Banyak orang, terutama penutur non-Arab, menghadapi tantangan ketika menyadari bahwa satu kata dalam bahasa Arab bisa memiliki banyak arti dalam bahasa Indonesia. Fenomena ini, yang dikenal sebagai musytarak, menyoroti pentingnya pemahaman yang lebih dari sekadar kamus.
Lalu, bagaimana kita bisa menavigasi kompleksitas ini dan menggunakan kata yang tepat?
Esai ini akan membahas dua prinsip dasar yang menjadi kunci untuk menggunakan penerapan bahasa Arab dengan benar: memahami konteks keadaan (siyāqul kalām) dan memilih kata yang paling sesuai berdasarkan konteks tersebut. Melalui pembahasan ini, kita akan melihat bagaimana presisi bahasa Arab, bahkan dalam kata-kata yang tampak serupa, mencerminkan ketelitian luar biasa yang juga ditemukan dalam teks-teks sakral seperti Al-Qur’an.
Mengingat banyak satu kata bahasa Arab memiliki arti banyak jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (musytarak), dan juga satu kata dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan berbagai bentuk katanya. Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan saat seseorang akan menerjemahkan, menulis, atau berbicara dengan bahasa Arab, yaitu:
Mengetahui konteks keadaan (siyāqul kalām). Ini mengacu pada keadaan, situasi, atau informasi di sekitar yang memengaruhi makna dari sebuah kata, frasa, atau kalimat. Dengan kata lain, konteks keadaan (siyāqul kalām) ini adalah tentang memahami gambaran utuh agar bisa menafsirkan dengan benar apa yang sedang dikatakan atau ditulis.
Menggunakan kata yang sesuai dari bahasa Arab berdasakan konteks keadaan itu. Setelah seseorang telah memahami secara utuh keadaan di mana ia akan mengungkapkan dalam tulisan atau pembicaraannya, maka ia harus menggunakan kata dalam bahasa Arab yang sesuai dengan keadaan tersebut dengan cara merujuk ke kamus-kamus bahasa Arab.
Contoh Penerapan Langkah-Langkah di Kehidupan Sehari-hari
Jika si A akan memerintahkan si B untuk duduk, sementara itu si B sedang berdiri, maka kata kerja perintah (fi’l amr) yang digunakan adalah ijlis (اجلس/), bukan uq’ud (اقعد/). Sebab walaupun kedua kata kerja perintah itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti “duduklah,” namun dalam aturan bahasa Arab ia memiliki makna yang berbeda.
Kata kerja perintah ijlis (اجلس/) berasal dari kata dasar jalasa (جلس) yang bermakna seseorang duduk setelah sebelumnya berdiri. Sementara itu, kata kerja perintah uq’ud (اقعد/) berasal dari kata dasar qa’ada (قعد) yang berarti seseorang duduk setelah sebelumnya rebahan.
Nah, oleh karena si B sebelumnya berdiri, maka jika si A ingin memerintahkannya untuk duduk, kata kerja perintah yang sesuai digunakan adalah ijlis (اجلس/).
Contoh Penerapan di dalam Al-Qur’an
Pembicaraan tentang siyāqul kalām merupakan salah satu pembahasan bagian Ilmu Balaghah (‘Ilm al-Ma’ānī). Sementara itu, Al-Qur’an merupakan mukjizat Nabi Muhammad Saw yang salah satu sisi kemukjizatannya (i’jāz) adalah ketelitian dan kefasihan kata-kata di dalamnya yang jauh di atas rata-rata manusia. Oleh karena itu, dalam memilih kata-kata di dalam ayat-ayatnya, Al-Qur’an selalu sesuai dengan keadaan yang dibicarakan.
Misalnya penggunaan kata ja’ala (جعل) dan khalaqa (خلق) yang secara sekilas (dalam benak) memiliki arti yang sama, yakni “menjadikan, menciptakan.” Namun, sebenarnya ia memiliki arti dan makna yang berbeda jika merujuk ke dalam bahasa Arab.
Dalam hal ini, akan saya kutip pembicaraan Quraish Shihab saat menafsirkan ayat 22 surah Al-Baqarah. Beliau menulis:
“Kata Khalaqa (خلق) memberi kesan wujudnya sesuatu, baik melalui bahan yang telah ada sebelumnya maupun belum ada, serta menekankan bahwa wujud tersebut sangat hebat, dan tentu lebih hebat lagi Allah yang mewujudkannya. Sementara itu, kata ja’ala (جعل) mengandung makna mewujudkan sesuatu dari bahan yang telah ada sebelumnya sambil menekankan bahwa yang wujud itu sangat bermanfaat dan harus diraih manfaatnya, khususnya oleh yang untuknya diwujudkan sesuatu itu, yakni manusia.”
Dengan demikian makna mewujudkan yang dikandung oleh kata Khalaqa (خلق) lebih umum dengan mencakup bahan yang digunakan sudah ada sebelumnya atau belum ada. Dan juga kesan yang didapatkan oleh kata ini adalah kehebatan yang mewujudkan suatu hal. Sementara itu, makna yang dikandung oleh kata ja’ala (جعل) lebih khusus dengan hanya mencakup bahan yang digunakan sudah ada dan kesan yang didapatkan dalam penggunaan kata itu tidak seluar biasa atau sehebat kata Khalaqa (خلق).
Dalam konteks kehidupan, kita jarang—bahkan tidak menemukan narasi khalaqa (خلق) untuk menginformasikan seseorang yang melakukan inovasi. Misalnya, apabila Zaid membuat roti dari gandum, maka narasinya bukan khalaqa Zayd ar-raghifa min al-burr (خلق زيد الرغيف من البر), tapi yang sesuai adalah ja’ala Zayd ar-raghifa min al-burr (جعل زيد الرغيف من البر) atau ja’ala Zayd al-burra raghifan (جعل زيد البر رغيفا). Sebab, bahan yang digunakan Zaid untuk membuat roti sudah ada, dan juga yang mahir membuat roti tidak hanya Zaid, namun ada Umar, Ali, dsb. Jadi, kesannya biasa-biasa saja jika Zaid mahir membuat roti.
Oleh karena itu, di dalam Al-Asmā’ Al-ḥusnā (nama-nama Allah yang baik), Allah tidak memiliki nama Al-Jā’il (الجاعل), namun Allah hanya memiliki nama Al-Khāliq (الخالق). Sebab apa yang Allah ciptakan di alam semesta selalu, baik dari bahan yang sudah ada atau belum ada, selalu luar biasa dan hebat. Selalu baru, bukan hasil inovasi.
Bukankah manusia menciptakan komputer karena terinspirasi dari cara kerja otak manusia? Bukankah manusia menciptakan mesin kendaraan juga terinspirasi dari sistem pencernaan manusia? Bukankah AI diciptakan manusia terinspirasi dari bagaimana cara kerja otak manusia dalam mengolah data? Bukankah pesawat dan helikopter diciptakan manusia terinspirasi dari cara kerja burung dan capung?
Sesungguhnya yang apa diciptakan manusia itu biasa-biasa saja. Sesungguhnya yang luar biasa itu adalah sumber inspirasi itu, yakni manusia dengan otak dan sistem pencernaannya, burung dan capung bagaimana ia diciptakan.
Simpulan
Memahami dan menggunakan Bahasa Arab dengan tepat—terutama karena satu kata bisa memiliki banyak makna (musytarak)—membutuhkan pemahaman mendalam terhadap konteks pembicaraan (siyāqul kalām). Konteks adalah kunci untuk memilih kata yang paling sesuai agar makna yang disampaikan akurat.
Dalam hal ini, terdapat dua poin penting:
Mengutamakan Konteks Keadaan: Pahami situasi, kondisi, atau informasi yang melingkupi sebuah kalimat atau percakapan. Hal ini memungkinkan Anda untuk memilih kata yang benar-benar mewakili maksud yang ingin disampaikan.
Memilih Kata yang Tepat: Setelah konteks dipahami, gunakan kata Bahasa Arab yang paling sesuai dengan merujuk pada makna spesifiknya, bukan hanya terjemahan umumnya. Contohnya adalah perbedaan makna antara ijlis (اجلس) dan uq’ud (اقعد) yang sama-sama berarti “duduklah,” tetapi digunakan untuk kondisi yang berbeda.
Demikian, Wallāhu a’lam.

