Ummi Fatih: Berkepribadian Mulia, di Tengah Zaman Hina

Iklan

Ummi Fatih: Berkepribadian Mulia, di Tengah Zaman Hina

Redaksi
Senin, Juni 23, 2025 | Senin, Juni 23, 2025 WIB Last Updated 2025-06-23T12:17:37Z
Jakarta,detiksatu.com || Kita mungkin seringkali berpikir bahwa kita hanyalah manusia biasa yang sudah lama ditinggal wafat oleh Rasulullah Saw. Sehingga kita tidak bisa meneladaninya dengan sempurna.

Jauh berbeda dengan para sahabat nabi yang berkarakter Islami mulia selama hidupnya. Mereka mampu bersikap ikhlas, terpuji dan bermanfaat hingga saat ini. Akhirnya, kita pun mungkin akan menangis haru saja jika membaca sejarah kehidupan mereka


Kemudian, muncullah pertanyaan mengapa bisa begitu? Apakah semua itu hanya karena tanda-tanda akhir zaman yang sudah semakin dekat? Sehingga kita tidak bisa meneladani Rasulullah dengan kuat dan membuat jasa-jasa murni yang hebat agar kehidupan kita selamat.

Mengenali Karakter
Allah SWT menciptakan umat manusia dengan karunia akal sebagai bekal utama dalam menjalani kehidupan. Akal ini adalah anugerah mulia yang masih bersih dan suci saat manusia pertama kali hadir di dunia. Sehingga dengan akal itulah manusia mampu berpikir, memilih, dan membedakan antara yang baik dan buruk.

Oleh karena itu, Allah SWT pun tidak langsung menanamkan karakter atau kepribadian pada manusia, melainkan memberi ruang bagi setiap individu untuk membentuk jati dirinya sendiri melalui pemikiran akalnya selama proses kehidupannya.

Sebagaimana para sahabat nabi dahulu kala. Mereka semua dilahirkan dari kalangan penyembah berhala dalam lingkungan yang keras dan kejam. Sehingga, sebelum mereka mengenali Islam, sebagian besar dari mereka pun bukanlah orang bertakwa dengan karakter dan akhlak mulia.

Namun, ketika mereka mengenali dan mempelajari dengan tulus dan serius akan ajaran Islam, mereka bisa berubah menjadi sosok cemerlang yang mampu mengubah peradaban. Meski demikian, perubahan karakter mereka tidaklah selalu seratus persen sama dengan Rasulullah Saw yang saat itu masih hidup di dekat mereka. Sebab, Allah SWT sendiri pun tidaklah memaksa untuk melakukan berbagai macam hal di luar batas kemampuan hambaNya.

Sehingga, keteladanan pada Rasulullah berarti hanya wajib berusaha untuk rajin mengikuti dan mempelajari petunjuk kehidupan yang dibawanya, baik dalam Al-Qur’an maupun hadis-hadis sucinya.


Seperti halnya, Umar bin Khattab yang dikenal sebagai tokoh preman utama di kota Makkah. Pada awal keberadaan dakwah Islam yang Rasulullah sampaikan pun, Umar tidak segan-segan bangkit mengangkat pedangnya untuk membunuh sendiri adik kandung yang dicintainya. Karena adiknya itu telah menjadi pengikut setia agama Islam.

Namun, justru di saat ia sendiri telah memeluk agama Islam dan rajin mempelajari maknanya. Ia pun dilantik menjadi khalifah ke-2 dalam jajaran Khulafaur Rasyidin sebagai pengganti Rasulullah untuk memimpin negara.

Adapun perubahan karakter dari Umar tersebut tidaklah seratus persen sama dengan Rasulullah Saw yang menjadi guru dan teladan hidupnya. Kekerasan sifatnya masih melekat dan kurang mampu bersikap lemah lembut, meski keimanannya sudah terbukti sangat kuat.

Pada suatu hari, pasca Perang Badar, Umar pun pernah marah pada seorang tawanan perang yang sudah sering menghina Rasulullah. Kemudian dia berkata, “Ya Rasulullah, izinkanlah aku mencabut gigi serinya agar ia tidak lagi menghina-hinamu.” Namun, Rasulullah yang sabar dan baik hati pun melarangnya sembari berkata, “Jangan, karena tawanan itu bisa jadi akan menjadi pengikut kita!”


Tak cukup hanya itu, kualitas kebaikan karakter seseorang tidaklah hanya bagi mereka yang hidup bersama Rasulullah Saw. Karena, suatu anggapan yang merasa kerusakan hidup itu tidak dapat diubah akibat tanda-tanda hari kiamat yang sudah semakin dekat dan jauh dari cahaya keberadaanya bukanlah suatu kebenaran. Sebab kepastian waktu kiamat adalah rahasia Allah SWT yang Rasulullah sendiri pun tidak mengetahuinya.

Maka, tanda-tanda kiamat hanyalah termasuk peringatan, bukan suatu kepastian. Sehingga kita masih dapat merubahnya agar bisa menjadi lebih baik.

Misalnya, di masa kehidupan seorang gubernur pada 1174 M-1193 M, yakni Sultan Shalahuddin Al Ayyubi. Umat Islam sudah dikisahkan mengalami penuranan iman yang mendalam. Banyak hukum-hukum syariat pun tidak mau mereka kerjakan. Bahkan, tentara salib Eropa yang berhasil merebut dan mengubah Masjidil Aqsa di tanah suci Palestina menjadi Gereja dunia pun dibiarkan oleh umat Islam saat itu tanpa semangat jihad seperti para sahabat nabi.

Namun, sang Sultan Shalahuddin pun berhasil membuka kembali pintu-pintu iman umat Islam dengan cara mengadakan kegiatan Maulid Nabi yang pertama kali diadakan pada 1184. Dengan agenda acara tersebut, sejarah kehidupan Rasullah saw yang disertai keteladanan karakternya membuat umat Islam mampu kembali mengingatnya. Sehingga mereka juga menjadi berani dan bersemangat untuk maju berjihad merebut kembali tanah suci Masjidil Aqsa, sebab mereka tidak lupa akan pesan Allah SWT : “Dan taatlah kepada Rasul supaya kamu diberi rahmat.” (QS. An-Nuur: 56)

Maka dari itu, berubah menjadi lebih baik dengan meneladani Rasulullah Saw masih bisa kita lakukan. Meski tidak selalu semua kewajiban itu dapat tercapai, kita tetap harus selalu teguh berusaha dengan rajin mendalami Islam yang menjadi landasan hidup Rasulullah Saw.

Dengan begitu, rahmat dari Allah SWT akan kita peroleh. Karena Allah SWT akan menilai semua amal perbuatan kita, bukan hasil dari perbuatannya.

Lantas, apakah kita masih akan tetap diam tanpa berusaha mengubah diri menjadi lebih baik, hingga rugi di dunia dan kecewa dalam alam abadi neraka? []

Ummi Fatih
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Ummi Fatih: Berkepribadian Mulia, di Tengah Zaman Hina