya. Di sinilah letak kedermawanan dan sikap politis paling tinggi yang dilakukan oleh Rasulullah Saw, mengikat hati para mualaf agar teguh dalam berislam.

Tidak hanya Malik bin Auf An-Nasriy yang diberi 100 ekor unta oleh Rasulullah Saw sebab keislamannya. Namun juga Rasulullah memberikan 100 ekor unta kepada pemimpin suku lainnya yang baru masuk Islam yang sangat keras permusuhannya kepada Rasulullah Saw sebelumnya, yaitu kepada Abu Shofyan dan anaknya Muawiyah, Harits bin Harits, Harits bin Hisyam, Suhail bin Amru, Huwaithib bin Abdul Uzza, Hakim bin Hazam, Al-Alla bin Jariyah Ats-Tsaqafi, ‘Uyainah bin Hashan, Aqra’ bin Habis, Malik bin Auf an-Nashriy, dan Shafwan bin Umayyah. Rasulullah Saw pun memberikan 50 ekor unta sebagai tambahan ghanimah, kepada muallaf selain mereka.

Akhirnya Malik bin Auf dan seluruh suku yang dipimpinnya masuk Islam, menjadi muslim yang baik dan menjadi pembela Islam. Malik bin Auf An-Nasriy, dan seluruh pemimpin suku lainnya, senantiasa ikut dalam setiap pertempuran jihad yang dilakukan oleh pasukan kaum muslimin hingga ke perang Qodisiyah, yaitu perang melawan imperium Persia, di masa kepemimpinan Umar bin Khattab ra, dengan panglima perangnya (amirul jihad) yaitu Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ra.

Demikianlah bagaimana Rasulullah Saw dan kaum muslimin melakukan perang (jihad), semata untuk kemuliaan Islam untuk menyebarkan Islam agar diketahui oleh manusia kemuliaan dan keagungannya.

Perang Dalam Islam tidak bertujuan untuk membinasakan manusia. Perang dalam Islam adalah untuk menundukan manusia yang menghalangi dakwah Islam dengan senjata.

Sebab faktanya, Rasulullah Saw mampu menundukan hati Malik bin Auf An-Nasriy, yang kemudian masuk Islam justru dengan menawarinya islam dan keselamatan keluarga dan hartanya.

Rasulullah Saw memperlakukan dengan baik para tawanan perang yaitu mereka yang mengalah dalam peperangan di lembah Ji’ronah. Membagikan para tawanan perang yang tidak bisa menebus dirinya kepada para prajurit perang kaum muslimin, setelah sebelumnya menawari para tawanan dengan Islam maka ia akan dibebaskan, atau menebus dirinya dengan sejumlah harta yang dimilikinya yang telah ditetapkan oleh Baginda Rasulullah Saw.

Demikianlah etika perang yang ditetapkan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya, bukan sebagai jalan untuk menguasai sumber daya alam suatu negeri dengan membinasakan penduduk yang hidup diatas tanahnya. Namun semata untuk menyebarkan Islam sebagai rahmatan lil alamiin.

Sebab itu, etika Islam dalam berperang adalah melarang membunuh musuh yang menyerah dalam peperangan. Apalagi melakukan genosida. Melarang menggunakan senjata pemusnah massal. Jikapun menggunakan senjata pemusnaha massal adalah dalam rangka menghancurkan benteng yang melindungi musuh, bukan untuk membunuh musuh yang menyerah.


Musuh hanya akan dibunuh jika ia melakukan perlawanan, sebaliknya musuh tidak akan dibunuh jika ia menyerah, akan tetapi dia akan diperlakukan dengan baik sehingga hatinya luluh dan masuk kedalam Islam. Maka sangat wajar jika hari ini pun Hamas memperlakukan para tawanan Israel dengan baik, sebab Hamas menerapkan etika Islam dalam perangnya.

Maka jika etika perang ditegakan berdasarkan ideologi Islam, tidak akan terjadi genosida. Sebab perang Dalam Islam dilakukan hanyalah dalam rangka menghilangkan kendala fisik yang menghadang dakwah, bukan dalam rangka melakukan genosida untuk menguasai sumber daya alam yang dikandung didalamnya, atau menjadikan tanah diatasnya sebagai lalu lintas perdagangan dunia untuk memenuhi keserakahan para kapitalis, seperti yang terjadii di Gaza Palestina hari ini, adalah untuk menguasai sumber daya alam yang terkandung didalamnya dan tanah diatasnya sehingga barat dengan menggunakan agennya, Israel melakukan genosida terhadap warga Gaza yang hidup di atas tanahnya.

Sungguh hingga dalam perang pun, dunia membutuhkan aturan Islam yang sempurna, hingga kebaikan dan keadilan perang bisa diraih, yaitu membebaskan manusia dari penjajahan manusia menuju penghambaan hanya kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Adil dan Maha Sempurna aturannya. Wallahu a’lam.

Ayu Mela Yulianti, S.Pt., Pegiat Literasi dan Pemerhati Kebijakan Publik.
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Ayu Mela Yulianti: Sisi Lain Perang Hunain dan Penaklukan Thaif

Trending Now