Yaa Allah Saya Bisa Mati Kelaparan Sebelum Lulus di Gaza’

Redaksi
Agustus 04, 2025 | Agustus 04, 2025 WIB Last Updated 2025-08-04T14:39:29Z
Satu-satunya impian saya adalah mengikuti ujian tawjihi agar saya bisa melanjutkan pendidikan. Apakah ini terlalu berlebihan untuk diminta?

Gaza,detiksatu.com || Pada 27 Juli, Kementerian Pendidikan Palestina merilis hasil ujian sertifikat pendidikan menengah, yang dikenal sebagai tawjihi. Seperti setiap tahun, keluarga-keluarga duduk bersama, mata terpaku pada layar ponsel, jantung berdebar, berharap menjadi yang pertama membuka situs kementerian dan menyampaikan kabar gembira dengan sorakan penuh sukacita. Ada air mata kebahagiaan dan perayaan

Ribuan siswa, yang telah melewati bulan-bulan penuh tekanan, malam-malam tanpa tidur, dan harapan rapuh, kini memegang hasil ujian yang menentukan apakah dan ke mana mereka bisa melanjutkan pendidikan.

Namun ribuan lainnya — mereka yang berada di Gaza — duduk dalam tenda dan rumah-rumah yang hancur, dalam keputusasaan. Saya salah satunya. Ini tahun kedua saya, bersama 31.000 warga Palestina lain yang lahir pada tahun 2006, tidak dapat mengikuti tawjihi. Untuk satu tahun lagi, kami dilucuti dari hak kami untuk melanjutkan pendidikan dan dari harapan membangun masa depan di luar puing-puing. Kini, hampir 40.000 siswa yang lahir tahun 2007 pun bernasib sama, terjebak dalam ketidakpastian yang mengerikan ini.

Tahun lalu, saat hasil tawjihi diumumkan, saya meringkuk di dekat api unggun yang berasap, di depan tenda compang-camping yang terlalu kecil untuk menampung impian besar saya. Frustrasi yang dalam itu tidak pernah memudar — ia menetap di benak saya dan terus tinggal di sana. Yang ada di pikiran saya hanyalah bahwa semua pengorbanan, air mata, dan usaha keras selama setahun belajar dalam kondisi sulit telah menjadi sia-sia.

Tahun ini terasa lebih buruk. Bukan hanya impian pendidikan saya yang hancur, sekarang saya juga berjuang agar saya dan keluarga bisa tetap hidup, karena Gaza sedang mati kelaparan.

Dalam dua tahun ini, saya menyaksikan sistem pendidikan kami dihancurkan, ruang kelas demi ruang kelas. Sekolah saya, Shohada al-Nusierat, yang dulunya tempat belajar dan berangan, pertama-tama dijadikan tempat perlindungan keluarga yang mengungsi, lalu menjadi sasaran pemboman Israel. Tas sekolah saya — yang dulunya berisi buku catatan dan materi pelajaran — kini berisi dokumen penting dan sepasang pakaian ganti, selalu siap dibawa jika kami harus melarikan diri lagi. Kalender akademik, dengan semua tanggal pentingnya, telah digantikan oleh jadwal kelam berisi serangan udara, pengungsian, dan kehilangan teman serta orang tercinta.

Di tengah kehancuran ini, Kementerian Pendidikan tetap berusaha menjaga proses belajar tetap berjalan. Ingin memberi harapan kepada anak-anak dan remaja Gaza, mereka melakukan berbagai inisiatif untuk menjaga semangat belajar siswa. Sekolah darurat dibentuk di mana pun memungkinkan, dan sebagian mahasiswa masih bisa belajar secara daring.

Untuk kami, para siswa tawjihi, berbagai upaya telah dilakukan untuk menyelenggarakan ujian kami. Tahun lalu, kementerian mengumumkan ujian akan dilaksanakan pada bulan Februari. Saya terus belajar, meski kenyataan di sekitar sangat pahit dan semuanya runtuh, karena saya percaya itu adalah kesempatan saya untuk melangkah maju.

Februari berlalu tanpa kabar. Kementerian lalu mengumumkan ujian akan dilaksanakan April, tapi sekali lagi ditunda karena kondisi tidak aman.

Kemudian pada Juni, kementerian menjadwalkan ujian daring pada Juli untuk siswa yang lahir tahun 2005 yang gagal atau belum sempat mengikuti tawjihi; seharusnya mereka mengikuti ujian itu pada Desember 2023. Sekitar 1.500 siswa berhasil mengikuti ujian daring itu.

Hal itu sempat menyalakan sedikit harapan dalam diri saya, bahwa giliran saya akan tiba. Tapi harapan itu cepat padam. Kementerian tidak memberikan pembaruan apa pun, dan kami merasa benar-benar dilupakan di bawah bayang-bayang perang dan kelaparan.

“Kenapa ujian begitu penting di tengah genosida?”

Sebagian pembaca mungkin bertanya-tanya, mengapa di tengah genosida orang-orang Palestina begitu memikirkan soal ujian?

Anda harus mengerti, tawjihi adalah tonggak penting dalam hidup setiap warga Palestina — momen yang menentukan jalan hidup setidaknya lima tahun ke depan. Ini menentukan apakah kami bisa melanjutkan pendidikan di bidang yang kami impikan dan masuk ke universitas terbaik.

Namun lebih dari sekadar aspek akademik, tawjihi memiliki makna budaya dan emosional yang jauh lebih dalam. Ia bukan sekadar fase pendidikan — ia adalah bagian dari identitas kami, simbol keteguhan kami. Di tempat di mana pendudukan menutup hampir semua pintu, pendidikan tetap bisa membuka beberapa.

Itulah sebabnya kami merayakannya seperti hari raya nasional; hari pengumuman hasil tawjihi terasa seperti Idulfitri ketiga bagi warga Palestina. Ia memberi harapan bagi keluarga, kebanggaan bagi lingkungan, dan menjaga impian akan masa depan yang lebih baik tetap hidup.

Selama berbulan-bulan saya menunggu tawjihi, saya tetap menggenggam mimpi untuk belajar kedokteran di universitas bergengsi di luar negeri. Saya terus mendaftar beasiswa dan mengirim email ke berbagai universitas di Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa, berharap mendapat pertimbangan khusus sebagai pelajar yang terdampak perang. Saya memohon agar syarat ijazah tawjihi bisa ditiadakan.

Tapi jawabannya selalu sama dan menyakitkan: “Sayangnya, kami tidak bisa memproses aplikasi Anda tanpa dokumen ijazah akhir.”

Hari ini, keputusasaan dan ketidakberdayaan bukan satu-satunya tamu tak diundang. Rasa lapar kini ikut hadir. Kelaparan telah menghancurkan bukan hanya tubuh saya, tetapi juga kesehatan mental saya.

Sebagian besar hari, kami hanya bisa makan sekali. Kami bertahan hidup dengan kacang kalengan, roti kering, atau nasi tanpa sayur dan tanpa protein. Tubuh kami lemah, wajah kami pucat, dan energi hampir habis. Dampaknya tidak hanya fisik. Kelaparan membuat otak menjadi kabur, daya ingat menurun, dan semangat hilang. Hampir mustahil untuk fokus, apalagi belajar untuk ujian sepenting tawjihi. Bagaimana saya bisa bersiap menghadapi ujian terpenting dalam hidup saya ketika perut kosong dan pikiran diselimuti lelah serta cemas?

Rasanya masa muda saya telah dicuri di depan mata, dan saya tidak bisa berbuat apa-apa selain menyaksikannya. Sementara teman-teman sebaya saya di seluruh dunia sedang membangun masa depan, saya tetap terjebak dalam tempat penuh rasa sakit dan kehilangan.

Sebagai siswa tawjihi yang terperangkap di zona perang, saya menyerukan dengan mendesak kepada otoritas pendidikan dan lembaga internasional untuk segera turun tangan dan mencari solusi agar hak kami atas pendidikan tidak terkubur di bawah reruntuhan perang.

Kami tidak meminta banyak. Memberi kami kesempatan menyelesaikan pendidikan menengah di Gaza bukan hanya soal logistik, tetapi soal keadilan dan kelangsungan hidup di masa depan. []
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Yaa Allah Saya Bisa Mati Kelaparan Sebelum Lulus di Gaza’

Trending Now