Padahal, pada 2024 produksi beras Jawa Barat tercatat hanya 4,98 juta ton, turun 5,61 persen dibandingkan 2023. Luas panen juga merosot 6,84 persen dari 1,58 juta hektare (2023) menjadi 1,48 juta hektare (2024). Produksi padi pun ikut tertekan, dari 9,14 juta ton gabah kering giling (GKG) di 2023 menjadi 8,63 juta ton GKG di 2024.
Dulu, Jawa Barat dikenal sebagai salah satu lumbung padi nasional. Surplus produksi bahkan dikirim ke provinsi lain yang defisit. Indramayu, Karawang, dan Subang pernah menjadi ikon produsen padi terbesar. Namun kini, kejayaan itu meredup. Produksi Jawa Barat terus tertinggal dari Jawa Timur, bahkan bisa disalip Jawa Tengah.
Lahan Sawah yang Hilang Diam-Diam
Penyebab utamanya jelas: serbuan alih fungsi lahan pertanian produktif. Sawah disulap menjadi kawasan industri, perumahan, infrastruktur, jalan tol, bandara, hingga pelabuhan. Ironisnya, program pencetakan sawah baru justru banyak yang gagal.
Perlindungan formal terhadap lahan pertanian juga datang terlambat. Undang-Undang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan baru lahir pada 2009. Akibatnya, sebelum itu alih fungsi berlangsung tanpa kendali. Kini, masalah semakin rumit dengan maraknya alih kepemilikan lahan: sawah petani jatuh ke tangan non-petani. Pertanyaan besar pun muncul: apakah lahan itu tetap digunakan untuk pertanian, atau sekadar disimpan sebagai investasi?
Tantangan Kepemimpinan Baru
Jika Jawa Barat ingin kembali berjaya sebagai lumbung padi, satu syarat mutlaknya adalah stop alih fungsi lahan. Pemerintah harus berani melakukan pengawasan ketat, bukan sekadar membuat aturan yang tak digubris.
Keberpihakan nyata justru terletak pada para kepala daerah. Gubernur, bupati, dan walikota memiliki kuasa besar dalam menetapkan tata ruang. Tanpa keberanian mereka menjaga sawah yang tersisa, seluruh regulasi akan tinggal kertas mati.
Pertanyaannya, berapa banyak kepala daerah yang benar-benar mencintai pertanian? Fakta di lapangan menunjukkan banyak pejabat lebih memilih “menyulap” sawah menjadi perumahan elit ketimbang mempertahankannya untuk pangan. Akibatnya, petani makin terpinggirkan, dan pertanian makin tersingkir dari panggung pembangunan.
Apakah kepemimpinan Prabowo–Gibran (2024–2029) akan menunjukkan keberpihakan nyata pada masa depan pertanian? Jawabannya semestinya tegas: ya. Tanpa kebijakan super-prioritas selama 25 tahun ke depan, keberadaan sawah produktif hanya akan tinggal cerita.
Lumbung Padi Bukan Sulap
Mengembalikan Jawa Barat sebagai lumbung padi nasional bukan perkara mudah. Tidak cukup dengan “sim salabim”, melainkan perlu keberanian politik, konsistensi, dan perlindungan serius atas lahan sawah. Tanpa itu, jangan harap Jawa Barat bisa kembali ke masa keemasannya.
Padahal, Jawa Barat sudah memiliki Perda No. 27/2010 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan, bahkan dilengkapi Peraturan Gubernur. Namun, seabreg aturan ini kerap lumpuh menghadapi praktik alih fungsi demi keuntungan sesaat.
Inilah pekerjaan rumah besar bagi para kepala daerah terpilih hasil Pilkada Serentak 2024. Apakah mereka mau memandang lahan sawah sebagai investasi kehidupan bagi generasi mendatang, atau sekadar hambatan bagi proyek-proyek jangka pendek?
Keputusan ada di tangan mereka — dan pilihan ada di tangan rakyat untuk menentukan siapa pemimpin yang benar-benar berpihak pada pertanian.
(Penulis, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat)