Ucapannya kala itu bukan hanya meninggalkan gema di telinga publik, tetapi juga menegaskan citra dirinya sebagai politisi yang kerap tampil garang dan penuh keyakinan.
Kini, realitas politik membawa Fahri Hamzah bergabung dalam barisan pemerintahan Prabowo Subianto. Status barunya sebagai bagian dari rezim tentu mengubah posisi: dari oposisi yang kritis menjadi bagian dari sistem yang berkuasa.
Dengan bergabungnya Fahri ke lingkar kekuasaan, maka hilanglah ruang untuk berlindung di balik alasan klasik “tidak punya wewenang.” Sebab kini, ia berada di dalam orbit yang memiliki kekuatan politik untuk benar-benar mendorong perubahan.
Pertanyaannya sederhana: jika benar sesumbar itu lahir dari keyakinan dan bukan sekadar retorika, bukankah inilah saatnya membuktikan? Korupsi masih merajalela, dari tingkat pusat hingga daerah. Skandal demi skandal bergulir, melibatkan pejabat publik, aparat penegak hukum, bahkan politisi yang berada di lingkar kekuasaan. Lantas, di manakah peran Fahri Hamzah dalam situasi ini?
Di sinilah titik uji moral seorang politisi. Jika sebelumnya berteriak lantang bahwa korupsi mudah diberantas, maka keberadaannya dalam rezim Prabowo menjadi semacam janji terbuka kepada publik: tidak ada lagi toleransi terhadap praktik busuk itu.
Bila korupsi masih tetap menggurita, maka bukan hanya rezim Prabowo yang akan dipertanyakan integritasnya, tetapi juga kredibilitas Fahri sendiri.
Sebab, sesumbar tanpa aksi hanyalah omong kosong. Dan omong kosong di tengah penderitaan rakyat akibat korupsi bukan hanya menyakitkan, tetapi juga mengkhianati kepercayaan publik.
Dengan demikian, tidak ada lagi alasan. Bila Fahri benar-benar konsisten, ia harus berdiri di garis depan dalam membongkar praktik korupsi, meskipun itu berarti melawan kepentingan dalam barisan kekuasaan yang kini menaunginya. Jika tidak, publik hanya akan menilai bahwa sesumbar itu tak lebih dari bagian tradisi politik kita yang gemar retorika, tetapi lemah dalam realisasi