Kupang, detiksatu.com || Di tengah rencana relokasi paksa oleh Pemerintah Kabupaten Kupang, semangat perlawanan masyarakat Pulau Kera justru kian membara. Tak gentar meski dihadapkan dengan kekuasaan, mereka bersatu menolak penggusuran dari tanah leluhur mereka terutama kaum perempuan yang kini memimpin barisan perlawanan.
“Kalau situasi di Pulau Kera itu sampai saat ini masyarakat masih tetap tidak takut dan tetap berani. Mereka itu semangatnya tidak pernah pudar walaupun mau direlokasi,” ujar Tiara, seorang mahasiswa pada media 08/juni/2025 yang turut mendampingi masyarakat dalam perjuangan mereka. Menurutnya, bukan hanya laki-laki yang bersuara, tetapi anak-anak dan perempuan pun turut bangkit melawan.
Tiara menceritakan bagaimana Serikat Perempuan Pulau Kera organisasi yang baru dibentuk bersama warga setempat menjadi motor gerakan. “Perempuan-perempuan di sana itu sangat semangat. Bahkan pulang-pulang mereka yang balik mengajak mahasiswa untuk turun aksi. Mereka menganggap kita sebagai anak-anaknya, dan semangat mereka dengan mahasiswa itu 11-12, bahkan lebih semangat dari kita,” jelasnya.
Strategi Relokasi dan Motif Ekonomi
Pulau Kera bukan hanya tempat tinggal bagi 160 kepala keluarga (KK), tetapi juga wilayah dengan potensi sumber daya alam yang kaya. Menurut Tiara, posisi pulau yang strategis dan keindahan alamnya diyakini menjadi salah satu alasan utama pemerintah ingin mengosongkan wilayah tersebut.
“Mungkin itu yang membuat salah satu alasan kenapa Bupati Kupang mau paksa untuk relokasi. Tempatnya strategis dan banyak sumber daya alam,” ungkapnya.
Namun, klaim pemerintah bahwa relokasi dilakukan demi mensejahterakan warga, ditolak mentah-mentah oleh masyarakat. Tiara membantah pernyataan Bupati yang menyebut warga belum sejahtera. “Masyarakat di sana itu sebenarnya sudah sejahtera. Pendapatan mereka per hari bisa sampai satu juta rupiah. Kalau dihitung per bulan, bahkan bisa lebih dari PNS,” katanya.
Yang menjadi kebutuhan utama mereka, kata Tiara, hanyalah akses terhadap air bersih. “Mereka butuh air minum yang cukup. Kadang mereka harus minum air mentah karena tidak ada pilihan. Itu yang mereka minta dari pemerintah—bukan relokasi,” tegasnya.
Penolakan Kolektif dan Kesadaran Politik Warga
Menurut data warga, hanya 88 KK yang tercantum dalam spanduk data pemerintah, padahal sebenarnya terdapat 160 lebih KK di Pulau Kera. Dan semuanya menolak relokasi. “Tidak ada satu pun keluarga di sana yang setuju direlokasi. Bahkan ibu-ibu dan anak-anak kecil pun suaranya sama—mereka juga bersuara untuk menolak relokasi Pulau Kera,” katanya.
Perlawanan masyarakat tidak bersifat spontan, melainkan telah terorganisir dengan baik. Tiara menuturkan bahwa Serikat Perempuan menjadi alat perjuangan yang efektif. “Kalau ada intimidasi dari pemerintah, maka mereka akan turun aksi. Pergerakan perempuan di sana itu sudah sangat ganas,” ucapnya.
Ia mengungkapkan bahwa bahkan ketua Serikat Perempuan, Mama Is, kerap bertanya, “Kapan demo lagi?” semangat yang menggambarkan militansi dan kesadaran politik yang tinggi.
Kecurigaan Terhadap Motif Pemerintah
Kritik keras juga ditujukan langsung pada Bupati Kupang. Banyak warga, menurut Tiara, menilai bahwa langkah relokasi tidak lain adalah bentuk kerakusan terhadap tanah dan sumber daya. “Banyak masyarakat yang kritik Bupati bahwa haus akan tanah. Ini untuk kepentingan golongan mereka sendiri. Walaupun masyarakat sudah menyatakan sikap menolak, tetap saja dipaksa,” paparnya.
Yang menyedihkan, menurut Tiara, adalah bagaimana kebijakan ini justru akan merusak kehidupan masyarakat yang mayoritas nelayan. “Kalau direlokasi ke gunung, apa yang akan terjadi? Bupati Kupang seperti ingin membunuh masyarakat di sana,” katanya tegas.
Harapan yang Sederhana: Tetap di Tanah Sendiri
Apa yang diinginkan masyarakat Pulau Kera sesungguhnya sangat sederhana: mereka ingin dibiarkan hidup di tanah leluhurnya sendiri. Tiara menegaskan, “Mereka sama sekali tidak mengharapkan pemerintah pusat atau Presiden. Yang mereka harapkan adalah Bupati Kupang berhenti melakukan relokasi.”
Lebih lanjut, masyarakat merasa tidak perlu bantuan ekonomi. “Pendapatan mereka sudah mencukupi. Yang mereka harapkan hanya satu: tidak ada relokasi,” kata Tiara.
Kisah Pulau Kera adalah potret perlawanan akar rumput terhadap arogansi kekuasaan. Di tengah ketimpangan informasi, masyarakat kecil di ujung Nusa Tenggara Timur ini menunjukkan bahwa mereka bukan objek pasif pembangunan. Mereka tahu apa yang mereka butuhkan—dan tahu cara memperjuangkannya.
“Kami tidak butuh bantuan. Kami hanya butuh air bersih dan hak hidup di tanah kami,” demikian suara hati masyarakat Pulau Kera yang disampaikan melalui Tiara. Sebuah peringatan keras bahwa pembangunan tanpa keadilan sosial adalah bentuk kekerasan yang dibungkus narasi kesejahteraan.*
Reporter: DJOHANES BENTAH