Fatimah Syarifatul Ummah: Jangan Khawatir Punya Anak, Rezekinya Dijamin Allah

Redaksi
Rabu, Juni 18, 2025 | Juni 18, 2025 WIB Last Updated 2025-06-18T03:26:36Z
Jakarta,deriksstu.com || Dalam dinamika kehidupan modern, kekhawatiran orangtua terhadap masa depan anak-anak mereka kian menjadi beban mental yang nyata dan mendalam.

Di tengah tekanan sosial dan ekonomi yang semakin kompleks, banyak orangtua merasa cemas dan bahkan takut jika anak-anak mereka kelak tidak mampu hidup layak, tidak mendapatkan pekerjaan yang tetap, atau tidak mampu bersaing di tengah kerasnya persaingan hidup


Kekhawatiran ini semakin nyata dengan mahalnya biaya pendidikan tinggi, tingginya biaya hidup, serta ketidakpastian dunia kerja. Bahkan, di sebagian masyarakat urban, muncul fenomena childfree, yaitu keputusan untuk tidak memiliki anak dengan alasan ekonomi dan mental.

Semua ini menunjukkan bahwa ketakutan terhadap masa depan anak telah menjadi realitas sosial yang kompleks, dan bukan lagi sekadar kekhawatiran pribadi.

Salah satu bentuk kekhawatiran yang paling menonjol adalah persoalan rezeki—apakah anak mereka akan cukup memiliki penghasilan, kestabilan ekonomi, dan kemapanan finansial di masa depan. Kekhawatiran ini sering kali muncul bukan karena kurangnya kasih sayang, tetapi justru karena besarnya rasa cinta dan tanggung jawab.

Namun, sayangnya, kekhawatiran yang berlebihan ini kadang membuat orangtua secara tidak sadar mematikan potensi anak-anak mereka dengan membatasi cita-cita dan pilihan hidup mereka hanya pada hal-hal yang dianggap menjanjikan secara materi.

Padahal, jika kita melihat lebih dalam, konteks peringatan Allah dalam Surah Al-Isra ayat 31 justru ditujukan kepada orang-orang yang berkecukupan, bahkan kaya. Allah menegur mereka agar tidak takut jatuh miskin ketika memiliki anak. Sebab, kekayaan yang mereka miliki bukan semata-mata hasil kerja keras mereka, melainkan anugerah Allah yang diberikan lebih banyak kepada mereka dibandingkan orang lain.

Demikian pula halnya dengan anak-anak yang dilahirkan—mereka datang dengan rezeki yang telah ditetapkan oleh Allah, tanpa sedikit pun mengurangi bagian rezeki orangtuanya. Kehadiran mereka adalah ketetapan Ilahi yang tidak hanya membawa keberkahan, tetapi juga rezeki yang telah dijamin.

Dengan pemahaman ini, Surah Al-Isra ayat 31 hadir sebagai teguran sekaligus pengingat bahwa persoalan rezeki bukanlah sepenuhnya urusan manusia. Maka, sangat penting untuk merenungkan firman Allah dalam Surah Al-Isra ayat 31:

وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ اِمْلَاقٍۗ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَاِيَّاكُمْۗ اِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْـًٔا كَبِيْرًا

Janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan (juga) kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka itu adalah suatu dosa yang besar.

Dalam Tafsir Al-Munir (Wahbah Az – Zuhaili 1991: Jilid 15 65) Ayat diatas menunjukkan bahwa kasih sayang Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya melebihi kasih sayang seorang ayah kepada anaknya sendiri. Sebagai buktinya, Allah melarang orang tua membunuh anak-anak mereka karena takut jatuh miskin atau kekhawatiran terhadap masa depan anak-anak tersebut. Sikap ini merupakan bentuk suudzan (berburuk sangka) kepada Allah.

Menariknya, di dalam Tafsir Al-Mishbah (Quraish Shihab 2001: 456) menggarisbawahi dimensi psikologis ayat ini menggunakan kata “khasyyah”, yakni takut. Artinya kemiskinan yang dikhawatirkan itu adalah kemiskinan yang boleh jadi akan dialami sang anak di masa depan. Maka, untuk menyingkirkan kekhawatiran sang ayah, Allah menegaskan bahwa “Kami-lah yang akan memberi rezeki kepada mereka”, yakni anak-anak yang kamu khawatirkan jika dibiarkan hidup akan mengalami kemiskinan dan kesulitan. Setelah jaminan ketersediaan rezeki itu, barulah disusulkan jaminan serupa kepada ayah dengan adanya kalimat “dan juga kepada kamu”. Ini menunjukkan bahwa Allah benar-benar memperhatikan kesejahteraan hamba-hamba-Nya, baik generasi sekarang maupun yang akan datang.

Kemudian Wahbah Az- Zuhaili menambahkan, ayat ini Allah swt melarang kaum Muslimin membunuh anak-anak mereka, seperti yang telah dilakukan oleh beberapa suku dari bangsa Arab Jahiliah. Mereka menguburkan anak-anak perempuan karena dianggap tidak mampu mencari rezeki, dan hanya menjadi beban hidup saja.

Berbeda dengan anak laki-laki yang dianggap mempunyai kemampuan untuk mencari harta, berperang, dan menjaga kehormatan keluarga. Anak perempuan dipandang hanya akan memberi malu karena bisa menyebabkan kemiskinan dan menurunkan martabat keluarga karena kawin dengan orang yang tidak sederajat dengan mereka. Apalagi dalam peperangan, anak perempuan tentu akan menjadi tawanan, sehingga tidak mustahil akan mengalami nasib yang hina lantaran menjadi budak.

Oleh karena itu, Allah SWT melarang kaum Muslimin meniru kebiasaan Jahiliah tersebut, dengan memberikan alasan bahwa rezeki itu berada dalam kekuasaan-Nya. Dia yang memberikan rezeki kepada mereka. Apabila Dia kuasa memberikan rezeki kepada anak laki-laki, maka Dia kuasa pula untuk memberikannya kepada anak perempuan. Allah menyatakan bahwa takut pada kemiskinan itu bukanlah alasan untuk membunuh anak-anak perempuan mereka.

Di akhir ayat ini, Allah swt menegaskan bahwa membunuh anak-anak itu adalah dosa besar, karena hal itu menghalangi tujuan hidup manusia. Tidak membiarkan anak itu hidup berarti memutus keturunan, yang berarti pula menumpas kehidupan manusia itu sendiri dari muka bumi.

Di samping itu, dapat dikatakan bahwa tindakan membunuh anak karena takut kelaparan adalah termasuk berburuk sangka kepada Allah. Bila tindakan itu dilakukan karena takut malu, maka tindakan itu bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, karena mengarah pada upaya menghancur-kan kesinambungan eksistensi umat manusia di dunia.

Kontekstualisasi Ayat

Dalam ayat ini dapat dipahami bahwa para orang tua dituntut untuk memiliki keyakinan penuh bahwa setiap anak yang dilahirkan ke dunia telah dijamin rezekinya oleh Allah SWT. Kekhawatiran yang berlebihan terhadap kondisi ekonomi atau masa depan duniawi anak-anak seharusnya tidak menjadi alasan untuk menolak atau menghindari kelahiran mereka.

Allah SWT telah menegaskan bahwa rezeki setiap makhluk, termasuk anak-anak, berada dalam kekuasaan-Nya. Oleh karena itu, berprasangka buruk terhadap ketetapan Allah dalam hal ini merupakan bentuk kelemahan iman yang perlu diluruskan.

Dalam hal ini kita perlu belajar kepada nabi Ya’qub yang berwasiat kepada anak-anaknya, “apa yang kalian sembah setelah aku wafat?” beliau tidak bertanya kepada anak mereka, “apa yang kalian makan setelah aku tiada?”

Nabi Ya’qub tidak khawatir terhadap anak-anaknya kekurangan materi. Sebab beliau yakin, rezeki mereka sudah ada yang mengatur da menjamin. Beliau sadar betul, bukan harta yang banyak yang menjamin masa depannya melainkan iman dan akidah yang kokohlah yang akan menyelamatkan anak-anak mereka di dunia dan akhirat.

Maka iman akan menjadikan mereka selalu tegar menghadapi cobaan hidup karena sesungguhnya mentalnya tidak miskin. Sebalikanya, jika mereka kaya, maka kekayaannya akan memberi manfaat kepada orang banyak, sebab mental mereka tidak miskin. Hidupnya tidak digantungkan kepada hartanya. Orientasi hidupnya bukan untuk hidup itu sendiri, akan tetapi untuk mengabdi kepada yang Maha Hidup.

Kesimpulan

Surah Al-Isra ayat 31 mengandung pesan moral dan teologis yang mendalam mengenai larangan membunuh anak karena alasan takut miskin atau kekhawatiran terhadap masa depan sang anak.

Larangan ini secara tegas juga ditujukan untuk menghapus tradisi jahiliah, khususnya praktik penguburan hidup-hidup anak perempuan oleh sebagian masyarakat Arab kuno yang memandang anak perempuan sebagai beban dan aib. Pandangan tersebut dibantah secara eksplisit dalam ayat ini dengan menegaskan bahwa Allah-lah pemberi rezeki kepada seluruh makhluk, baik laki-laki maupun perempuan.

Lebih dari itu, tindakan tersebut merupakan bentuk su’udzan (berburuk sangka) kepada Allah dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, karena berpotensi mengancam keberlangsungan keturunan manusia.

Ayat ini juga mencerminkan sifat bakhil dan sempitnya pandangan sebagian masyarakat jahiliah terhadap kehidupan, yang didasarkan pada ketakutan dan ketidakyakinan terhadap ketentuan Allah SWT.

Oleh karena itu, ayat ini menegaskan pentingnya sikap tawakal, keyakinan terhadap rezeki dari Allah, serta penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan.[]

Fatimah Syarifatul Ummah , Mahasiswa Universitas PTIQ Jakarta.


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Fatimah Syarifatul Ummah: Jangan Khawatir Punya Anak, Rezekinya Dijamin Allah

Trending Now