7 Juta Ojol di Tepi Jurang: Antara Bakar Uang yang Habis dan Negara yang Bingung

Redaksi
September 12, 2025 | September 12, 2025 WIB Last Updated 2025-09-12T05:12:53Z

Catatan Agus M Maksum 

Awalnya semua tampak indah.
Subsidi besar. Insentif menggiurkan. Pendaftaran mudah. Lalu lahirlah profesi baru: driver ojol. Dalam hitungan bulan, jutaan orang beralih profesi. Dari tukang ojek pangkalan, sopir angkot, pegawai toko, sampai karyawan yang terkena PHK—semua berbondong-bondong masuk dunia ojol.

Hari ini jumlahnya menembus 7 juta orang. Angka yang tidak main-main. Itu lebih banyak dari jumlah pekerja di industri tekstil nasional. Lebih besar dari tenaga kerja formal di banyak sektor manufaktur.

Tapi di balik itu, ada bom waktu.

Model bisnis startup transportasi online sejak awal bukanlah soal layanan. Ia adalah soal “bakar uang.” Investor datang membawa miliaran dolar. Angel investor, venture capital, private equity—semua masuk. Mereka tahu: untuk menguasai pasar, harus dibanjiri subsidi.

Maka ongkos ojol murah. Order makanan didiskon. Driver dibayar insentif. Semua orang senang. Semua merasa menang.

Tapi uang bakar tidak abadi.
IPO—yang diharapkan jadi “exit strategy”—tidak berjalan mulus. GoTo masuk bursa dengan valuasi tinggi, tapi harga sahamnya jatuh. Grab masuk bursa lewat SPAC, hasilnya sama: anjlok. Investor kehilangan selera. BUMN pun ikut terjebak. Telkomsel menaruh ratusan juta dolar ke Gojek, berharap harga saham naik. Yang didapat justru rugi di atas kertas.

Maka strategi berubah. Tidak ada lagi subsidi besar-besaran. Driver tak lagi dimanjakan insentif. Sebaliknya, perusahaan mencari nafkah dengan cara lain: potongan administrasi, biaya layanan, trik-trik kecil yang membuat pendapatan driver makin tipis.

Driver mulai mengeluh. Pendapatan mereka tidak lagi seperti dulu. Banyak yang harus kerja 12–14 jam sehari hanya untuk menyamai upah minimum. Asosiasi ojol marah. Demo. Tuntutan di mana-mana: hapus potongan, kembalikan insentif.

Di sinilah negara terjebak.
Kalau tuntutan driver dipenuhi, perusahaan startup makin merugi. Bangkrut lebih cepat. Kalau tuntutan diabaikan, jutaan ojol makin sulit hidup. Marah. Mudah tersulut. Dan jangan lupa, kelompok 7 juta orang ini bukan kelompok kecil. Mereka massa yang nyata. Mereka bisa turun ke jalan.

Kasus kerusuhan akhir Agustus 2025 memberi peringatan: ojol bisa jadi faktor sosial-politik yang rawan.

Inilah simalakama pemerintah.
Di satu sisi, negara perlu menyelamatkan 7 juta lapangan kerja. Di sisi lain, startup ojol masih menanggung kerugian puluhan triliun dari model bisnis bakar uang yang gagal. IPO tak bisa jadi solusi. Merger pun terancam regulasi.

Sampai kapan negara akan bingung?
Sampai kapan ekonomi kita dibiarkan tergantung pada model bisnis yang sejak awal rapuh?

Driver ojol kini berdiri di tepi jurang. Di hadapan mereka ada jalan terjal—subsidi sudah habis, biaya makin tinggi, pendapatan makin rendah. Di belakang mereka, ada jutaan keluarga yang bergantung.

Negara harus memilih: menutup mata, atau mencari jalan keluar yang benar-benar berpihak pada rakyat.

Pertanyaannya: apakah kita berani meninggalkan jalan pintas bakar uang dan kembali ke jalan panjang ekonomi Pancasila?

Nantikan tulisan berikutnya .. Platform Digital Ekonomi Pancasila untum memberikan solusi bagi persoalan 7 Juta Ojol
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • 7 Juta Ojol di Tepi Jurang: Antara Bakar Uang yang Habis dan Negara yang Bingung

Trending Now

Iklan

iklan