Antara Sanksi Moral dan Batasan Hukum Pidana

Redaksi
September 07, 2025 | September 07, 2025 WIB Last Updated 2025-09-06T20:56:36Z
Jakarta,detiksatu.com _Pergantian Antar Waktu (PAW) terhadap empat anggota DPR RI—A. Sahroni, Eko Patrio, Nafa Urbach, dan Uya Kuya—resmi diberlakukan setelah partai politik mereka mengumumkan keputusan tersebut. PAW ini menjadi sanksi politik sekaligus moral yang efektif mengakhiri jabatan legislator keempatnya. Namun, di tengah sorotan publik, muncul pertanyaan: apakah mereka bisa dijerat dengan hukuman pidana?

Jawabannya: tidak. Ada alasan hukum yang jelas dan tegas.

Pertama, dugaan tindak pidana yang dikaitkan dengan keonaran atau kegaduhan tidak lagi dapat dikenakan, sebab Pasal 14 dan Pasal 15 KUHP telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 78/PUU-XXI/2023. Delik ini tidak lagi hidup dalam sistem hukum pidana Indonesia.

Kedua, tuduhan mengenai “perbuatan tidak menyenangkan” juga tidak dapat digunakan. Hal ini ditegaskan melalui Putusan MK Nomor 1/PUU-XI-2013 yang secara resmi menghapus keberlakuan Pasal 335 KUHP. Dengan demikian, pintu untuk menjerat mereka lewat hukum pidana sudah tertutup.

Yang tersisa hanyalah konsekuensi moral dan politik. PAW menjadi bentuk nyata sanksi tersebut, di mana keempat nama dimaksud telah digantikan oleh kader partai masing-masing. Dasarnya jelas: Pasal 239 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang MD3 jo. Pasal 319 Peraturan DPR RI Tahun 2020.

Meski begitu, masih ada ruang hukum lain yang terbuka. Dari perspektif hukum perdata, pihak-pihak yang merasa dirugikan tetap dapat menuntut ganti kerugian. Jalur ini sah secara hukum, meskipun tentu membutuhkan analisis lebih mendalam, terutama terkait siapa yang dapat ditetapkan sebagai pihak tergugat.

Kasus Sahroni cs. menunjukkan satu hal penting: tidak semua perilaku politisi bisa dijawab dengan pidana. Hukum pidana memiliki batasnya sendiri, sementara akuntabilitas politik berjalan melalui mekanisme partai dan parlemen, salah satunya dengan PAW. Adapun bagi masyarakat, jalur perdata bisa menjadi opsi jika kerugian yang dialami dapat dibuktikan.

Dengan demikian, publik perlu lebih jernih melihat peta hukum ini: tidak setiap kegaduhan politik layak diseret ke ranah pidana. Sanksi moral dan politik melalui PAW sudah menjadi konsekuensi nyata, sementara jalur perdata tetap terbuka bila ada yang ingin menempuhnya.

Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Antara Sanksi Moral dan Batasan Hukum Pidana

Trending Now

Iklan

iklan