Fatimah Syarifatul Ummah: Renungan Surah Al-Kahfi Ayat 109: Ilmu Allah yang Tak Terbatas

Redaksi
Rabu, Juni 18, 2025 | Juni 18, 2025 WIB Last Updated 2025-06-18T03:20:51Z
Jakarta,detiksatu.com || Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Kahfi ayat 109:

قُلْ لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمٰتِ رَبِّيْ لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ اَنْ تَنْفَدَ كَلِمٰتُ رَبِّيْ وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهٖ مَدَدًا

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, niscaya habislah lautan itu sebelum kalimat-kalimat Tuhanku selesai (ditulis) meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (Al-Kahf [18]:109)


Surah Al-Kahfi ayat 109 memiliki munasabah yang erat dengan ayat sebelumnya dan sesudahnya. Ayat 108 menjelaskan kenikmatan abadi di surga bagi orang beriman, lalu ayat 109 menegaskan bahwa ilmu dan kalimat Allah tidak terbatas lautan tinta pun tidak akan cukup untuk menuliskannya. Ini menunjukkan bahwa semua nikmat dan ketetapan berasal dari ilmu Allah yang tak terhingga.

Ayat 110 kemudian mengarahkan manusia untuk menyikapi kebesaran itu dengan tauhid dan amal saleh. Menurut al-Razi ayat 109 adalah tamsil tentang keluasan ilmu Allah, dan al-Alusi menegaskan pentingnya sikap rendah hati manusia di hadapan-Nya.

Ayat ini menyampaikan pesan teologis yang mendalam melalui perumpamaan lautan sebagai tinta untuk menuliskan kalimat-kalimat Allah, yang menunjukkan keluasan ilmu-Nya yang tak terbatas. Ayat ini dapat dimaknai sebagai pengingat bahwa ilmu manusia, seberapa pun luasnya, tetap sangat terbatas dibandingkan dengan ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu.

Dalam konteks perkembangan ilmu dan teknologi saat ini, ayat ini menjadi kritik halus terhadap kesombongan intelektual dan pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat pengetahuan. Ia menegaskan bahwa capaian ilmiah manusia tidak boleh lepas dari kesadaran bahwa semua itu adalah karunia dari Allah.

Dalam menafsirkan Surah Al-Kahfi ayat 109, para mufasir dari lintas zaman memberikan sudut pandang yang saling menguatkan.

At-Thabari, dalam tafsir klasiknya Jāmi‘ al-Bayan menjelaskan, ayat ini merupakan penegasan atas keluasan dan keabadian kalimat Allah, yang mencakup seluruh bentuk ilmu, kehendak, serta ciptaan-Nya. Bahkan jika seluruh lautan dijadikan tinta, maka semua itu tidak akan cukup untuk menuliskan seluruh kalimat-kalimat-Nya, menunjukkan bahwa ilmu Allah tidak terbatas dan mustahil dijangkau oleh akal manusia secara menyeluruh.

Kemudian, al-Alusi dalam Ruḥ al-Ma‘ani menafsirkan ayat ini sebagai bentuk pengagungan terhadap sifat ilmu Allah, sekaligus peringatan bagi manusia untuk menyadari keterbatasannya. Ia menekankan pentingnya sikap tawadhu‘di hadapan Allah karena manusia, dengan segala kecerdasannya, tetap tidak akan mampu menandingi keluasan ilmu-Nya.

Sementara itu, Wahbah al-Zuhailī sebagai mufasir kontemporer, dalam karyanya Tafsir al-Munīr, melihat ayat ini sebagai bentuk retorika Qur’ani (ta‘bir balaghi) untuk menegaskan bahwa ilmu Allah mencakup segala hal, tidak terhingga, dan tidak bisa dituliskan dengan sarana apapun meskipun menggunakan seluruh sumber daya di bumi. Ia juga menekankan bahwa pemahaman manusia hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan pengetahuan ilahi.

Hal ini diperkuat oleh Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Ẓhilalil Qur’an, yang mengkritisi kesombongan manusia modern terhadap capaian ilmu dan teknologi. Ia menegaskan bahwa ayat ini mengajak manusia untuk menundukkan dirinya di hadapan Allah, karena seluruh kemajuan itu tetap tidak akan mampu menyamai keluasan ilmu-Nya.


Ayat ini menyimpan pelajaran penting tentang hubungan antara manusia dan ilmu pengetahuan. Pertama, ayat ini menanamkan sikap rendah hati (tawadhu’) dalam proses menuntut ilmu. Di zaman modern dengan kemajuan sains dan teknologi yang pesat, manusia sering kali terjebak dalam rasa sombong intelektual, merasa sudah mencapai puncak pengetahuan.

Namun, ayat ini mengingatkan bahwa sebesar apapun prestasi manusia, semuanya tidak sebanding dengan ilmu Allah yang tak terbatas. Seorang ilmuwan muslim seharusnya semakin banyak mengetahui justru semakin merasa kecil dan hina di hadapan kebesaran Sang Pencipta.

Kedua, ayat ini mengajarkan pentingnya menyatukan ilmu dan iman. Dalam kehidupan sehari-hari, kita diajak agar tidak memisahkan antara ilmu duniawi dan aspek spiritual. Setiap penemuan dan pelajaran yang didapatkan seharusnya membawa kita lebih mengenal kebesaran Allah. Misalnya, seorang dokter yang memahami kompleksitas tubuh manusia atau seorang astronom yang mempelajari jagat raya, harusnya semakin kagum pada Sang Pencipta, bukan menjadi sombong.

Ketiga, ayat ini memberikan pandangan yang tepat mengenai tujuan mencari ilmu. Kita didorong untuk menuntut ilmu bukan hanya demi gelar atau posisi sosial, melainkan sebagai bentuk ibadah dan sarana mendekatkan diri pada Allah. Seorang pelajar muslim sebaiknya memiliki niat tulus bahwa ilmu yang diperoleh akan digunakan untuk kebaikan umat dan mempererat hubungan dengan Allah.

Keempat, ayat ini mengajarkan kita untuk menjaga keseimbangan dalam menghadapi kemajuan teknologi. Kita dianjurkan terus mengembangkan ilmu, namun juga harus menyadari keterbatasan sebagai manusia. Di era digital saat ini, penting untuk bersikap bijak dalam memanfaatkan teknologi tanpa mengabaikan nilai-nilai spiritual.

Terakhir, ayat ini mengingatkan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diamalkan. Dalam hadis disebutkan ilmu tanpa amal ibarat pohon yang tidak berbuah. Pengetahuan yang kita miliki, sekecil apapun, harus membawa manfaat bagi orang lain dan mendekatkan kita kepada Allah. Setiap kali mempelajari sesuatu yang baru, seharusnya itu membuat kita lebih bersyukur dan rendah hati di hadapan Sang Pemilik ilmu.

Surah Al-Kahfi ayat 109 adalah sebuah pengingat abadi akan kemahaluasan ilmu Allah yang tak terhingga, yang melampaui segala batas pemahaman manusia. Ayat ini bukan sekadar perumpamaan, melainkan sebuah seruan untuk kerendahan hati intelektual di hadapan Sang Pencipta.

Dengan menyadari bahwa ilmu kita hanyalah setetes air di samudra pengetahuan ilahi, kita didorong untuk terus belajar dengan niat yang benar, mengintegrasikan ilmu dan iman, serta mengamalkan pengetahuan demi kebaikan umat dan mendekatkan diri kepada Allah.

Inilah esensi sejati dari pencarian ilmu dalam perspektif Islam: sebuah perjalanan tanpa henti yang seharusnya semakin menguatkan rasa syukur dan kekaguman kita terhadap kebesaran-Nya.[]

Fathimah Syarifatul Ummah, Mahasiswa Universitas PTIQ Jakarta.
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Fatimah Syarifatul Ummah: Renungan Surah Al-Kahfi Ayat 109: Ilmu Allah yang Tak Terbatas

Trending Now